²©²ÊÍøÕ¾

Ada Ancaman Taper Tantrum 2.0, RI Bakal Kuat Gak Nih?

Cantika Adinda Putri, ²©²ÊÍøÕ¾
16 February 2022 16:44
The FED Beri Sinyal Kenaikan Suku Bunga di Maret
Foto: ²©²ÊÍøÕ¾ TV

Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - Ancaman terbesar dalam waktu dekat yang harus dihadapi Indonesia adalah kemungkinan bank sentral Amerika Serikat (AS) menaikan suku bunga acuan. Meskipun diyakini efeknya ke Indonesia juga tak seberapa.

Chatib Basri, Ekonom Senior menyebut periode ini sebagai taper tantrum 2.0. Meski demikian, dirinya meyakini ceritanya akan jauh berbeda.

"Saya mengatakan this time is different, the taper tantrum 2.0 will be different than taper tantrum 2013," ungkapnya dalam Side Event G20 Finance Track bertajuk 'Showcasing The Implementation of Local Currency Settlement Framework Between Indonesia and Partner Countries', Rabu (16/2/2022).

Hal yang paling signifikan adalah kepemilikan asing dalam SBN. Pada 2013 silam, asing memiliki 40% dari SBN sedangkan saat ini hanya sekitar 20%. Kebanyakan yang tersisa adalah investor yang menempatkan dana untuk jangka panjang.

"Itu yang menjelaskan rupiah sekarang more stable, walaupun tapering itu sudah diumumkan dan the fed akan menaikan FFR," jelas Mantan Menteri Keuangan tersebut.

Bahkan ketika rencana the Fed terealisasi, Chatib lebih menyarankan opsi yang diambil adalah melepaskan pergerakan nilai tukar rupiah. Sebab sekalipun melemah, tidak akan sedalam sebelumnya. Dibandingkan dengan melakukan pengetatan fiskal atau menaikan suku bunga acuan.

Kebijakan fiskal yang longgar dan suku bunga rendah masih sangat dibutuhkan untuk mendorong pemulihan ekonomi.

"Saat 2013 BI punya kemewahan untuk menaikan bunga karena growth kita saat itu di atas 6%. Sekarang hanya 3,7% tahun lalu bahkan minus 2,1%," ujarnya.

Berkaca pada 2013 silam, tapering AS membawa bencana terhadap pasar keuangan global, termasuk Indonesia. Nilai tukar rupiah jatuh, yield surat berharga negara (SBN) melambung dan secara beruntun merusak laju perekonomian dalam negeri.

"Indonesia saat ini jauh lebih baik," ungkap Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo dalam acara yang sama.

Perry menjelaskan, pihaknya mengikuti perkembangan AS dari waktu ke waktu. Khususnya ketika AS mulai menunjukkan pemulihan ekonomi yang lebih cepat, terlihat dari lonjakan inflasi yang bahkan terakhir di atas 7%.

AS jelas kepanasan, sehingga butuh kebijakan untuk meredam kecepatan tersebut. Sehingga mulai dari kebijakan pengurangan likuiditas yang sudah digelontorkan sejak pandemi covid-19. Selanjutnya pada Maret 2022 kenaikan suku bunga acuan akan diambil oleh bank sentral AS the Fed.

"Kita mengikuti prosesnya sehingga siap dengan segala kebijakan yang akan diambil," jelasnya.

Ketahanan fundamental ekonomi Indonesia, kata Perry harus diakui, dilihat dari situasi pertumbuhan ekonomi yang berlanjut, inflasi terkendali, nilai tukar rupiah yang bergerak stabil cadangan devisa yang besar, serta surplus pada transaksi berjalan. Data-data tersebut jauh berbeda dibandingkan dengan 2013 lalu.

Di sisi lain, kata Perry, BI juga memiliki sederet instrumen kebijakan yang bisa dipakai apabila ada tekanan terhadap nilai tukar, baik di pasar spot, DNDF dan SBN.

"Sehingga tidak perlu ada kekhawatiran berlebihan. Ketahanan Indonesia kini memang jauh lebih baik," ujar Perry.

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular