Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾Â Indonesia - Rupiah melawan dolar Amerika Serikat (AS) ibarat bertanding tarik tambang pada hari Selasa (14/9). Sepanjang perdagangan, rupiah bolak balik antara penguatan dan pelemahan sebelum akhirnya menguat tipis.
Melansir data Refinitiv, "tarik tambang" diawali dengan dengan stagnan di Rp 14.250/US$, artinya rupiah dan dolar AS sama kuat di awal sesi. Setelahnya rupiah melemah tipis 0,04% sebelum akhirnya berbalik menguat 0,07%.
Selepas tengah hari, rupiah kembali terpuruk, melemah 0,1% ke Rp 14.265/US$. Tetapi di akhir perdagangan, rupiah sukses membalikkan keadaan, menguat tipis 0,04% ke Rp 14.245/US$.
Rupiah memang sedang bertenaga hari ini setelah pemerintah kemarin kembali melonggarkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), dan diperpanjang hingga 20 September mendatang.
"Seiring dengan kondisi Covid-19 membaik, implementasi protokol kesehatan, dan aplikasi Peduli Lindungi, ada penyesuaian yang dilakukan dalam periode minggu ini. Pembukaan bioskop dengan kapasitas 50% di kota Level 2 dan 3 dengan kewajiban aplikasi Peduli Lindungi serta protokol kesehatan ketat. Hanya kategori hijau yang diizinkan masuk area bioskop.
"Lokasi wisata dibuka dengan protokol kesehatan ketat dan Peduli Lindungi di kota Level 3. Namun ada penerapan ganjil-genap di tempat wisata mulai Jumat sampai Minggu," terang Luhut Binsar Pandjaitan, Menko Kemaritiman dan Investasi.
Dengan pelonggaran tersebut, roda bisnis tentunya berputar lebih cepat, dan berdampak baik bagi perekonomian Indonesia, begitu juga ke pasar finansial.
Pelaku pasar kini juga menanti data neraca dagang Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) akan mengumumkan kinerja perdagangan internasional Indonesia periode Agustus 2021 besok.
Konsensus pasar yang dihimpun ²©²ÊÍøÕ¾ memperkirakan ekspor tumbuh 36,5% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/yoy). Sementara impor diperkirakan tumbuh lebih tinggi yakni 44,29% yoy. Namun neraca perdagangan 'diramal' masih surplus US$ 2,32 miliar.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Dolar AS Tunggu Data Inflasi
Sementara itu dolar AS menanti rilis data inflasi malam ini. Inflasi merupakan salah satu acuan bank sentral AS (The Fed) dalam memutuskan kapan waktu tapering.
Pada Jumat malam pekan lalu, Departemen Tenaga Kerja AS melaporkan inflasi di sektor produsen naik 0,7% di bulan Agustus, sedikit lebih tinggi dari perkiraan ekonom sebesar 0,6%. Sementara jika dilihat secara tahunan (year-on-year/YoY), inflasi produsen melesat 8,3%, terbesar sejak November 2010.
Lonjakan harga di produsen tersebut tentunya akan berdampak pada inflasi konsumen. Semakin tinggi inflasi, maka tekanan bagi The Fed untuk melakukan tapering akan semakin besar, guna mencegah perekomomian AS mengalami overheating.
"Proyeksi dasar saya inflasi di kisaran 4% di akhir tahun ini, dan mulai turun ke 2% pada tahun 2022 dan 2023. Meski demikian, saya juga melihat meningkatnya risiko inflasi yang tinggi," kata Presiden The Fed wilayah Philadelphia, Patrick Harker, sebagaimana dilansir Reuters.
Harker juga mengatakan lebih memilih untuk melakukan tapering dalam waktu dekat.
"Saya ingin memulai tapering segera, jadi kita bisa mengakhiri program pembelian aset lebih cepat, jadi ketika kita perlu menaikkan suku bunga, kita punya ruang untuk melakukannya. Dan saya pikir kami perlu mempertimbangkan pilihan tersebut," tambahnya.
Selain itu, Wall Street Journal beberapa waktu lalu melaporkan jika pejabat elit The Fed berkeinginan untuk melakukan tapering di bulan November.
Tapering atau pengurangan nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE) pernah terjadi di tahun 2013 dan memicu gejolak di pasar finansial yang disebut taper tantrum. Tetapi dampak tapering kali ini diperkirakan tidak akan sedahsyat 2013, sebab komunikasi The Fed dengan pasar dikatakan bagus.
Selain itu, fundamental dalam negeri saat ini juga lebih kuat.
Bank Indonesia (BI) pada pekan lalu mengumumkan cadangan devisa per akhir Agustus 2021 sebesar US$ 144,8 miliar. Naik US$ 7,5 miliar dari bulan sebelumnya dan menjadi rekor tertinggi sepanjang sejarah Indonesia merdeka. Rekor cadangan devisa sebelumnya sebesar US$ 138,8 miliar yang dicapai pada April 2021.
Dengan cadangan devisa yang besar, BI punya lebih banyak amunisi untuk menstabilkan rupiah ketika mengalami tekanan.
Selain itu, ada perbedaan mencolok dalam porsi asing di pasar obligasi dalam negeri. Pada 2013 lalu porsi asing mencapai 40%, sehingga ketika ada pergerakan keluar masuk mempengaruhi nilai tukar hingga suku bunga acuan.
Sementara berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR), hingga 10 September lalu porsi asing hanya sekitar 22,4%. Sehingga ketika terjadi capital outflow tentunya tidak akan semasif di tahun 2013.
TIM RISET ²©²ÊÍøÕ¾ INDONESIA