²©²ÊÍøÕ¾

Garuda-Sriwijaya Rujuk, Begini Potret Industri Aviasi RI

Dwi Ayuningtyas, ²©²ÊÍøÕ¾
01 October 2019 14:11
Beban Usaha Selangit & Jumlah Utang Bejibun Tekan Laba Perusahaan
Foto: cover topik/Maskapai_luar/Aristya Rahadian Krisabella
Melansir laporan keuangan GIAA dan CMPP terlihat pemberat kinerja bottom line perusahaan adalah tingginya beban usaha, terutama biaya bahan bakar dan biaya sewa pesawat.

CMPP membukukan rasio beban usaha atas total pendapatan sebesar 101,26% atau dengan kata lain total beban usaha melebihi perolehan pendapatan. Hingga akhir Juni 2019, perusahaan mencatatkan total beban usaha mencapai Rp 3,03 triliun, di mana total pendapatan hanya sebesar Rp 2,99 triliun.

Sementara itu, pada periode yang sama, GIAA mencatatkan total beban usaha sejumlah US$ 2,11 juta atau setara 96,04% dari total pendapatan. Proporsi tersebut turun dari nilai yang dibukukan pada semester I-2018 yang mencapai 107,4%.

Lebih lanjut, pada dasarnya kondisi yang sama tidak hanya dialami oleh industri penerbangan Ibu Pertiwi.

Maskapai pesawat terbesar asal Jerman, Lufthansa Group juga membukukan perolehan serupa. Berdasarkan laporan keuangan perusahaan, rasio beban usaha mencapai 98,12%, di mana total pemasukan tercatat sebesar EUR 17,52 miliar dan total beban usaha senilai EUR 17,19 miliar.

Manajemen Lufthansa Grup dalam press release menyampaikan tingginya beban usaha disebabkan oleh peningkatan signifikan pada harga bahan bakar yang tidak dapat dibebankan secara proporsional kepada konsumen.



Lebih lanjut, faktor lain yang patut diwaspadai oleh pelaku pasar adalah tingkat utang perusahaan.

Analisa fundamental yang umum digunakan untuk menganalisa performa utang dalam hal ini tingkat likuiditas adalah debt-to-equity ratio (DER).

DER menunjukkan tingkat utang perusahaan yang dihitung dengan membagi total utang dengan total ekuitas (yang diatribusikan pada pemilik induk). DER bisa juga menandakan resiko kredit perusahaan, semakin tinggi nilainya maka semakin besar resiko kredit.

Grafik di atas menunjukkan bahwa DER yang dicatatkan oleh Lufthansa Group paling kecil dengan nilai sebesar 3,74 kali. Sedangkan nilai DER untuk GIAA dan CMPP masing-masing sebesar 4,68 kali dan 11,23 kali.

Perolehan DER yang lebih dari 5 kali lipat, bisa dibilang cukup mengkhawatirkan, terutama untuk industri non-perbankan. Pasalnya, hal ini menandakan bahwa secara signifikan aset perusahaan dibiayai dari utang bukan modal sendiri (ekuitas).

Jika perusahaan tidak memiliki arus kas yang cukup untuk membayar kembali utang-utangnya, maka ini akan mengancam kelangsungan bisnis ke depan.

Selain itu, DER yang tinggi juga secara tidak langsung menunjukkan besarnya beban biaya keuangan yang harus ditanggung perusahaan, di mana hal ini turut menekan kinerja pos laba bersih.

Sebagai informasi, sepanjang tahun 2019 sudah terdapat lebih dari 10 perusahaan penerbangan internasional yang gulung tikar termasuk Thomas Cook (Inggris), Germania (Jerman), California Pacific (AS), Air Philip (Korea Selatan), Jet Airways (India), WOW Air (Islandia).

TIM RISET ²©²ÊÍøÕ¾ INDONESIA (dwa/hps)

Pages

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular