²©²ÊÍøÕ¾

Garuda-Sriwijaya Rujuk, Begini Potret Industri Aviasi RI

Dwi Ayuningtyas, ²©²ÊÍøÕ¾
01 October 2019 14:11
Garuda-Sriwijaya Rujuk, Begini Potret Industri Aviasi RI
Foto: Ilustrasi Bandara (REUTERS/Darren Whiteside)
Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - PT Garuda Indonesia (Persero Tbk (GIAA) atau Garuda Indonesia Group, melalui anak usahanya PT Citilink Indonesia, akhirnya melanjutkan kerja sama manajemen (KSM) dengan Sriwijaya Group (Sriwijaya Air dan NAM Air) setelah sempat terjadi kisruh perjanjian antara kedua maskapai penerbangan ini.

Bahkan sebelumnya Citilink sempat mengajukan gugatan hukum kepada Sriwijaya Air atas dugaan wanprestasi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 25 September lalu.

Buntutnya, dua direksi Sriwijaya Air pun mengumumkan pengunduran diri pada konferensi pers Senin kemarin (30/9/2019). Keduanya yakni Direktur Operasi Capt. Fadjar Semiarto dan Direktur Teknik Romdani Ardali Adang.

"Keberlanjutan KSM ini sejalan dengan pertemuan GIAA Grup dan pemegang saham Sriwijaya difasilitasi Kementerian BUMN beberapa waktu lalu dan berikan arahan keberlangsungan KSM ini," kata Juliandra Nurtjahjo, Dirut Citilink, yang menjadi perwakilan Garuda dalam konferensi pers bersama di Cengkareng, Tangerang, Selasa (1/10/2019).

"Dengan kesepakatan ini kami pihak GIAA Grup dan Sriwijaya berharap dengan komitmen dan momen baik ini dapat jadi titik apa namanya atau turning point kita komitmen senantiasa, pertama kedepankan safety kelaikan dari pesawat Sriwijaya menjadi prioritas," katanya lagi.

Lebih lanjut, prioritas berikutnya yakni kepentingan pelanggan yang amat menjadi pertimbangan kenapa kedua grup maskapai ini melanjutkan komitmen KSM.

Adapun prioritas ketiga yakni penyelamatan aset negara sehingga perlu mendukung Sriwijaya pulih kembali,

Lebih lanjut, prioritas berikutnya yakni kedua grup ingin agar ekosistem penerbangan di Indonesia semakin sehat. "Itu alasan lanjutkan KSM ini dilakukan secepatnya, dengan dukungan operasional penerbangan pesawat Sriwijaya. Paling depan, bagaimana GIAA Grup atau GMF AeroAsia berikan dukung bertahap operasional Sriwijaya."

Sebelumnya Sriwijaya Air sebelumnya juga memperoleh rekomendasi untuk dihentikan aktifitas operasionalnya terkait isu keamanan penerbangan pesawat.

"Kami merekomendasikan Sriwijaya Air menyatakan setop operasi atas inisiatif sendiri (perusahaan) atau melakukan pengurangan operasional disesuaikan dengan kemampuan untuk beberapa hari ke depan, karena alasan memprioritaskan safety. Hal ini akan menjadi nilai lebih bagi perusahaan yang benar-benar menempatkan safety sebagai prioritas utama," ujar Direktur Quality, Safety, dan Security Sriwijaya Air Toto Soebandoro.

Isu wanprestasi dan ketidakmampuan Sriwijaya Air memenuhi standar keamanan secara tidak langsung mencerminkan kinerja keuangan perusahaan yang seret. Pasalnya, jika keuangan perusahaan stabil maka kedua permasalahan tersebut mampu diselesaikan.

Lebih lanjut, sejatinya performa keuangan yang kurang ciamik umum terlihat pada industri aviasi Indonesia, meskipun belum memperlihatkan tanda-tanda bangkrut.

Ambil contohnya, kinerja PT Air Asia Indonesia Tbk (CMPP) yang per akhir Juni 2019 masih membukukan rugi bersih sebesar Rp 82,54 miliar. Ini artinya dalam 5 tahun terakhir, tak pernah sekali pun perusahaan menorehkan 'angka biru' pada laporan keuangannya.

