
10 Tahun Perusahaan yang Melantai di Bursa Itu-itu Saja

Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - Komisaris Bursa Efek Indonesia (BEI) Pandu Patria Sjahrir mengungkapkan pasar saham dalam negeri masih jauh ketinggalan dari pasar saham Amerika Serikat (AS), terutama dalam tren perkembangan emiten. Padahal, semakin banyak perusahaan dari berbagai sektor yang melantai di BEI akan memperbesar daya tarik investor, terutama asing untuk berinvestasi.
Belum lagi, porsi saham Indonesia di Indeks MSCIÂ terus terkikis lantaran makin banyaknya perusahaan China yang masuk dalam indeks ini.
Kedua hal tersebut disebabkan karena makin banyaknya perusahaan-perusahaan teknologi yang melantai di pasar modal kedua negara tersebut. Sebab, saham-saham perusahaan teknologi dinilai dapat mengungkit gerak indeks saham dimana saham tersebut dicatatkan.
Dia membandingkan top 10 saham di BEI dalam kurun waktu 10 tahun terakhir tidak mengalami perubahan komposisi, yakni masih didominasi oleh perusahaan telekomunikasi, konglomerasi, perbankan dan konsumer.
Meski ada sedikit pergerakan dimana saham perbankan makin tinggi komposisinya, tak banyak perubahan yang terjadi pada komposisi tersebut.
Sedangkan jika dibanding dengan Wall Street di periode yang sama, pasar saham dahulunya didominasi oleh saham-saham dari sektor energi, konglomerasi dan teknologi hanya ikut meramaikan 10 besar saja.
"Kalau dilihat sekarang top 5 adalah teknologi, baru suatu konglomerasi dan kemudian di bawahnya pun perusahaan yang lebih bersifat teknologi. Dan pada same time market capitalization pasarnya double," kata Pandu dalam dalam acara Capital Market Summit & Expo 2020 yang diselenggarakan secara virtual, Rabu (21/10/2020).
Dia menyebutkan, fenomena tersebut menunjukkan adanya shifting yang terjadi nilai-nilai perusahaan di pasar saham Amerika ini. Lebih jomplangnya lagi, sektor perbankan justru tidak menjadi sektor favorit layaknya di Indonesia.
"Kalau dikumpul sekarang di private market komposisi perusahaan telko digabung dan perusahaan teknologi digabung sudah seimbang per hari ini. Tapi di private market," imbuhnya.
Di lain sisi, terkait dengan jumlah saham yang tercatat di BEI per tahunnya dinilai cukup besar dengan raihan dana yang juga tak bisa dibilang buruk. Namun, sayangnya nilai ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan nilai transaksi dari private equity di dalam negeri, yang per tahun transaksinya bisa mencapai kisaran US$ 2 miliar-US$ 3 miliar.
Untuk itu, hal ini akan menjadi kesempatan yang lebih besar bagi bursa saham dalam negeri untuk bisa meningkatkan value transaksinya dengan menggaet pemain besar teknologi di dalam negeri, seperti perusahaan yang sudah memiliki title unicorn.
"Saat masuk kalau melihat komposisi MSCI outway ke technology dan banyak public investor melihat sektor teknologi, potensi upside perusahaan ini cukup besar, market cap bisa meningkat," lanjutnya.
Dia mencontohkan salah satu penawaran umum saham perdana (initial oublic offering/IPO) yang akan menjadi terbesar di dunia dengan valuasi mencapai US$ 200 miliar-US$ 300 miliar justru dilakukan oleh perusahaan teknologi, yakni Ant Group, perusahaan milik Jack Ma.
"Kalau misalnya nanti perusahaan-perusahaan new economy ini akan jadi Tbk kita akan achieve quality participant yang besar dan akan membantu indeks pasar. KIta juga akan melihat penambahan jumlah feasibility dan exit buat investor private ... dan lainnya adalah social mission, financial inclusion, education dan pemerataan ekonomi," tutupnya.
(hps/hps) Next Article Perkenalkan, Ini 2 Saham Pendatang Baru di Bursa RI