
7 Bulan Diguncang Demo, Bursa Hong Kong Lebih Tangguh dari RI
Dwi Ayuningtyas, ²©²ÊÍøÕ¾
12 November 2019 15:03

Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - Gelombang aksi demonstrasi yang melanda Hong Kong sejak 31 Maret 2019 hingga detik ini tampaknya tidak membuat perusahaan, manajer investasi, dan investor berhenti melakukan transaksi di pasar saham bekas persemakmuran Inggris tersebut.
Pasalnya, sejak awal tahun hingga penutupan perdagangan kemarin (11/11/2019) indeks Hang Seng (HSI) masih mampu mencatatkan imbal hasil 4,18%. Sementara itu, Indeks Harga Saham Gabungan, yang merupakan indeks acuan bursa saham Indonesia terkoreksi 0,74% pada periode yang sama.
Meskipun demikian, berdasarkan grafik di bawah ini, sejak hari pertama aksi protes Undang-Undang (UU) Ekstradisi (31/3/2019) bursa saham utama Hong Kong masih membukukan imbal hasil negatif sebesar 7,31%.
Sebagai informasi tambahan, aksi protes pertama UU Ekstradisi dimulai pada 31 Maret, kemudian disusul oleh long march dengan jutaan peserta demo pada 9 Juni 2019 ke kantor legislatif.
Analis menyampaikan status Hong Kong sebagai pintu gerbang bagi arus masuk dan keluar modal dari China membuat banyak perbankan global dan perusahaan manajemen investasi membuka cabang mereka di wilayah tersebut.
"Bagaimana keresahan ini mempengaruhi Anda untuk membeli aset bagus yang ada di China, dan itu akan terus tumbuh. Tidak satu pun hal tersebut memiliki korelasi dengan protes di Hong Kong," ujar salah seorang bankir senior yang dirahasiakan namanya, dikutip Reuters, Selasa (22/10/2019).
"Saya rasa saya tidak pernah menerima satu panggilan telepon pun yang mengatakan kita tidak boleh melakukan IPO ini karena apa yang terjadi di Hong Kong," tambahnya.
Perusahaan raksasa e-commerce asal China, Alibaba, bahkan tidak mengurungkan niatnya untuk melantai di bursa Hong Kong, meskipun memang aksi tersebut ditunda dari sebelumnya direncanakan pada Agustus tahun ini. Dan masih banyak perusahaan lainnya yang tetap berniat melakukan IPO di Hog Kong.
Aksi protes sejatinya memang menyakiti ekonomi domestik, terutama industri pariwisata dan ritel. Akan tetapi, ketika menilik ke pasar saham, hal ini tidak banyak berpengaruh besar.
Pasalnya, mayoritas perusahaan (sekitar 70%) yang tercatat di bursa saham Hong Kong justru kebanyakan berasal berdomisili di China. Alhasil performa kinerja keuangan perusahaan China justru lebih memiliki efek, dibandingkan dengan perusahaan domestik Hong Kong.
Saat ini, meskipun laju pertumbuhan ekonomi melambat, Beijing masih menawarkan prospek ekonomi yang menjanjikan. Hal ini mengingat pemerintah China masih terus menyuntikkan stimulus untuk menopang perekonomian domestik.
Pasalnya, sejak awal tahun hingga penutupan perdagangan kemarin (11/11/2019) indeks Hang Seng (HSI) masih mampu mencatatkan imbal hasil 4,18%. Sementara itu, Indeks Harga Saham Gabungan, yang merupakan indeks acuan bursa saham Indonesia terkoreksi 0,74% pada periode yang sama.
Meskipun demikian, berdasarkan grafik di bawah ini, sejak hari pertama aksi protes Undang-Undang (UU) Ekstradisi (31/3/2019) bursa saham utama Hong Kong masih membukukan imbal hasil negatif sebesar 7,31%.
Analis menyampaikan status Hong Kong sebagai pintu gerbang bagi arus masuk dan keluar modal dari China membuat banyak perbankan global dan perusahaan manajemen investasi membuka cabang mereka di wilayah tersebut.
"Bagaimana keresahan ini mempengaruhi Anda untuk membeli aset bagus yang ada di China, dan itu akan terus tumbuh. Tidak satu pun hal tersebut memiliki korelasi dengan protes di Hong Kong," ujar salah seorang bankir senior yang dirahasiakan namanya, dikutip Reuters, Selasa (22/10/2019).
"Saya rasa saya tidak pernah menerima satu panggilan telepon pun yang mengatakan kita tidak boleh melakukan IPO ini karena apa yang terjadi di Hong Kong," tambahnya.
Perusahaan raksasa e-commerce asal China, Alibaba, bahkan tidak mengurungkan niatnya untuk melantai di bursa Hong Kong, meskipun memang aksi tersebut ditunda dari sebelumnya direncanakan pada Agustus tahun ini. Dan masih banyak perusahaan lainnya yang tetap berniat melakukan IPO di Hog Kong.
Aksi protes sejatinya memang menyakiti ekonomi domestik, terutama industri pariwisata dan ritel. Akan tetapi, ketika menilik ke pasar saham, hal ini tidak banyak berpengaruh besar.
Pasalnya, mayoritas perusahaan (sekitar 70%) yang tercatat di bursa saham Hong Kong justru kebanyakan berasal berdomisili di China. Alhasil performa kinerja keuangan perusahaan China justru lebih memiliki efek, dibandingkan dengan perusahaan domestik Hong Kong.
Saat ini, meskipun laju pertumbuhan ekonomi melambat, Beijing masih menawarkan prospek ekonomi yang menjanjikan. Hal ini mengingat pemerintah China masih terus menyuntikkan stimulus untuk menopang perekonomian domestik.
Next Page
Valuasi Murah Buat Hong Kong Menarik
Pages
Most Popular