Padahal pada periode yang sama, total pendapatan perusahaan melesat 63,07% secara tahunan (year-on-year/YoY) menjadi Rp 2,99 triliun dari sebelumnya Rp 1,84 triliun.

Di lain pihak, tidak seperti CMPP, PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) berhasil mencatatkan keuntungan sebesar US$ 24,11 juta atau setara Rp 337,6 miliar dari sebelumnya rugi bersih US$ 116,86 juta (Rp 1,64 triliun).

Namun, meskipun berhasil menorehkan laba bersih, marjin yang dicatatkan perusahaan sangat tipis, yakni 1,1%.

Lalu, apa sebenarnya momok dari terpuruknya kinerja keuangan industri penerbangan?

(BERLANJUT KE HALAMAN DUA)
Melansir laporan keuangan GIAA dan CMPP terlihat pemberat kinerja bottom line perusahaan adalah tingginya beban usaha, terutama biaya bahan bakar dan biaya sewa pesawat.

CMPP membukukan rasio beban usaha atas total pendapatan sebesar 101,26% atau dengan kata lain total beban usaha melebihi perolehan pendapatan. Hingga akhir Juni 2019, perusahaan mencatatkan total beban usaha mencapai Rp 3,03 triliun, di mana total pendapatan hanya sebesar Rp 2,99 triliun.

Sementara itu, pada periode yang sama, GIAA mencatatkan total beban usaha sejumlah US$ 2,11 juta atau setara 96,04% dari total pendapatan. Proporsi tersebut turun dari nilai yang dibukukan pada semester I-2018 yang mencapai 107,4%.

Lebih lanjut, pada dasarnya kondisi yang sama tidak hanya dialami oleh industri penerbangan Ibu Pertiwi.

Maskapai pesawat terbesar asal Jerman, Lufthansa Group juga membukukan perolehan serupa. Berdasarkan laporan keuangan perusahaan, rasio beban usaha mencapai 98,12%, di mana total pemasukan tercatat sebesar EUR 17,52 miliar dan total beban usaha senilai EUR 17,19 miliar.

Manajemen Lufthansa Grup dalam press release menyampaikan tingginya beban usaha disebabkan oleh peningkatan signifikan pada harga bahan bakar yang tidak dapat dibebankan secara proporsional kepada konsumen.



Lebih lanjut, faktor lain yang patut diwaspadai oleh pelaku pasar adalah tingkat utang perusahaan.

Analisa fundamental yang umum digunakan untuk menganalisa performa utang dalam hal ini tingkat likuiditas adalah debt-to-equity ratio (DER).

DER menunjukkan tingkat utang perusahaan yang dihitung dengan membagi total utang dengan total ekuitas (yang diatribusikan pada pemilik induk). DER bisa juga menandakan resiko kredit perusahaan, semakin tinggi nilainya maka semakin besar resiko kredit.

Grafik di atas menunjukkan bahwa DER yang dicatatkan oleh Lufthansa Group paling kecil dengan nilai sebesar 3,74 kali. Sedangkan nilai DER untuk GIAA dan CMPP masing-masing sebesar 4,68 kali dan 11,23 kali.

Perolehan DER yang lebih dari 5 kali lipat, bisa dibilang cukup mengkhawatirkan, terutama untuk industri non-perbankan. Pasalnya, hal ini menandakan bahwa secara signifikan aset perusahaan dibiayai dari utang bukan modal sendiri (ekuitas).

Jika perusahaan tidak memiliki arus kas yang cukup untuk membayar kembali utang-utangnya, maka ini akan mengancam kelangsungan bisnis ke depan.

Selain itu, DER yang tinggi juga secara tidak langsung menunjukkan besarnya beban biaya keuangan yang harus ditanggung perusahaan, di mana hal ini turut menekan kinerja pos laba bersih.

Sebagai informasi, sepanjang tahun 2019 sudah terdapat lebih dari 10 perusahaan penerbangan internasional yang gulung tikar termasuk Thomas Cook (Inggris), Germania (Jerman), California Pacific (AS), Air Philip (Korea Selatan), Jet Airways (India), WOW Air (Islandia).

TIM RISET ²©²ÊÍøÕ¾ INDONESIA
Pages

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular