²©²ÊÍøÕ¾

Derita Sritex Pembuat Seragam NATO & Pan Brothers Bagi Adidas

chd, ²©²ÊÍøÕ¾
07 May 2021 10:15
Pabrik Tekstil Trigema Jerman
Foto: Ilustrasi Logo Sritex. (²©²ÊÍøÕ¾/Muhammad Sabki)

Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ -ÌýNasib tak baik sedang didera oleh dua emiten tekstil, yakni PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) dan PT Pan Brothers Tbk (PBRX). Kondisi likuiditas kedua perusahaan terganggu akibat pandemi virus corona (Covid-19), akibatnya perseroan kesulitan membayarkan kewajiban atau utang.

Padahal kedua perusahaan merupakan produsen tekstil yang punya pasar ekspor. Sritex tercatat pernah menjadi produsen seragam tentara North Atlantic Treaty Organization (NATO) dan juga seragam tentara sejumlah negara.

Sementara Pan Brothers, juga tercatat sebagai pembuat pakaian dari brand ternama seperti Adidas dan Uniqlo. Per September 2020, penjualan perseroan kepada brands yakni Adidas Sourcing Ltd senilai US$81,69 juta, sedangkan penjualan kepada Uniqlo sebesar US$75,98 juta.

Selain kondisi likuiditas yang ketat akibat pandemi virus corona (Covid-19), kedua emiten tekstil tersebut juga dihadapkan oleh utang perseroan yang juga sedang bermasalah.

Emiten tekstil produsen pakaian Nato, SRIL pun kini juga dihadapi oleh utang yang bermasalah, pasalnya salah satu lembaga pemeringkat internasional, yakni Fitch Ratings kembali memangkas peringkat utang SRIL baru-baru ini.

Fitch menurunkan Peringkat Jangka Panjang Issuer Default Rating (IDR) SRIL alias Sritex menjadi RD (Restricted Default) dari sebelumnya C.

Rating Restricted Default ini adalah peringkat utang yang satu tingkat di atas default.

Mengutip siaran resmi Fitch, Selasa (4/5/2021), pada saat yang sama, Fitch Ratings Indonesia menurunkan Peringkat Nasional Jangka Panjang Sritex menjadi RD (idn) dari sebelumnya C (idn).

Fitch juga menegaskan kembali peringkat utang dolar AS Sritex yang belum jatuh tempo di posisi 'C' dengan Recovery Rating 'RR4'.

Sritex tidak memenuhi pembayaran bunga jatuh tempo sekitar US$ 850.000 atau setara dengan Rp 11,9 miliar (kurs US$ 1 = Rp 14.000) atas pinjaman sindikasi senilai US$350 juta atau Rp 4,9 triliun, yang jatuh tempo 23 April 2021. Sementara itu, bank tidak melakukan rollover (memperpanjang jatuh tempo) pinjaman revolver yang jatuh tempo pada hari yang sama.

Manajemen SRIL pun menjelaskan latar belakang soal penurunan rating Jangka Panjang Issuer Default Rating (IDR) menjadi RD (Restricted Default) dari sebelumnya C yang dilakukan oleh Fitch.

Allan Moran Severino, Direktur Keuangan SRIL, dalam penjelasan kepada Bursa Efek Indonesia (BEI) mengatakan perseroan telah mengirim surat kepada facility agent terkait dengan kesediaan perseroan untuk membayar biaya bunga tersebut dengan permintaan persyaratan di mana perseroan menunggu konfirmasi sebelum perseroan membayar.

Hanya saja, sampai saat ini perseroan belum mendapatkan konfirmasi tersebut dari facility agent.

"Fitch Ratings sudah menurunkan rating kami menjadi RD," katanya dalam surat keterbukaan informasi BEI, Kamis (6/5/2021).

Sebaliknya, BEI pun bertanya soal strategi SRIL untuk memenuhi kewajiban yang dimaksud yakni membayar bunga sehingga Fitch tidak menurunkan hasil pemeringkatan.

Alan kemudian menjawab pihaknya sudah melakukan komunikasi dengan Fitch Ratings dan masih menunggu konfirmasi dari facility agent.

Hanya saja, dampak dari penurunan hasil pemeringkatan RD terhadap keuangan adalah perseroan kesulitan dalam mendapatkan fasilitas perbankan dan pasar keuangan.

Dampak operasional yakni mempengaruhi kegiatan operasional karena terbatasnya pendanaan. "Sementara dampak hukum adalah dapat terjadi tuntutan percepatan pembayaran dan dampak kelangsungan usaha yakni tergantung pada dampak-dampak di atas," kata Alan.

Informasi saja, pinjaman revolver/revolving secara sederhana merupakan fasilitas pinjaman jangka pendek yang dapat diperpanjang.

Penurunan rating ini terjadi setelah berakhirnya cure period 5 hari kerja sejak 23 April 2021, setelah Sritex tidak melakukan pembayaran bunga atas pinjaman sindikasi perusahaan.

Dilansir dari ensiklopedia ekonomi, cure period merupakan jangka waktu yang diberikan kepada pihak yang gagal memenuhi kewajiban tertentu dan mencoba memperbaikinya. Contohnya, ketika suatu perusahaan membayar bunga suatu pinjaman.

Peringkat Nasional 'RD' mencerminkan penerbit mengalami gagal bayar obligasi tanpa jaminan, pinjaman atau kewajiban keuangan material lainnya tetapi belum mengajukan kebangkrutan, administrasi, penerimaan, likuidasi atau prosedur penutupan formal lainnya, dan yang tidak berhenti beroperasi.

Dalam kamus Fitch, rating RD berada tepat di atas rating D atau default (wanprestasi) alias gagal bayar.

Fitch menggarisbawahi sejumlah faktor-faktor penggerak peringkat Sritex.

Pertama, kegagalan Sritex dalam membayar bunga pinjaman sindikasi dalam cure period yang berakhir pada 30 April lalu.

Fitch mencatat, hal tersebut merupakan peristiwa gagal bayar berdasarkan perjanjian pinjaman.

"Oleh karena itu, bank dapat memutuskan untuk mempercepat pembayaran pinjaman, kendati hal ini memerlukan persetujuan dari mayoritas pemberi pinjaman, yang terdiri dari setidaknya 66,67% dari jumlah outstanding," jelas Fitch dalam keterangan tertulis, dikutip ²©²ÊÍøÕ¾, Rabu (5/5/2021).

Adapun, utang dengan jumlah pokok sebesar US$ 10 juta (Rp 145 miliar) atau lebih yang dinyatakan telah jatuh tempo dan terutang juga merupakan peristiwa gagal bayar berdasarkan dokumen obligasi milik Sritex.

Kedua, terkait proses negosiasi restrukturisasi utang. Sritex sedang melanjutkan diskusi dengan pemberi pinjaman, mengingat perusahaan bergantung pada akses pendanaan untuk melanjutkan bisnis yang membutuhkan persyaratan modal kerja yang tinggi.

Sritex menunjuk Helios Capital dan Assegaf Hamzah & Partners sebagai penasihat keuangan dan hukum perusahaan untuk melakukan negosiasi restrukturisasi utang. Pada saat yang sama, perusahaan sedang melakukan negosiasi dengan para pemegang obligasi.

Ketiga, mengenai proses hukum dan moratorium utang. Sritex dan anak perusahaannya sedang dalam proses berbagai proses hukum.

Sebut saja, suatu perusahaan konstruksi mengajukan gugatan terhadap Sritex dan anak perusahaan terkait moratorium utang yang diawasi pengadilan, atau yang dikenal sebagai PKPU (Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang), yang dijadwalkan untuk keputusan di Pengadilan Niaga pada Kamis (6/5/201).

Selain itu, anak usaha Sritex, Golden Legacy Pte Ltd, juga mengajukan permohonan moratorium pembayaran berdasarkan Pasal 64 (1) Insolvency, Restructuring and Dissolution Act atau undang-udang mengenai Tindakan Kepailitan, Restrukturisasi dan Pembubaran di Singapura.

Permohonan moratorium ini terkait dengan obligasi senilai US$ 150 juta atau Rp 2,18 triliun. Informasi saja, Golden Legacy Pte Ltd adalah penerbit obligasi perusahaan yang jatuh tempo pada tahun 2024.

Keempat, soal indikator enviromental, social, and governance (ESG) atau lingkungan, sosial, dan tata kelola.

Sritex memiliki Skor Relevansi ESG 4 untuk Strategi Manajemen dan Struktur Tata Kelola. Ini seiring adanya penundaan dalam memenuhi perpanjangan fasilitas utang Sritex, yang memberi tekanan pada profil kredit perseroan mengingat meningkatnya risiko pembiayaan kembali (refinancing risks).

