
'Keinginan Semesta' di Balik Besarnya BCA Milik Grup Djarum

Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - Suatu hari pada tahun 1975, Mochtar Riady terbang menuju Hongkong. Entah keajaiban atau memang takdir, ia tidak sengaja duduk tepat di samping Liem Sioe Liong.
Saat itu, Liem Sioe Liong sudah dikenal sebagai taipan pengusaha ekspor-impor. Selama perjalanan, keduanya berbincang tentang ekonomi Indonesia dan perkembangan politik saat itu.
Tak hanya itu, Riady juga menceritakan tentang cita-citanya mendirikan bank clearing house. Untuk merealisasikan mimpinya itu dibutuhkan pengusaha dari perusahaan besar yang membuat bank tersebut berkembang. Bagi Riady, Liem-lah orang yang tepat.Â
Cerita itu membuat Liem terkejut dan cukup beruntung. Pasalnya, pada saat bersamaan Liem memang sedang mencari ahli untuk mengurusi tiga bank miliknya: Bank Windu Kencana, Bank Dewa Ruci, dan Bank Central Asia.
"Berapa lama waktu yang Anda butuhkan untuk membangun BCA dari nol menjadi bank swasta terbesar?," tanya Liem kepada Riady, dikutip dari Liem Sioe Liong dan Salim Group: Pilar Bisnis Soeharto (2016) karya Richard Borsuk dan Nancy Chng.
"Mungkin 2,5 tahun untuk menjadikan BCAÂ yang terbesar," jawab Riady.Â
Pertanyaan itu membuat Riady merasa tersanjung. "Dengan penuh keyakinan, saya memiliki Bank Central Asia (BCA) sebagai wadah usaha berikutnya,"kata Riady dalam Manusia Ide (2015)
Sebulan setelah pertemuan di pesawat itu, tepat bulan Juni 1975, Riady resmi jadi direktur BCA. Saat pertama kali dipegang Riady, BCA berada di posisi sulit. Manajemennya sangat buruk. Asetnya juga rendah, hanya satu juta dollar AS dan satu kantor saja. Berbeda dengan Panin Bank yang beraset 200 juta dollar AS dan punya 60 kantor cabang.
Meski begitu, Riady masih punya satu jalan keluar yang menurut Richard Borsuk dan Nancy Chng disebut "kunci emas". "Kunci emas" itu adalah gurita bisnis Salim. Para konsumen dari bisnis salim adalah target yang tepat untuk mengembangkan BCA. Dengan menarik nasabah dari sana, dipercaya perkembangan BCA akan pesat.
Meski penting, "kunci emas" bukan faktor tunggal dibalik melesatnya BCA. Selain melakukan perombakan manajemen, hal lain yang dilakukannya adalah membuat terobosan dan inovasi. Saat itu sektor perbankan Indonesia sama sekali enggan menerima perubahan. Seluruh bank yang ada bergerak lamban dan hanya mengurusi urusan pinjaman. Atas situasi inilah, Riady punya pikiran maju untuk mencari teknologi dan produk baru.Â
Di bawah kepemimpinan Riady, BCAÂ melalukan revolusi. Sampai 1991, perintis Lippo Group ini berhasil memperluas penggunaan mesin ATM, menerapkan kartu kredit, dan membuka program tabungan. Seluruh program ini adalah perintis di Indonesia. Kemudahan yang diberikan sukses menarik minat masyarakat untuk menyimpan uang di bank. Tak hanya itu, BCAÂ juga jadi bank pertama yang membuka cabang di luar negeri, tepatnya di Hongkong. Berkat ini, BCAÂ menjelma jadi bank swasta terbesar--predikat yang bertahan hingga sekarang.
Ketika BCA sudah besar, Mochtar Riady mengundurkan diri pada 1991. Dalam surat pengunduran diri, Riady menjadikan kesehatan sebagai sebab. Namun, diketahui ini hanya dalih semata. Sebab, setelah keluar dari BCA Riady membangun Lippo Bank. Tujuh tahun kemudian, krisis ekonomi melanda Indonesia. Salim terpaksa kehilangan BCA usai dibeli oleh Djarum.
Pemilik Djarum adalah Hartono Bersaudara. Lewat PT Dwimuria Investama Andalan mereka memegang 54,94% saham BBCA atau setara dengan 67,73 miliar. Trilliunan rupiah berhasil didapatkannya hingga menduduki peringkat pertama orang terkaya di Indonesia setelah bertahun-tahun.
(mfa) Next Article Ada Salim & Tangan Dingin Mochtar Riady Di balik Kerajaan BCA