
Saham Longsor, Apa Yang Terjadi Dengan Deutsche Bank?

Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - Saham Deutsche Bank AG anjlok pada hari Jumat (24/3) pekan lalu setelah biaya asuransi utang terhadap gagal bayar (Credit Default Swap/CDS) melonjak ke level tertinggi dalam beberapa tahun. Kenaikan CDS menjadi sinyal baru akan kekhawatiran investor terhadap bank global.
Sepenting apa Deutsche Bank?
Deutsche Bank adalah pemberi pinjaman terbesar di Jerman, dengan total aset sekitar 1,337 triliun euro atau sekitar Rp 21.852 triliun pada akhir tahun lalu. Aset tersebut 3,5 kali gabungan total aset empat bank terbesar RI yakni Bank Mandiri, BRI, BCA dan BNI yang secara kumulatif memiliki aset Rp 6.203 triliun.
Deutsche juga mempekerjakan hampir 85.000 staf di 58 negara dan merupakan salah satu dari 30 bank global yang penting secara sistemik yang diawasi lebih ketat oleh regulator, untuk menjaga stabilitas keuangan.
Sama seperti JPMorgan Chase & Co. atau Citigroup Inc., Deutsche Bank adalah bank universal yang bisnisnya terintegrasi penuh dengan kehidupan sehari-hari mulai dari memberi pinjaman kepada rumah tangga dan bisnis, hingga memberi nasihat tentang merger perusahaan dan memperdagangkan sekuritas untuk investor besar.
Mengapa investor khawatir?
Investor gelisah tentang kesehatan sektor perbankan setelah kegagalan mendadak Silicon Valley Bank (SVB), Silvergate Capital Corp. dan Signature Bank di AS, dan pengambilalihan darurat Credit Suisse Group AG Swiss oleh saingan domestik UBS Group AG.
Rentetan krisis tersebut akhirnya menyoroti betapa rentannya bank terhadap perubahan kepercayaan yang tiba-tiba, di era perbankan online dan media sosial yang hiperaktif, dan bagaimana beberapa pemberi pinjaman tidak siap menghadapi kenaikan suku bunga yang cepat.
Selain itu, pengambilalihan Credit Suisse menyebabkan penghapusan kontroversial sekitar US$ 17 miliar (Rp 255 triliun) utang berisiko yang dikenal sebagai Obligasi Tier 1 Tambahan (AT1). Hal tersebut berpotensi mendorong biaya pendanaan untuk bank-bank di seluruh Eropa.
Apakah Deutsche Bank Bermasalah?
Deutsche Bank sejatinya tidak asing dengan masa-masa sulit. Selama bertahun-tahun setelah krisis keuangan global, bank tersebut mengalami kerugian, restrukturisasi besar-besaran, pergantian eksekutif dan denda besar, hingga akhirnya mampu melewati krisis kepercayaan investor yang akut pada tahun 2016.
Pemerintah Jerman bahkan terbuka akan potensi merger gaya UBS-Credit Suisse yang mana Deutsche akan disandingkan dengan pesaing domestik Commerzbank AG.
Meski demikian, Deutsche Bank jauh lebih kuat daripada Credit Suisse, bahkan ketika kepercayaan menguap.
Sejak 2018, Deutsche Bank dipimpin oleh CEO Christian Sewing, seorang pria dengan latar belakang mendalam di bidang audit, pengendalian risiko, dan perbankan ritel. Di bawah kendalinya, bank tersebut berhasil disulap menjadi lebih menguntungkan.
Tahun lalu, Deutsche memperoleh laba 5,66 miliar euro (Rp 92,51 triliun), perolehan tertinggi sejak 2007.. Bank juga telah membangun penyangga modal yang kuat, dengan rasio ekuitas inti (CET1) sebesar 13,4%.
Selain sangat menguntungkan, saat ini Deutsche juga memiliki rasio modal terkuat sejak akhir 1990-an, dan memiliki risiko suku bunga yang lebih rendah daripada beberapa bank regional AS.
(fsd/fsd) Next Article Saham Deutsche Bank Anjlok 13%, Tanda Krisis Belum Berakhir?