"Hal tersebut berdampak negatif pada profil kredit, dan juga berkaitan dengan peringkat perusahaan sehubungan dengan faktor-faktor lain," jelas Fitch.

Mengenai sensitivitas rating, Fitch akan menilai kembali struktur permodalan Sritex setelah restrukturisasi utangnya selesai.

Selain itu, Fitch selanjutnya akan menurunkan peringkat ke 'D' (default) jika Sritex terlibat dalam proses kebangkrutan, administrasi, penerimaan, likuidasi, atau prosedur penutupan resmi lainnya atau jika ia menghentikan operasinya.

Sebelumnya, pada 26 April 2021, Fitch menurunkan peringkat Jangka Panjang Issuer Default Rating (IDR) Sritex menjadi C dari sebelumnya CCC-.

Penurunan peringkat tersebut seiring perseroan tidak memenuhi pembayaran bunga jatuh tempo 23 April 2021 atas pinjaman sindikasi perusahaan.

Menurut penjelasan para analis Fitch di dalam laporannya tersebut, peringkat Nasional C menunjukkan proses default atau menuju default telah dimulai.

Walaupun Sritex kini sedang dihimpit permasalahan utang, namun perseroan masih mampu memenuhi ekspornya. Pada akhir tahun lalu, Sritex mendapat pesanan dari Filipina berupa pakaian tentara Filipina.

Sritex pun kemudian mengeskspor produk pakaian militer sebanyak delapan kontainer ke Filipina.

Pelepasan ekspor ini adalah langkah awal Sritex dalam melakukan ekspor pakaian militer ke Filipina. Sebelumnya, PT Sritex melakukan pendekatan dan ujian pemenuhan kualifikasi sekitar dua tahun dengan salah satu mitra lokal di Filipina, yaitu Jeje Enterprises.

Setelah melewati beberapa tahapan yang ditentukan, Sritex dinyatakan memenuhi kualifikasi yang disyaratkan dan berhasil menerima pesanan awal dari Filipina.

Presiden Direktur PT Sritex Iwan Setiawan mengatakan, Filipina merupakan negara ke-36 yang seragam militernya dibuat PT Sritex dan merupakan negara ke-8 di kawasan Asia Pasifik setelah Indonesia, Malaysia, Brunei, Timor Leste, Singapure, Nepal, dan Australia.

"Dengan hasil positif tersebut, diharapkan produk-produk perlengkapan militer asal Indonesia dapat semakin berkembang di pasar Filipina," kata Iwan, dalam siaran pers, Kamis (17/12/2020).

Dengan demikian, kata dia, Indonesia dapat memanfaatkan peluang pasar yang ada dan memainkan peran utama dalam mempercepat pertumbuhan perekonomian dunia pascapandemi Covid-19.

Wakil Duta Besar RI untuk Filipina Widya Rahmanto mengatakan, ekspor ini merupakan bukti nyata komitmen para pelaku usaha untuk terus berkontribusi dalam peningkatan kinerja ekspor dan pemulihan ekonomi nasional.

Apalagi, kata dia, hubungan perdagangan Indonesia dan Filipina mulai berkembang pesat. Kualitas produk militer buatan Indonesia lainnya kini juga semakin diakui. Sebelum mengekspor pakaian militer ini, Indonesia telah mengekspor kapal strategic sealift vessel, pesawat terbang NC212 serta lokomotif dan gerbong kereta api untuk perusahaan kereta api nasional Filipina (National Philippines Railway/NPR)

"Pelaksanaan kegiatan ekspor ini diharapkan dapat memotivasi para pelaku usaha lainnya untuk melakukan penjajakan kerja sama dan investasi dengan Filipina," ujar Widya.

Selain Sritex, emiten tekstil lainnya, yakni PT Pan Brothers Tbk (PBRX) juga dihimpit utang yang juga bermasalah, di mana Fitch Ratings juga memangkas peringkat utang PBRX pada Februari lalu.

Fitch Ratings menurunkan peringkat Long-Term IDR Pan Brothers menjadi 'C' dari 'CC'.

Fitch juga menurunkan peringkat obligasi global tanpa jaminan PBRX sebesar US$ 171 juta yang jatuh tempo Januari 2022, yang diterbitkan oleh anak usaha PBRX, PB International B.V., menjadi 'C' dari 'CC' dengan Peringkat Pemulihan tetap di 'RR4'.

Pada saat yang sama, Fitch Ratings Indonesia telah menurunkan Peringkat Nasional Jangka Panjang PBRX menjadi 'C (idn)' dari 'CC (idn)'.

"Penurunan peringkat ini menyusul pengumuman PBRX bahwa perusahaan telah menandatangani perjanjian standstill dengan pemberi pinjaman untuk tidak mengambil tindakan penegakan hukum, yang sejalan dengan definisi Fitch untuk tingkat peringkat 'C'," tulis Fitch dalam keterangan resmi, dikutip Rabu (3/2/2021).

"Periode jatuh tempo telah berakhir pada 27 Januari 2021, sehingga bank dapat mempercepat dan memberlakukan pinjaman sindikasi senilai US$ 138,5 juta yang jatuh tempo pada 27 Januari. Namun, perseroan sedang dalam proses mengupayakan perpanjangan penundaan hingga 12 Februari 2021," tulis Fitch.

"Dalam perjanjian standstill, Pan Brothers harus memenuhi beberapa milestones yang spesifik ketika melanjutkan negosiasi untuk finalisasi perpanjangan dari utang sindikasi," tulis Fitch lagi.

Fitch menilai, negosiasi panjang dan periode pendeknya periode standstill merefleksikan posisi likuiditas perusahaan yang lemah dan terbatasnya akses ke sumber pendanaan alternatif.

Lembaga rating ini juga melihat terjadi beberapa kali perpanjangan terhadap standstill, maka resolusi terhadap struktur modal perusahaan hanya bisa lewat restrukturisasi.

Mengacu laporan keuangan PBRX per September 2020, utang yang akan jatuh tempo pada Januari 2021 ini merupakan hasil perjanjian pinjaman sindikasi pada 27 Desember 2017.

Berdasarkan perjanjian sindikasi, perusahaan menerima fasilitas kredit dari pinjaman sindikasi di mana fasilitas ini adalah untuk melunasi sisa saldo uang sindikasi sebelumnya tertanggal 9 Oktober 2015.

Bank yang bertindak sebagai mandated lead arrangers and bookrunners adalah PT Bank ANZ Indonesia, PT Bank HSBC Indonesia, dan ING Bank NV. Sementara, HSBC sebagai facility agent dan PT Bank Permata Tbk sebagai security agent.

Awalnya, jumlah plafon pinjaman sindikasi sebesar US$ 110 juta dengan accordion US$ 40 juta. Fasilitas terbagi dua, yakni tranche A dengan tingkat bunga Libor+2,25% dan tranche B dengan Libor+1,75%.

Pan Brothers tercatat mendapatkan kembali accordion US$ 28,5 juta pada November 2018, jadi total plafon pinjaman menjadi US$ 138,5 juta.

Sebelumnya pada 26 Januari lalu, Pan Brothers juga sudah mengantongi izin pemegang saham atas rencana penerbitan global bond dengan target US$ 350 juta atau setara Rp 4,9 triliun, dengan tenor jatuh tempo 2026.

Dana hasil penerbitan obligasi ini untuk membayar global bond 2022 dan sindikasi bank US$ 138,5 juta.

Fitch menilai, jika penerbitan global bond berjalan lancar, maka hal tersebut akan memperbaiki profil jatuh tempo utang perusahaan secara signifikan.

Akan tetapi, PBRX harus terlebih dahulu mengatasi utang yang akan jatuh tempo dalam waktu dekat dan meredakan sentimen negatif investor terhadap sektor tekstil.

"Arus kas PBRX dari operasi secara konsisten negatif karena bisnisnya membutuhkan modal kerja yang besar. Akuisisi pelanggan baru telah memperpanjang siklus modal kerja," tulis Fitch.

PBRX, tulis Fitch, berencana mempersingkat siklus modal kerja dengan teknologi dan otomasi, dan meninjau pasokan bahan bakunya dengan preferensi untuk pemasok lokal.

"Namun, perubahan proses modal kerja akan memakan waktu dan, oleh karena itu, PBRX tetap bergantung pada pendanaan eksternal, yang mungkin terbukti menantang mengingat situasi macet dengan pemberi pinjaman."

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular