Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - Kasus korupsi dana pengelolaan investasi PT Asabri (Persero) dan PT Asuransi Jiwasraya (Persero) yang melibatkan Heru Hidayat dan Benny Tjokrosaputro (Bentjok) merupakan puncak gunung es (the tip of the iceberg) dari praktik manipulasi perdagangan saham di Tanah Air.
Heru Hidayat, yang merupakan komisaris utama perusahaan energi PT Trada Alam Minera Tbk (TRAM), harus menghadapi tuntutan pidana hukuman mati yang diajukan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Pengadilan Tindak Pidana Korupsi atas keterlibatannya di kasus korupsi PT Asabri (Persero).
Dalam tuntutan JPU di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Kelas IA Khusus, Senin (6/12) Heru Hidayat disebut secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi bersama mantan Direktur Utama Asabri, Adam Damiri dan Sonny Widjaja yang menyebabkan negara mengalami kerugian senilai Rp 22,7 triliun. Heru juga dituntut untuk membayar uang pengganti sebesar Rp 12,64 triliun.
Menurut penelusuran ²©²ÊÍøÕ¾, tuntutan hukuman mati ini sendiri merupakan yang pertama kali dalam kasus yang terkait dengan transaksi dan manipulasi di pasar modal. Sebelumnya hanya ada satu narapidana lain yang pernah dituntut pidana mati atas kasus korupsi dan itu terjadi di lembaga keuangan.
Lima belas tahun lalu, Dicky Iskandar Dinata pernah dijatuhi tuntutan hukuman mati karena terlibat dalam kasus pembobol Bank BNI melalui transaksi fiktif senilai Rp 1,7 triliun.
Sementara, di pusaran kasur Jiwasraya, Heru dihukum seumur hidup bersama dengan Benny Tjokrosaputro, yang merupakan Komisaris PT Hanson International Tbk.
Asal tahu saja, Bentjok divonis hukuman seumur hidup karena dinyatakan hakim bersalah melakukan korupsi dan memperkaya diri bekerja sama dengan tiga mantan pejabat Jiwasraya dan menyebabkan kerugian negara senilai lebih dari Rp 16 triliun.
Selain itu, Bentjok juga diharuskan mengembalikan uang negara senilai Rp 6,078 triliun.
Sementara, di kasus Jiwasraya, Heru Hidayat telah dituntut pidana penjara seumur hidup dan diharuskan mengembalikan uang pengganti kerugian negara senilai Rp 10,72 triliun.
Untuk Asabri total nilai kerugian negara diprediksi mencapai Rp 23 triliun, sementara Jiwasraya sebesar Rp 16,8 triliun.
Modus Goreng-Menggoreng Saham
Secara sederhana, dalam kasus Jiwasraya, modus yang dilakukan Heru dan komplotannya adalah dengan manipulasi perdagangan saham supaya harganya naik sangat signifikan, tapi secara fundamental perusahaan tersebut tidak memiliki kinerja baik, merugi bahkan tidak layak investasi.
Nah, Heru-Bentjok dkk melakukan aksi manipulasi saham tersebut menggunakan uang yang berasal dari Jiwasraya.
Sama dengan kasus Jiwasraya, pada skandal korupsi Asabri, komplotan tersebut menempatkan dana ke saham-saham gorengan alias tidak likuid, ini dilakukan dengan harga yang telah dimanipulasi sehingga bernilai tinggi. Tujuannya adalah untuk menunjukkan bahwa kinerja portofolio investasi Asabri terlihat baik.
Kemudian saham-saham saham-saham non-likuid itu sendiri dimanipulasi sedemikian rupa agar terlihat ramai transaksi dengan cara melakukan transaksi semu, yakni saham dijual dan dibeli oleh pihak yang sama dengan nominee (nama alias) yang berbeda agar tidak terdeteksi oleh regulator.
Aturan Undang-Undang
Istilah 'goreng' saham atau saham 'gorengan' lazim dipakai di antara pelaku pasar modal di Indonesia. 'Menggoreng' saham atau melakukan manipulasi pasar berarti memanipulasi harga suatu saham yang sebenarnya tidak likuid (sepi transaksi) sehingga melonjak di atas kewajaran.
Jadi, saham gorengan dapat diartikan sebagai saham perusahaan yang kenaikannya di luar kebiasaan karena pergerakannya sedang direkayasa oleh pelaku pasar dengan tujuan kepentingan tertentu.
Dalam sejumlah literatur soal hukum pasar modal, seperti dalam Yoyo Arifardhani (2020) dan Mas Rahmah (2019), dijelaskan bahwa ada banyak jenis manipulasi pasar atau aksi goreng saham, mulai dari cornering the market, marking the close, painting the tape, pooling trading, hingga wash selling.
Baca di halaman selanjutnya >>>
Cornering, contohnya, terjadi ketika pelaku membeli saham dalam jumlah jumbo dan kemudian menahannya (hold) sehingga dapat menguasai pasar. Kemudian, marking the close adalah upaya merekayasa harga permintaan atau penawaran saham menjelang penutupan perdagangan.
Istilah lainnya, painting the tape, yang merupakan kegiatan antara satu rekening efek dengan rekening efek lainnya yang masih dalam penguasaan satu pihak atau mempunyai keterkaitan tertentu sehingga tercipta transaksi semu.
°±ð³¾³Ü»å¾±²¹²Ô,Ìýwash selling, yang merupakan salah satu cara dari sang bandar memanipulasi transaksi seolah-olah bergerak wajar layaknya transaksi saham pada umumnya. Namun, sebenarnya proses tersebut dilakukan oleh satu atau beberapa oknum yang sama.
Dalam perbendaharaan perundang-undangan sendiri sebenarnya tidak mengenal istilah 'menggoreng saham'. Sebagai padanannya, Undang-Undang (UU) No 8/1995 Tentang Pasar Modal, terutama pada Bab XI, menggunakan istilah penipuan, manipulasi pasar, dan perdagangan orang dalam.
Tiga pasal yang menjelaskan mengenai larangan upaya 'menggoreng' saham adalah Pasal 91, Pasal 92, dan Pasal 93 UU No 8/1995.
Dalam Pasal 91 UU No. 8/1995, misalnya, dijelaskan, "Setiap pihak dilarang melakukan tindakan, baik langsung maupun tidak langsung, dengan tujuan untuk menciptakan gambaran semu atau menyesatkan mengenai kegiatan perdagangan, keadaan pasar, atau harga efek di Bursa Efek."
Kemudian, Pasal 92 menjelaskan, "Setiap pihak, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama dengan Pihak lain, dilarang melakukan dua transaksi Efek atau lebih, baik langsung maupun tidak langsung, sehingga menyebabkan harga Efek di Bursa Efek tetap, naik, atau turun dengan tujuan mempengaruhi Pihak lain untuk membeli, menjual, atau menahan Efek."
Manipulasi pasar macam di atas sendiri dilarang dan diancam dengan sanksi pidana. Mengacu pada Pasal 104 UU 8/1995, pelanggaran terhadap ketiga pasal di atas--Pasal 91, Pasal 92, dan Pasal 93 --diancam dengan pidana penjara maksimal 10 tahun dan denda maksimal Rp15 miliar.
Jadi, UU sendiri sebenarnya sudah melarang kegiatan manipulasi pasar.
Namun, kasus Heru dan Bentjok yang berlarut-larut dan kompleks di atas tampaknya mengindikasikan masih adanya kesulitan atau pekerjaan rumah untuk para regulator dalam penegakan hukum pasar modal terkait praktik goreng saham atau manipulasi pasar--terutama untuk kasus-kasus besar.
Sebagaimana diketahui, pembicaraan soal indikasi adanya aksi goreng saham di pasar oleh kalangan tertentu, atau biasa disebut dengan istilah longgar 'bandar', seringkali ditemukan di kalangan investor ataupun trader saham. Namun, tampaknya masih sukar untuk bisa membuktikan satu sosok atau kelompok telah melakukan suatu manipulasi pasar.
Bakal Ada Beleid soal Market Maker
Menanggapi adanya aksi goreng-menggoreng saham di bursa RI, Bursa Efek Indonesia (BEI) menyampaikan, aturan mengenai market maker akan diterbitkan pada semester kedua tahun depan.
Market maker (secara harfiah berarti 'pembuat pasar') atau secara informal disebut bandar adalah peserta perorangan atau perusahaan anggota bursa yang membeli dan menjual suatu efek/saham untuk kepentingannya tertentu.
Dalam hal ini, market maker menyediakan pasar dengan likuiditas sambil mengambil untung dari perbedaan selisih (spread) antara harga jual (bid) dan nilai beli (ask).
Menurut Investopedia, broker saham adalah jenis market maker yang paling umum, yang menyediakan solusi pembelian dan penjualan bagi investor.
Pada 29 September lalu, Direktur Perdagangan dan Pengaturan Anggota Bursa, Laksono Widodo menjelaskan, aturan market maker masih dalam tahap pembahasan dengan stakeholder terkait.
Aturan tersebut, kata Laksono, belum selesai dirampungkan pada tahun ini karena adanya prioritas peraturan lainnya baik dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) maupun Self Regulatory Organization (SRO) pasar modal.
Secara terpisah, Otoritas Jasa Keuangan menyatakan inisiasi terkait market maker untuk meminimalkan transaksi saham gorengan di bursa akan merujuk pada bursa saham di Singapura (Singapore Exchange) dan Amerika Serikat (Nasdaq). Aturan ini sedang difinalisasi OJK dan bekerja sama dengan SRO Pasar modal.
Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal Otoritas Jasa Keuangan Hoesen menyampaikan, OJK masih mencari formula market maker yang tepat sembari menyelesaikan aturan ini yang sebelumnya ditargetkan akan rampung pada semester kedua 2020.
Hoesen menjelaskan, pada prinsipnya, market maker dipakai di beberapa pasar untuk jenis-jenis saham yang tidak likuid atau terlalu kecil.
Dengan adanya instrumen ini, kata Hoesen, akan mempersempit celah broker untuk melakukan transaksi semu untuk menaikkan harga saham alias menggoreng saham, sehingga, pasar saham Indonesia menjadi lebih kredibel.
Mari kita tunggu kelanjutan proses pembuatan dan penegakan aturan soal market maker tersebut.
TIM RISET ²©²ÊÍøÕ¾ INDONESIA