
Derita Sritex Pembuat Seragam NATO & Pan Brothers Bagi Adidas

Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ -ÌýNasib tak baik sedang didera oleh dua emiten tekstil, yakni PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) dan PT Pan Brothers Tbk (PBRX). Kondisi likuiditas kedua perusahaan terganggu akibat pandemi virus corona (Covid-19), akibatnya perseroan kesulitan membayarkan kewajiban atau utang.
Padahal kedua perusahaan merupakan produsen tekstil yang punya pasar ekspor. Sritex tercatat pernah menjadi produsen seragam tentara North Atlantic Treaty Organization (NATO) dan juga seragam tentara sejumlah negara.
Sementara Pan Brothers, juga tercatat sebagai pembuat pakaian dari brand ternama seperti Adidas dan Uniqlo. Per September 2020, penjualan perseroan kepada brands yakni Adidas Sourcing Ltd senilai US$81,69 juta, sedangkan penjualan kepada Uniqlo sebesar US$75,98 juta.
Selain kondisi likuiditas yang ketat akibat pandemi virus corona (Covid-19), kedua emiten tekstil tersebut juga dihadapkan oleh utang perseroan yang juga sedang bermasalah.
Emiten tekstil produsen pakaian Nato, SRIL pun kini juga dihadapi oleh utang yang bermasalah, pasalnya salah satu lembaga pemeringkat internasional, yakni Fitch Ratings kembali memangkas peringkat utang SRIL baru-baru ini.
Fitch menurunkan Peringkat Jangka Panjang Issuer Default Rating (IDR) SRIL alias Sritex menjadi RD (Restricted Default) dari sebelumnya C.
Rating Restricted Default ini adalah peringkat utang yang satu tingkat di atas default.
Mengutip siaran resmi Fitch, Selasa (4/5/2021), pada saat yang sama, Fitch Ratings Indonesia menurunkan Peringkat Nasional Jangka Panjang Sritex menjadi RD (idn) dari sebelumnya C (idn).
Fitch juga menegaskan kembali peringkat utang dolar AS Sritex yang belum jatuh tempo di posisi 'C' dengan Recovery Rating 'RR4'.
Sritex tidak memenuhi pembayaran bunga jatuh tempo sekitar US$ 850.000 atau setara dengan Rp 11,9 miliar (kurs US$ 1 = Rp 14.000) atas pinjaman sindikasi senilai US$350 juta atau Rp 4,9 triliun, yang jatuh tempo 23 April 2021. Sementara itu, bank tidak melakukan rollover (memperpanjang jatuh tempo) pinjaman revolver yang jatuh tempo pada hari yang sama.
Manajemen SRIL pun menjelaskan latar belakang soal penurunan rating Jangka Panjang Issuer Default Rating (IDR) menjadi RD (Restricted Default) dari sebelumnya C yang dilakukan oleh Fitch.
Allan Moran Severino, Direktur Keuangan SRIL, dalam penjelasan kepada Bursa Efek Indonesia (BEI) mengatakan perseroan telah mengirim surat kepada facility agent terkait dengan kesediaan perseroan untuk membayar biaya bunga tersebut dengan permintaan persyaratan di mana perseroan menunggu konfirmasi sebelum perseroan membayar.
Hanya saja, sampai saat ini perseroan belum mendapatkan konfirmasi tersebut dari facility agent.
"Fitch Ratings sudah menurunkan rating kami menjadi RD," katanya dalam surat keterbukaan informasi BEI, Kamis (6/5/2021).
Sebaliknya, BEI pun bertanya soal strategi SRIL untuk memenuhi kewajiban yang dimaksud yakni membayar bunga sehingga Fitch tidak menurunkan hasil pemeringkatan.
Alan kemudian menjawab pihaknya sudah melakukan komunikasi dengan Fitch Ratings dan masih menunggu konfirmasi dari facility agent.
Hanya saja, dampak dari penurunan hasil pemeringkatan RD terhadap keuangan adalah perseroan kesulitan dalam mendapatkan fasilitas perbankan dan pasar keuangan.
Dampak operasional yakni mempengaruhi kegiatan operasional karena terbatasnya pendanaan. "Sementara dampak hukum adalah dapat terjadi tuntutan percepatan pembayaran dan dampak kelangsungan usaha yakni tergantung pada dampak-dampak di atas," kata Alan.
Informasi saja, pinjaman revolver/revolving secara sederhana merupakan fasilitas pinjaman jangka pendek yang dapat diperpanjang.
Penurunan rating ini terjadi setelah berakhirnya cure period 5 hari kerja sejak 23 April 2021, setelah Sritex tidak melakukan pembayaran bunga atas pinjaman sindikasi perusahaan.
Dilansir dari ensiklopedia ekonomi, cure period merupakan jangka waktu yang diberikan kepada pihak yang gagal memenuhi kewajiban tertentu dan mencoba memperbaikinya. Contohnya, ketika suatu perusahaan membayar bunga suatu pinjaman.
Peringkat Nasional 'RD' mencerminkan penerbit mengalami gagal bayar obligasi tanpa jaminan, pinjaman atau kewajiban keuangan material lainnya tetapi belum mengajukan kebangkrutan, administrasi, penerimaan, likuidasi atau prosedur penutupan formal lainnya, dan yang tidak berhenti beroperasi.
Dalam kamus Fitch, rating RD berada tepat di atas rating D atau default (wanprestasi) alias gagal bayar.
Fitch menggarisbawahi sejumlah faktor-faktor penggerak peringkat Sritex.
Pertama, kegagalan Sritex dalam membayar bunga pinjaman sindikasi dalam cure period yang berakhir pada 30 April lalu.
Fitch mencatat, hal tersebut merupakan peristiwa gagal bayar berdasarkan perjanjian pinjaman.
"Oleh karena itu, bank dapat memutuskan untuk mempercepat pembayaran pinjaman, kendati hal ini memerlukan persetujuan dari mayoritas pemberi pinjaman, yang terdiri dari setidaknya 66,67% dari jumlah outstanding," jelas Fitch dalam keterangan tertulis, dikutip ²©²ÊÍøÕ¾, Rabu (5/5/2021).
Adapun, utang dengan jumlah pokok sebesar US$ 10 juta (Rp 145 miliar) atau lebih yang dinyatakan telah jatuh tempo dan terutang juga merupakan peristiwa gagal bayar berdasarkan dokumen obligasi milik Sritex.
Kedua, terkait proses negosiasi restrukturisasi utang. Sritex sedang melanjutkan diskusi dengan pemberi pinjaman, mengingat perusahaan bergantung pada akses pendanaan untuk melanjutkan bisnis yang membutuhkan persyaratan modal kerja yang tinggi.
Sritex menunjuk Helios Capital dan Assegaf Hamzah & Partners sebagai penasihat keuangan dan hukum perusahaan untuk melakukan negosiasi restrukturisasi utang. Pada saat yang sama, perusahaan sedang melakukan negosiasi dengan para pemegang obligasi.
Ketiga, mengenai proses hukum dan moratorium utang. Sritex dan anak perusahaannya sedang dalam proses berbagai proses hukum.
Sebut saja, suatu perusahaan konstruksi mengajukan gugatan terhadap Sritex dan anak perusahaan terkait moratorium utang yang diawasi pengadilan, atau yang dikenal sebagai PKPU (Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang), yang dijadwalkan untuk keputusan di Pengadilan Niaga pada Kamis (6/5/201).
Selain itu, anak usaha Sritex, Golden Legacy Pte Ltd, juga mengajukan permohonan moratorium pembayaran berdasarkan Pasal 64 (1) Insolvency, Restructuring and Dissolution Act atau undang-udang mengenai Tindakan Kepailitan, Restrukturisasi dan Pembubaran di Singapura.
Permohonan moratorium ini terkait dengan obligasi senilai US$ 150 juta atau Rp 2,18 triliun. Informasi saja, Golden Legacy Pte Ltd adalah penerbit obligasi perusahaan yang jatuh tempo pada tahun 2024.
Keempat, soal indikator enviromental, social, and governance (ESG) atau lingkungan, sosial, dan tata kelola.
Sritex memiliki Skor Relevansi ESG 4 untuk Strategi Manajemen dan Struktur Tata Kelola. Ini seiring adanya penundaan dalam memenuhi perpanjangan fasilitas utang Sritex, yang memberi tekanan pada profil kredit perseroan mengingat meningkatnya risiko pembiayaan kembali (refinancing risks).
"Hal tersebut berdampak negatif pada profil kredit, dan juga berkaitan dengan peringkat perusahaan sehubungan dengan faktor-faktor lain," jelas Fitch.
Mengenai sensitivitas rating, Fitch akan menilai kembali struktur permodalan Sritex setelah restrukturisasi utangnya selesai.
Selain itu, Fitch selanjutnya akan menurunkan peringkat ke 'D' (default) jika Sritex terlibat dalam proses kebangkrutan, administrasi, penerimaan, likuidasi, atau prosedur penutupan resmi lainnya atau jika ia menghentikan operasinya.
Sebelumnya, pada 26 April 2021, Fitch menurunkan peringkat Jangka Panjang Issuer Default Rating (IDR) Sritex menjadi C dari sebelumnya CCC-.
Penurunan peringkat tersebut seiring perseroan tidak memenuhi pembayaran bunga jatuh tempo 23 April 2021 atas pinjaman sindikasi perusahaan.
Menurut penjelasan para analis Fitch di dalam laporannya tersebut, peringkat Nasional C menunjukkan proses default atau menuju default telah dimulai.
