²©²ÊÍøÕ¾

Analisis

IPO Bukalapak Jadi Exit Strategy Pemodal Lama, Apa Benar?

Tri Putra, ²©²ÊÍøÕ¾
26 July 2021 09:39
Pendiri Bukalapak Umumkan Rachmat Kaimuddin sebagai Penerus Achmad Zaky (Dok. Bukalapak)
Foto: Pendiri Bukalapak Umumkan Rachmat Kaimuddin sebagai Penerus Achmad Zaky (Dok. Bukalapak)

Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - Sebentar lagi salah satu startup unicorn Tanah Air, PT Bukalapak.com Tbk(BUKA) akan segera resmi menjadi perusahaan publik yang sahamnya bisa diperdagangkan di bursa efek melalui mekanisme penawaran umum perdana (Initial Public Offering/IPO)).

Penawaran perdana perusahaan rintisan e-commerce yang digawangi Achmad Zaky ini menjadi perbincangan yang hangat di berbagai kalangan mulai dari investor, regulator, hingga para analis.

Pasar dipenuhi dengan euforia mulai dari investor institusi hingga ritel berebutan mengantre memesan saham yang akan melantai dengan kode BUKA ini hingga dikabarkan pemesanan mengalami kelebihan pemesanan (oversubscribe) sebesar 4 kali.

Namun banyak juga kalangan yang mencibir atas euforia yang terjadi di pasar.

Sebagian besar dari mereka adalah penggiat value investing. 'Kok mau ya beli perusahaan rugi dengan harga premium?'.

Kurang lebih begitulah yang menjadi pertanyaan para value investor.

Memangnya benar ya harga saham BUKA tergolong premium. Tanpa basa-basi lagi mari kita ulas bagaimana kinerja BUKA selama ini.

Lebih dari satu dekade berdiri BUKA masih membukukan kerugian. Net loss BUKA sebesar Rp 303,8 miliar hingga kuartal pertama tahun ini.

Kalau dilihat lebih ke belakang lagi yakni tahun 2020 total rugi berjalan perusahaan e-commerce yang dibekingi Emtek Group (EMTK) ini mencapai Rp 1,35 triliun. Dengan ekuitas (modal) sebesar Rp 1,61 triliun tahun lalu, maka jelas kerugian tersebut terlihat sangat besar.

Dalam prospektus BUKA, perusahaan akan menerbitkan sebanyak 25,76 miliar saham atau setara dengan 25% dari saham yang disetor dan ditempatkan perseroan.

Harga penawaran disebut akan dipatok di level tertingginya yakni Rp 850/saham, dengan begitu total dana yang akan diraup jika IPO-nya sukses akan mencapai Rp 21,9 triliun.

Target indikatif kapitalisasi pasarnya setelah IPO mencapai Rp 87,6 triliun. Saham BUKA sendiri akan masuk ke dalam indeks sektoral teknologi.

Dengan market cap sebesar itu maka BUKA akan menjadi perusahaan terbesar ke-15 tepat di bawah bank pelat merah PT Bank Negara Indonesia (Persero)Tbk (BBNI) tentunya ini belum menghitung kenaikan BUKA di hari pertama perdagangan, di mana seringkali saham-saham yang baru saja IPO melesat hingga level tertinggi harian (ARA, kenaikan 25% dalam sehari).

Selain itu bobot indeks teknologi yang tadinya hanya 5,52% dari total kapitalisasi pasar IHSG akan terkerek menjadi 6,69%.

Selanjutnya jika melihat dana yang diraup dari penawaran perdana mencapai hampir Rp 22 triliun maka total ekuitas dalam neraca BUKA bakal menjadi Rp 23,6 triliun atau naik hampir 20 kali lipat sehingga didapatkan rasio Price to Book Value (PBV) masih di kisaran 3,5 kali pasca-IPO.

Menariknya para value investor menganggap apabila valuasi ini sangatlah mahal, apalagi jika melirik pendapatan BUKA yang hanya berada di angka Rp 1,35 triliun di tahun 2020 maka Price to Sales Ratio (PSR) metrik yang biasa digunakan untuk melakukan valuasi saham emiten peritel akan berada di angka 64 kali, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan peritel yang melantai di bursa yang PSR-nya hanya berada di bawah 2 kali.

Menariknya apabila investor menggunakan pendapatan buka sebagai pembanding makan tidak akan apple to apple dengan perusahaan peritel lain karena sejatinya pendapatan BUKA hanyalah total komisi yang diterima BUKA dari transaksi yang terjadi di platform Bukalapak.com, sedangkan di perusahaan peritel lain, pendapatan yang diterima adalah hasil seluruh penjualan peritel tersebut.

Berbagai metrik valuasi yang lebih mencerminkan model bisnis perusahaan seperti menggunakan Gross Merchandise Value (GMV), Gross Transaction Value (GTV) hingga Total Processing Value (TPV) lebih cocok diterapkan.

Secara konservatif angka TPV paling cocok digunakan karena angka ini menghitung berapa total pembelian yang sudah dibayarkan oleh konsumen yang terjadi di platform Bukalapak.

Jika melihat angka TPV BUKA tercatat mencapai Rp 85,08 triliun di tahun 2020 sehingga rasio P/TPV perusahaan berada bawah 1 tepatnya 1,02 kali sehingga valuasinya cenderung wajar.

Apalagi mengingat pada tahun 2018 TPV Bukalapak hanya berada di angka Rp 28,34 triliun yang artinya ada pertumbuhan sebesar 44,26% secara compounding per tahun (CAGR). Inilah yang dinilai menarik oleh para investor terutama mereka yang 'bermazhab' growthinvesting.

Next: Pro-Kontra di Aspek Lain

Kemudian pro-kontra juga terjadi pada aspek lain. Ada yang beranggapan bahwa skenario IPO startup hanya akan menguntungkan pemegang saham lama yang kebanyakan adalah para modal ventura alias venture capital (VC).

Mereka ini adalah investor awal dari BUKA yang dikhawatirkan bakal menggunakan momentum yang tepat untuk exit dan meraup cuan baggeralias berkali-kali lipat sehingga IPOini akan menjadi 'Duka Bapak' bagi investor yang membeli saat penawaran perdana.

Terdapat dua aspek yang perlu diperhatikan pertama adalah dari pemegang saham lama beserta entitas bisnis yang terafiliasi dengan emiten dan kedua adalah penggunaan dana dari IPO.

Dari segi pemegang saham lama, jelas komposisinya didominasi oleh EMTK, founder,investor individual (angel investor) hingga modal ventura (VC).

Menurut aturan bursa, investor lama akan dikenakan locked up period selama 8 bulan. Dalam periode tersebut, investor lama dilarang menjual sahamnya. So kekhawatiran bahwa ini menjadi exit strategy, investor lama bisa diminimalisir paling tidak selama 8 bulan ke depan.

Prospektus IPO BukalapakFoto: Prospektus IPO Bukalapak
Prospektus IPO Bukalapak

Kemudian dari sisi penggunaan dana, jika digunakan untuk akuisisi perusahaan lain bisa jadi perusahaan yang diakuisisi tadi juga terafiliasi dengan investor awal perusahaan.

Ujung-ujungnya uang yang diraup dari aktivitas pendanaan tidak benar-benar masuk kas emiten melainkan hanya masuk kantong kiri keluar kantong kanan.

Bingung?

Begini ilustrasi sederhananya. Asumsikan ada perusahaan PT X yang dikuasai oleh Mr.A yang akan melakukan IPO di PT X di mana dana yang didapat akan digunakan PT X untuk mengakuisisi PT Y dimana PT Y ini ternyata juga dimiliki oleh Mr.A.

Selanjutnya biasanya valuasi PT Y akan digelembungkan terlebih dahulu, agar Mr.A dapat meraup untung.

Nantinya setelah PT X menerima dana IPO, maka uang tersebut akan berakhir di tangan Mr A sebagai pemilik PT Y. Investor yang masuk saat IPO akan merugi karena 'dipaksa' membeli perusahaan afiliasi di harga tinggi.

Transaksi seperti ini wajib diklarifikasikan dan dijabarkan di prospektus penawaran umum sehingga para calon pembeli tahu ke mana dana hasil IPO akan digunakan.

Apabila transaksi ini gagal dideklarasikan di prospektus penawaran umum, maka bisa masuk ke ranah Kejahatan pasar modal dan dapat ditindak oleh regulator.

Meskipun demikian banyak kasus yang terjadi, perseroan menggunakan nama-nama individu maupun perusahaan pinjaman alias nominee untuk mengakali aturan ini.

Hal inilah yang sempat dirumorkan terjadi di satu perusahaan tambang batu bara terbesar RI yang sempat meraup dana fantastis hingga Rp 12,2 triliun tahun 2008 silam yakni PT Adaro Energy Tbk (ADRO).

Meskipun sangat fenomenal karena besaran IPO-nya masih menjadi yang terbesar sepanjang sejarah pasar modal domestik sebelum nantinya sebentar lagi akan dilampaui oleh IPO Bukalapak, tapi dana hasil IPO ternyata tak masuk ke ADRO karena digunakan untuk mengakuisisi perusahaan lain di mana perusahaan ini dirumorkan dimiliki oleh para pengendali ADRO.

Kesuksesan IPO ADRO juga tak terlepas dari euforia di pasar akan adanya commodity boom terutama batu bara pasca-dotcom bubble tahun 2000, sehingga kala itu para investor berlomba-lomba untuk membeli saham emiten batu bara.

Hal yang serupa terjadi di perusahaan teknologi saat ini di tengah pandemi Covid-19 yang tak kunjung reda sehingga tech boom terjadi di mana-mana baik di negara maju seperti AS hingga emerging market seperti Indonesia.

Narasinya juga menarik.

Di tengah kontraksi perekonomian Indonesia sebesar 2,1% tahun lalu ekonomi digital yang 'kue' nya masih kecil mampu tumbuh dobel digit.

Nah menurut prospektus Bukalapak, sebesar 66% dana yang diraup dari IPO akan digunakan untuk modal kerja perusahaan serta sisanya akan digunakan untuk modal kerja anak usaha.

Artinya akan ada kas yang benar-benar masuk ke perusahaan dan tidak akan digunakan untuk melakukan transaksi afiliasi, setidaknya seperti itu menurut prospektus perusahaan.

Terakhir adapula, nyinyiran bahwa uang triliunan yang masuk ke kas BUKA ini hanya akan digunakan untuk 'bakar uang' demi mengejar pertumbuhan yang lebih lagi dan ke depannya kemampuan BUKA untuk mencetak laba dipertanyakan.

Selain itu pemodal lama juga diuntungkan karena mereka hanya menggelontorkan dana 'bakar uang' yang tergolong kecil dibandingkan dengan nilai IPO.

Sejatinya bisnis e-commerce sudah terbukti feasible dan mampu mencetak laba hal ini berbeda dengan lini bisnis ride-hailing dan food delivery.

Catat saja raksasa e-commerce semacam Amazon dan Alibaba sudah mampu mencetak labam bahkan Shoppe disebut bisa kapanpun mencetak laba meskipun pengendali masih ingin menekankan kepada pertumbuhan dibandingkan dengan laba.

Hal ini berbeda dengan pemimpin pasar di bidang ride hailing dan food delivery yang hingga kini masih merugi seperti Uber, Didi Chuxing, Lyft, hingga Door Dash.

Maka dari itu karena lini bisnisnya memang sudah teruji mampu mendatangkan cuan tinggal kemampuan manajemen dalam menjalankan bisnis ini yang perlu dipantau oleh para investor.

Terakhir, ya memang investor lama menggelontorkan dana lebih sedikit dibandingkan dengan investor yang baru masuk di kala IPO.

Akan tetapi perlu diingat investor lama ini juga mengambil risiko yang jauh lebih besar dibandingkan dengan investor yang masuk kala IPO karena banyak sekali perusahaan startup yang akhirnya gagal dan tidak mampu melakukan IPO.

Maka dari itu wajar saja investor lama membayar lebih murah karena mereka mengambil risiko lebih besar, seperti halnya rule investasi nomor wahid yakni semakin besar keuntungan, semakin besar pula risiko.

TIM RISET ²©²ÊÍøÕ¾ INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular