²©²ÊÍøÕ¾

Waduh! Neraca Perdagangan RI Terburuk Kedua di ASEAN

Arif Gunawan, ²©²ÊÍøÕ¾
18 August 2018 17:44
Bisakah Kembali Cetak Rekor Tahun Lalu?
Foto: REUTERS/Athit Perawongmetha
Jika dirata-rata, Indonesia menanggung tekor dalam neraca perdagangannya sebesar US$175 juta per bulan sepanjang 6 bulan pertama tahun ini. Jika dihitung sampai dengan Juli, reratanya mencapai US$440 juta.

Bisakah pemerintah membalik kondisi tersebut dalam 5 bulan waktu yang tersisa untuk bisa mencetak surplus perdagangan seperti tahun lalu ketika surplus perdagangan mencapai US$11,8 miliar? Sepertinya bakal sulit.
Ìý
PeriodeSurplus Dagang
2015US$7,5 miliar
2016US$10 miliar
2017US$11,8 miliar
Sumber: Reuters

Sepanjang 7 bulan pertama tahun ini saja, pemerintah telah mencetak defisit US$3,08 miliar. Artinya, jika ingin mencetak surplus sama seperti tahun lalu, pemerintah harus mencetak surplus perdagangan data-rata US$3 miliar per bulan dari Agustus hingga Desember.

Apalagi, tren impor minyak Indonesia cenderung naik dalam 12 bulan terakhir. Data Statistik Perdagangan Luar Negeri BPS (terbaru per Mei) mencatat impor migas cenderung menguat dari Mei 2017-Mei 2018 dengan level tertinggi Mei 2018 sebesar US$2,86 miliar.

Dari situ, impor minyak mentah dan hasil minyak menyumbang 91,5% terhadap total impor migas nasional. Kenaikan tertinggi dibukukan oleh impor hasil minyak yang naik 32,8%, sedangkan impor minyak mentah tumbuh 10,62%.

Selain minyak, barang yang terkait dengan proyek infrastruktur dan pembangkit listrik juga naik. Impor non-migas sepanjang Januari-Mei 2018 naik dalam persentase lebih tinggi, yakni sebesar 25,9%. Kenaikan itu lebih tinggi dari impor migas yang tumbuh 19% pada periode yang sama.

Barang penyumbang utamanya adalah mesin dan alat angkutan senilai US$24,9 miliar, diikuti barang-barang buatan pabrik senilai US$13,2 miliar. Produk minyak dan bahan bakar mineral berada di posisi ketiga sebesar US$12,6 miliar.

Dalam 5 bulan pertama tahun ini, nilai impor besi dan baja nasional saja secara total telah menembus US$4,3 miliar. Angka itu mencapai separuh lebih dari total impor besi dan baja dalam 12 bulan tahun lalu yang mencapai US$8 miliar.

Di tengah kondisi demikian, pemerintah semestinya tidak hanya mengevaluasi beberapa proyek infrastruktur non-prioritas. Kebijakan BBM yang populis tapi mahal itu juga perlu harus dievaluasi karena memperberat beban neraca perdagangan (dan juga keuangan Pertamina).

Jika gagal menahan laju impor, maka 2018 akan menjadi defisit perdagangan pertama di era Jokowi. Tentunya akan ironis jika kebijakan populis justru membuat Indonesia terjerembab menjadi negara dengan status multi defisit: defisit anggaran, defisit perdagangan, dan defisit neraca transaksi berjalan.

TIM RISET ²©²ÊÍøÕ¾ INDONESIA



(ags/ags)

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular