²©²ÊÍøÕ¾

Menunggu 'Obat Mujarab' Jokowi Pulihkan Kanker BPJS Kesehatan

Herdaru Purnomo & Lidya Julita S & Muhammad Choirul, ²©²ÊÍøÕ¾
28 August 2019 10:55
Menunggu 'Obat Mujarab' Jokowi Pulihkan Kanker BPJS Kesehatan
Foto: ²©²ÊÍøÕ¾/ Andrean Kristianto
Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - Terlalu jauh bicara pemindahan ibu kota yang diproyeksi bernilai Rp 466 triliun. Masih ada yang lebih urgent dan realistis yakni bagaimana menyembuhkan 'kanker' yang tengah menggerogoti BPJS Kesehatan.

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menyebut BPJS Kesehatan berpotensi defisit hingga Rp 32,8 triliun pada tahun ini. Hal ini dijelaskan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sendiri setelah mendapatkan laporan dari Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) selaku pengawas BPJS Kesehatan dalam Rencana Kegiatan Anggaran dan Tahunan (RKAT).

Namun, angka defisit itu dapat ditekan hingga menjadi Rp 14 triliun jika iuran peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) naik mulai Agustus 2019.



Ada dua usulan yang setidaknya sampai detik ini mengemuka. Pertama, usulan dari DJSN sendiri dengan skema :

Simak secara lengkap usulan DJSN:
  • Iuran penerima bantuan iuran (PBI) : Rp 42.000 (sebelumnya Rp 23.000)
  • Iuran peserta penerima upah - Badan Usaha : 5% dengan batas atas upah Rp 12 juta (sebelumnya Rp 8 juta)
  • Iuran peserta penerima upah - Pemerintah : 5% dari take home pay (sebelumnya 5% dari gaji pokok + tunjangan keluarga)
  • Iuran peserta bukan penerima upah :
a. Kelas 1 : Rp 120.000 (sebelumnya Rp 80.000)
b. Kelas 2 : Rp 75.000 (sebelumnya Rp 51.000)
c. Kelas 3 : Rp 42.000 (sebelumnya Rp 25.500)

Kemudian skema kenaikan iuran dari Kementerian Keuangan. Adapun skemanya :

Simak secara lengkap usulan Kemenkeu:
  • Iuran penerima bantuan iuran (PBI) : Rp 42.000 (sebelumnya Rp 23.000)
  • Iuran peserta penerima upah - Badan Usaha : 5% dengan batas atas upah Rp 12 juta (sebelumnya Rp 8 juta)
  • Iuran peserta penerima upah - Pemerintah : 5% dari take home pay (sebelumnya 5% dari gaji pokok + tunjangan keluarga)
  • Iuran peserta bukan penerima upah :
a. Kelas 1 : Rp 160.000 (sebelumnya Rp 80.000)
b. Kelas 2 : Rp 110.000 (sebelumnya Rp 51.000)
c. Kelas 3 : Rp 42.000 (sebelumnya Rp 25.500)

Hanya terdapat perbedaan antara kelas 1 dan kelas 2 khusus peserta bukan penerima upah.

Sri Mulyani mengusulkan kenaikan untuk peserta penerima upah pemerintah dilakukan di 1 Oktober 2019 sedangkan untuk iuran masyarkat biasa dimulai pada Januari 2020.

NEXT : HALAMAN SELANJUTNYA >>> KEPUTUSAN DI TANGAN JOKO WIDODO


Potensi defisit yang bakal memberatkan anggaran negara hingga Rp32,8 triliun pada tahun ini bisa diantisipasi melalui kenaikan iuran tersebut. Di samping pembenahan fraud hingga ketidakberesan lainnya.

Potensi dari kenaikan iuran bisa membantu keuangan BPJS hingga Rp 14 triliun.

"Apabila jumlah iuran tetap sama, peserta sama, proyeksi rawat inap sama, maka defisit BPJS Kesehatan akan meningkat, yakni dari Rp28,35 triliun menjadi Rp32,84 triliun [jika tak ada kenaikan]," ujar Sri Mulyani.

Ia menyebut angka prediksi itu sudah ditambah dengan sisa defisit dari tahun lalu yang sebesar Rp9,1 triliun. Menurut dia, kenaikan iuran di seluruh kelas menjadi obat mujarab memperbaiki keuangan BPJS Kesehatan.

"Kalau untuk suntikan saja, misalnya ya Rp10 triliun, akuntabilitasnya lemah. Makanya, harus ada perbaikan seluruhnya," terang Sri Mulyani.

Walaupun kenaikan tersebut hanya akan menyelamatkan BPJS Kesehatan untuk satu tahun, namun kenaikan iuran pasti membantu cashflow. Namun kuncinya hanya satu, yakni menanti keputusan Joko Widodo (Jokowi).

Bila ini disetujui Jokowi, maka BPJS Kesehatan bakal mendapatkan dana segar dari pemerintah karena jumlah subsidi bertambah.

Berdasarkan hitungannya, pemerintah harus menambah suntikan dana sebesar Rp 13,56 triliun jika PBI dinaikkan menjadi Rp 42.000 per bulan. Angka itu terdiri dari peserta PBI yang ditanggung pemerintah pusat Rp 9,2 triliun dan pemerintah daerah Rp 3,34 triliun.

Ditambah, kenaikan iuran peserta Pekerja Penerima Upah (PPU) Penyelenggara Negara, seperti PNS, TNI, Polri, dan pejabat negara. Saat ini, pemerintah hanya menanggung 3% dari penghasilan tetap, namun nantinya akan dinaikkan menjadi 4% dari take home pay (TKP).

Untuk diketahui, BPJS Kesehatan skemanya dalam Peraturan Pemerintah Nomor (PP) 84/2015 tentang Pengelolaan Aset Jaminan Sosial Kesehatan Pasal 37 Ayat 5, ada tiga tindakan khusus pemerintah saat posisi keuangan BPJS Kesehatan sedang negatif. Tiga tindakan tersebut yaitu penyesuaian dana operasional, penyesuaian iuran, serta penyesuaian manfaat yang diberikan.

Kenaikan iuran yang menjadi opsi harus tertuang dalam PP atau Peraturan Pemerintah yang ditanda-tangani langsung Jokowi. Menarik untuk ditunggu seperti apa obat dari Jokowi ini.


NEXT : HALAMAN SELANJUTNYA >>>> MENGINTIP RENCANA 2020


Jokowi sebenarnya telah menyiapkan sejumlah strategi untuk membendung masalah defisit keuangan yang terus mendera BPJS Kesehatan ini.

Selain opsi menaikkan iuran, pemerintah juga mendorong upaya efisiensi melalui bauran kebijakan yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan dan Kementerian Keuangan.

Demikian tertera dalam Rancangan Undang-undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020 beserta Nota Keuangan seperti dikutip ²©²ÊÍøÕ¾, Selasa (20/8/2019).

Berdasarkan laporan audited Dana Jaminan Sosial (DJS) periode 2014 - 2018, keuangan DJS Kesehatan mengalami defisit yang besaran kewajiban pembayaran klaim layanan kesehatan lebih tinggi dari pada kemampuan BPJS Kesehatan dalam mengumpulkan penerimaan dari iuran peserta.

Sumber utama defisit program JKN adalah ketidakcukupan iuran untuk membiayai program, selain itu terkait tantangan kolektibilitas iuran dari peserta sektor informal dan pengendalian biaya layanan kesehatan.

Guna mengatasi kondisi tersebut, untuk menjaga kesehatan keuangan DJS Kesehatan, sebagai last resort, pemerintah sejak awal penyelenggaraan program telah melakukan intervensi melalui belanja bantuan program JKN dalam APBN.

Tantangan terbesar yang muncul di setiap tahun dari implementasi program JKN adalah dari aspek finansial, di mana kondisi keuangan DJS Kesehatan selalu mengalami defisit dan pemerintah selaku penanggung jawab program harus melakukan intervensi, baik melalui serangkaian kebijakan maupun memberikan suntikan dalam bentuk belanja.

Sehubungan dengan hal tersebut, pada periode sekarang dan yang akan datang, pemerintah memiliki tugas memitigasi defisit DJS Kesehatan demi kesinambungan program JKN-Kartu Indonesia Sehat (KIS).

"Kebijakan untuk mengatasi defisit tersebut antara lain menaikkan iuran JKN sesuai kaidah aktuaria yang berlaku dan mempertimbangkan kemampuan daya beli masyarakat, serta upaya efisiensi melalui bauran kebijakan yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan dan BPJS Kesehatan," tulis dokumen tersebut

Dokumen itu menuliskan, potensi risiko yang kemungkinan besar tetap terjadi dalam penyelenggaraan JKN tahun 2020 adalah pencapaian target kepesertaan menuju Universal Health Coverage (95 persen dari total penduduk), tingkat kolektabilitas iuran segmen Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU), pengendalian biaya, dan lainnya.

Untuk memitigasi kondisi keuangan DJS Kesehatan tersebut, pemerintah menerapkan bauran kebijakan baik dari aspek penerimaan maupun biaya.

Dantaranya melalui pemanfaatan pajak rokok, intercept DAU pemda atas utang pemda kepada BPJS, perbaikan manajemen klaim fasilitas kesehatan (mitigasi fraud). Termasuk pula, strategic purchasing, perbaikan sistem rujukan dan rujuk balik, batasan maksimal dana operasional dan sinergitas badan penyelenggara.

"Bauran kebijakan dimaksud diharapkan dapat berkontribusi mengurangi defisit. Kekurangan biaya layanan kesehatan yang belum cukup tertutupi melalui intervensi pemerintah dapat menjadi risiko DJS Kesehatan pada tahun selanjutnya," tulis dokumen itu.

Selain tujuh langkah yang disiapkan, pemerintah juga mengkaji mekanisme fasilitas likuiditas perbankan kepada BPJS Kesehatan untuk menutup gagal bayar terjadi pada setiap periode.

Pendekatan ini relatif sama dengan fasilitas supply chain financing rumah sakit oleh perbankan. Hal itu untuk mencegah kejadian gagal bayar klaim oleh BPJS Kesehatan sehingga risiko reputasi pemerintah juga dapat dikelola dengan baik.

Selain itu, tulis dokumen tersebut, upaya lainnya yang sedang dan akan terus dilakukan dalam rangka memitigasi risiko fiskal yang bersumber dari penyelenggaraan program JKN antara lain mengalokasikan dana cadangan defisit Dana Jaminan Sosial Kesehatan di APBN.

Kemudian monitoring dan evaluasi arus kas secara reguler, perbaikan tata kelola program JKN untuk menghindari inefisiensi dan potensi kecurangan (fraud) di fasilitas kesehatan.

Selain itu, mengkaji upaya alternatif lain yang efektif untuk meningkatkan partisipasi segmen kepesertaan PBPU dan upaya lainnya yang dirasa akan membawa dampak perbaikan kondisi keuangan DJS Kesehatan dengan tetap memerhatikan kualitas layanan yang diberikan.
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular