
Vaksinasi Berbayar, Siapa 'Bohir' di Balik Vaksin Sinopharm?

Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - Sempat geger dan diprotes sejumlah pihak, akhirnya PT Kimia Farma Tbk (KAEF) sebagai BUMN penyelenggara Vaksinasi Gotong Royong Mandiri (berbayar) menunda pelaksanaan vaksinasi berbayar bagi masyarakat umum dengan memakai vaksin Sinopharm ini.
Padahal dijadwalkan, mulai Senin pekan ini (12/7), KAEFÂ bisa memulai menjual vaksinasi mandiri ini secara individu. Bahkan harga vaksinasi telah ditetapkan oleh Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/4643/2021 tentang Penetapan Besaran Harga Pembelian Vaksin Produksi Sinopharm.
Harga satu dosis harus merogoh Rp321.660 dan juga tarif layanan senilai Rp117.910 per dosis. Jadi perkiraan biaya untuk menyelesaikan dua dosis adalah sekitar Rp 879.140.
Tapi lantaran adanya pembahasan lebih lanjut dan sejumlah pertanyaan publik, Kimia Farma memutuskan untuk menunda pelaksanaan program vaksinasi berbayar dan menunggu petunjuk teknis dari Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin.
Adapun jenis vaksin yang ditetapkan pemerintah untuk program Vaksinasi Gotong Royong (VGR) secara umum yakni vaksin Sinopharm dan Cansino.
Budi Gunadi Sadikin dalam rapat kerja bersama Komisi IX DPR RI secara virtual, Selasa (13/7/2021), mengatakan dilaksanakannya vaksinasi berbayar ini salah satunya demi mempercepat laju vaksinasi agar mencapai target 1,5 juta dosis per hari yang sekarang baru mencapai 300.000 dosis per hari.
BGS juga menjelaskan bahwa VGR tidak menggunakan APBN, melainkan sumber pembiayaannya berasal dari BUMN dan perusahaan swasta.
Selain itu mantan bos Inalum dan eks Dirut Bank Mandiri itu juga menegaskan bahwa VGR ini juga merupakan opsi alias tidak harus dengan jenis vaksin yang ditetapkan hanya Sinopharm dan Cansino, sehingga tidak berbenturan dengan program vaksinasi gratis yang dilaksanakan pemerintah.
Sebelumnya program vaksinasi berbayar ini sempat menjadi kontroversi dan ramai diperbincangkan oleh warganet, bahkan ekonom senior Faisal Basri sempat melayangkan kritik keras terkait keputusan ini. Ia pun menyebut kebijakan tersebut sebagai vaksin rente di akun Twitternya.
Kontroversi terkait harga vaksin tidak hanya terjadi di Indonesia, awal bulan lalu perdebatan seputar harga vaksin Sinopharm juga terjadi di dua negara Asia Selatan.
Dilansir dari Times of India, penetapan harga vaksin Sinopharm secara berbeda oleh perusahaan China tersebut untuk mitranya yang berbeda di Asia Selatan (Bangladesh dan Sri Lanka) sempat menimbulkan keributan.
Tuduhan bahwa Bangladesh membayar US$ 10 per dosis (Rp 145.000, kurs Rp 14.500/US$) sementara Sri Lanka membayar US$ 15 per dosis (Rp 217.000) untuk vaksin Sinopharm memicu perdebatan di kedua negara tersebut.
Sementara dari dalam negeri harga pembelian vaksin per dosis dari perusahaan farmasi China tersebut tidak dirincikan secara jelas, melainkan harga jual sesuai Keputusan Menteri Kesehatan.
Lantas, di tengah maju mundur vaksinasi berbayar ini, siapa sebetulnya perusahaan pemilik di balik vaksin Sinopharm ini?
NEXT: Siapa Investor Sinopharm?
