Lantas, saham mana yang menunjukkan kinerja paling anjlok secara YTDÂ hingga perdagangan Kamis kemarin (18/3)?
Kemudian, bagaimana kinerja keuangan emiten-emiten telekomunikasi tersebut pada tahun lalu?
Berikut gerak saham emiten telko selama sehari dan YTD.
Berikut analisis emiten telekomunikasi dengan kinerja terburuk
Jasnita Telekomindo (JAST)
Saham JAST telah membukukan penurunan terbesar dibandingkan dengan emiten telko lainnya secara YTD, yakni 86,03%. Penguatan harga saham selama 4 hari beruntun masih belum mampu memangkas defisit kinerja saham emiten yang didirikan pada 1996 ini.
Selain itu, aksi beli bersih oleh investor asing sebesar Rp 1,55 miliar secara YTD tidak mampu mendongkrak saham JAST.
Pada laporan keuangan per September 2020, JAST membukukan pendapatan sebesar Rp 43,30 miliar, turun % dari Rp 64,67 miliar pada periode yang sama tahun 2019.
Adapun perusahaan masih mencatatkan rugi bersih sebesar Rp 248,72 juta. Angka ini membaik dari rugi bersih per kuartal III tahun sebelumnya sebesar Rp 1.33 miliar.
Pada awal Januari lalu melalui keterbukaan informasi di BEI, manajemen JAST mengaku bisnis perusahaan terkena dampak pandemi COVID-19. Misalnya, sebagian klien berhenti berlangganan layanan perusahaan dan pembayaran layanan kepada JAST sempat tertunda.
Di samping itu, JAST mengumumkan kerja sama dan peluncuran layanan terbaru perusahaan pada tahun ini. Informasi ini mengacu pada keterbukaan informasi pada 8 dan 15 Februari 2021, serta 1 Maret 2021.
Beberapa rencana dan impelementasi strategi bisnis perusahaan tersebut, , yakni peluncuran layanan Omnichannel. Omnichannel merupakan pendekatan multisaluran yang berfokus pada pengalaman pelanggan yang terarah pada satu titik, baik dalam bentuk pesan teks seperti social media, SMS, WhatsApp Business, maupun panggilan telepon seperti VoIP.
Selain Omnichannel, meluncurkan layanan Robot Process Automation (RPA). RPA merupakan layanan berbasis web dimana pekerjaan akan dibantu diotomasi oleh robot.
JAST juga mengumumkan kerja sama dengan Kementerian Keuangan dan Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam outsourcing SDM dan manajemen operasional contact center per bulan Maret 2021.
Smartfren (FREN)
Saham telekomunikasi lainnya, FREN, juga tercatat ambles 22,43% sejak awal tahun. Sama seperti JAST, meskipun anjlok, asing juga ramai-ramai memborong saham ini sebesar Rp 79,34 miliar.
FREN baru saja melaporkan kinerja tahunan yang masih membukukan rugi Rp 1,52 triliun di 2020. Ini artinya, sudah 12 tahun atau sejak 2008, FREN tak pernah mencatatkan "angka biru" pada kinerja laba bersih.
Rugi bersih tersebut sedikit membaik dari tahun 2019 yakni Rp 2,18 triliun.
Hanya saja, meski merugi, prospek bisnis FREN terbuka lebar dengan penetrasi digitalisasi dan industri telekomunikasi yang terus bertumbuh di tengah pandemi Covid-19.
Tahun lalu, FREN juga mencatatkan pendapatan usaha Rp9,40 triliun, naik 34,63% dari tahun 2019 Rp 6,98 triliun.
Terbaru, FREN berencana menambah modal dengan skema hak memesan efek terlebih dahulu (HMETD) atau rights issue. Perseroan bakal menerbitkan saham baru sebanyak 7 miliar saham dalam penawaran umum terbatas (PUT) IV, dengan harga pelaksanaan Rp 120/saham.
Berbarengan dengan rights issue, perseroan juga akan menerbitkan waran sebanyak 91,99 miliar waran atau sekitar 34,9% modal disetor.
Rencananya, FREN akan menggunakan seluruh dana hasil rights issue maupun pelaksanaan waran yang mencapai Rp 10 triliun, setelah dikurangi dengan biaya-biaya emisi, untuk pembayaran pinjaman dan/atau modal kerja perseroan dan/atau entitas anak perseroan.
Selain itu, ada satu sentimen yang ikut memengaruhi pergerakan saham FREN, yakni isu merger dengan XL Axiata (EXCL) yang dimulai setidaknya sejak dua tahun lalu.
Pihak FREN sendiri tercatat sudah beberapa kali membantah isu tersebut. Terbaru, pada 8 Januari tahun ini dalam penjelasan tertulis kepada BEI, Sekretaris Perusahaan James Wewengkang menjelaskan, perusahaan tidak dapat mengklarifikasi kebenaran atas berita mengenai kemungkinan merger FREN dan XL.
XL Axiata (EXCL)
Saham ketiga, EXCL tercatat sudah terjun 18,75% secara YTD. Berbeda dengan dua saham di atas, asing tercatat keluar dari saham ini dengan catatan jual bersih Rp 196,39 miliar sejak awal tahun.
Pada bulan lalu, operator telekomunikasi EXCL melaporkan nilai laba bersih perusahaan sepanjang tahun 2020 turun signifikan sebesar 47,85% ke Rp 371,59 miliar dari nilai laba bersih di periode yang sama tahun sebelumnya senilai Rp 712,57 miliar.
Berdasarkan laporan keuangan perusahaan, nilai laba bersih per saham juga ikut turun menjadi Rp 35/saham dari periode sebelumnya yang senilai Rp 67/saham.
Padahal pada periode ini pendapatan EXCL naik tipis sebesar 3,48% menjadi senilai Rp 26,01 triliun, dari pendapatan perusahaan di akhir 2019 senilai Rp 25,13 triliun
Pendapatan data naik menjadi senilai Rp 21,38 triliun, dari sebelumnya senilai Rp 19,28 triliun. Sedangkan pendapatan non data turun menjadi sebesar Rp 2,82 triliun dari posisi Rp 3,55 triliun di akhir Desember 2019.
Terbaru, EXCL tampaknya kembali tertarik untuk mengikuti lelang frekuensi 2,3 GHz yang dilakukan oleh pemerintah. XL Axiata memastikan sudah mengambil dokumen lelang tersebut.
TIM RISET ²©²ÊÍøÕ¾ INDONESIA