
Iran Melunak Sebut Tak Ingin Perang, Yakin?
Rehia Sebayang, ²©²ÊÍøÕ¾
17 January 2020 10:39

Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - Presiden Iran Hassan Rouhani mengatakan ingin menghindari perang dengan Amerika Serikat (AS), setelah kedua negara saling melakukan serangan yang menelan banyak korban pada awal bulan ini. Ia juga mengatakan Iran masih mungkin untuk mengadakan dialog dengan dunia.
"Pemerintah bekerja setiap hari untuk mencegah konfrontasi militer atau perang," kata Rouhani dalam pidato yang disiarkan televisi, sebagaimana dilaporkan AFP, Kamis (16/1/2020).
"Tentu saja, ini sulit," tambahnya, "(Namun) orang-orang memilih kami untuk mengurangi ketegangan dan permusuhan (dengan dunia)."
Ketegangan yang terjadi antara Iran dan AS memuncak pada 3 Januari saat AS melakukan serangan udara ke Bandara Internasional Baghdad, Irak.
Dalam serangan itu, beberapa tokoh penting Iran tewas, termasuk pemimpin pasukan Quds Jenderal Qassem Soleimani.
Serangan AS itu diperintahkan oleh Presiden Donald Trump. Presiden kontroversial itu menyebut memerintahkan serangan karena beberapa waktu sebelumnya Iran telah melakukan serangan ke pangkalan militer AS di Irak, dan menewaskan seorang kontraktor AS.
"Iran membunuh kontraktor Amerika, melukai banyak orang. Kami akan merespons itu, dan akan selalu merespons. Sekarang Iran merancang serangan di Kedutaan AS di Irak. Mereka akan bertanggung jawab penuh. Sebagai tambahan, kami harap Irak menggunakan pasukan mereka untuk melindungi Kedutaan, oleh karenanya diberitahukan!" cuit Trump.
Akibat ini, Iran melakukan pembalasan. Pekan lalu Iran menembakkan rudal ke dua pangkalan militer Irak yang menampung pasukan AS. Keesokan harinya, yaitu pada Kamis (9/1/2020) Iran kembali melakukan serangan. Namun AS menyebut tidak ada warganya yang menjadi korban.
Trump juga mengatakan tidak akan membalas serangan militer Iran. Ia lebih memilih menjatuhkan sanksi ekonomi yang lebih berat untuk negara yang sudah pernah ia jatuhi sanksi sebelumnya itu.
Meski begitu, banyak pihak percaya Iran akan terus melakukan serangan. Salah satu yang frontal menyatakan pandangan itu adalah Nouriel Roubini, profesor ekonomi di Stern School of Business Universitas New York.
Dalam sebuah artikel yang diposting di media Inggris the Guardian, ia mengatakan Iran masih baru memulai, belum benar-benar menyerang. Bahkan, bisa jadi negara itu akan melakukan serangan ke pangkalan-pangkalan minyak, yang pada akhirnya bisa membuat harga minyak melonjak tajam.
"Kedua asumsi ini jelas cacat. Bahkan jika risiko perang skala penuh mungkin tampak rendah, tidak ada alasan untuk percaya bahwa hubungan AS-Iran akan kembali ke status quo ante (keadaan sebelum perang memanas). Gagasan bahwa serangan tanpa-korban di dua pangkalan Irak telah memuaskan kebutuhan Iran untuk membalas adalah sangat naif." jelasnya.
"Roket-roket Iran itu hanyalah salvo pertama dalam tanggapan yang akan meningkat saat pemilihan presiden AS November mendatang. Konflik akan terus menampilkan agresi oleh proksi regional (termasuk serangan terhadap Israel), konfrontasi militer langsung yang gagal dalam perang habis-habisan, upaya untuk menyabot fasilitas minyak (Arab) Saudi dan negara Teluk lainnya, menghambat navigasi Teluk, terorisme internasional, serangan dunia maya, proliferasi nuklir dan banyak lagi. Semua ini dapat menyebabkan eskalasi konflik yang tidak disengaja."
(hps/hps) Next Article Pengusaha Trauma Harga Minyak Ngamuk Bila AS-Iran Perang
"Pemerintah bekerja setiap hari untuk mencegah konfrontasi militer atau perang," kata Rouhani dalam pidato yang disiarkan televisi, sebagaimana dilaporkan AFP, Kamis (16/1/2020).
"Tentu saja, ini sulit," tambahnya, "(Namun) orang-orang memilih kami untuk mengurangi ketegangan dan permusuhan (dengan dunia)."
Ketegangan yang terjadi antara Iran dan AS memuncak pada 3 Januari saat AS melakukan serangan udara ke Bandara Internasional Baghdad, Irak.
Serangan AS itu diperintahkan oleh Presiden Donald Trump. Presiden kontroversial itu menyebut memerintahkan serangan karena beberapa waktu sebelumnya Iran telah melakukan serangan ke pangkalan militer AS di Irak, dan menewaskan seorang kontraktor AS.
"Iran membunuh kontraktor Amerika, melukai banyak orang. Kami akan merespons itu, dan akan selalu merespons. Sekarang Iran merancang serangan di Kedutaan AS di Irak. Mereka akan bertanggung jawab penuh. Sebagai tambahan, kami harap Irak menggunakan pasukan mereka untuk melindungi Kedutaan, oleh karenanya diberitahukan!" cuit Trump.
Akibat ini, Iran melakukan pembalasan. Pekan lalu Iran menembakkan rudal ke dua pangkalan militer Irak yang menampung pasukan AS. Keesokan harinya, yaitu pada Kamis (9/1/2020) Iran kembali melakukan serangan. Namun AS menyebut tidak ada warganya yang menjadi korban.
Trump juga mengatakan tidak akan membalas serangan militer Iran. Ia lebih memilih menjatuhkan sanksi ekonomi yang lebih berat untuk negara yang sudah pernah ia jatuhi sanksi sebelumnya itu.
Meski begitu, banyak pihak percaya Iran akan terus melakukan serangan. Salah satu yang frontal menyatakan pandangan itu adalah Nouriel Roubini, profesor ekonomi di Stern School of Business Universitas New York.
Dalam sebuah artikel yang diposting di media Inggris the Guardian, ia mengatakan Iran masih baru memulai, belum benar-benar menyerang. Bahkan, bisa jadi negara itu akan melakukan serangan ke pangkalan-pangkalan minyak, yang pada akhirnya bisa membuat harga minyak melonjak tajam.
"Kedua asumsi ini jelas cacat. Bahkan jika risiko perang skala penuh mungkin tampak rendah, tidak ada alasan untuk percaya bahwa hubungan AS-Iran akan kembali ke status quo ante (keadaan sebelum perang memanas). Gagasan bahwa serangan tanpa-korban di dua pangkalan Irak telah memuaskan kebutuhan Iran untuk membalas adalah sangat naif." jelasnya.
"Roket-roket Iran itu hanyalah salvo pertama dalam tanggapan yang akan meningkat saat pemilihan presiden AS November mendatang. Konflik akan terus menampilkan agresi oleh proksi regional (termasuk serangan terhadap Israel), konfrontasi militer langsung yang gagal dalam perang habis-habisan, upaya untuk menyabot fasilitas minyak (Arab) Saudi dan negara Teluk lainnya, menghambat navigasi Teluk, terorisme internasional, serangan dunia maya, proliferasi nuklir dan banyak lagi. Semua ini dapat menyebabkan eskalasi konflik yang tidak disengaja."
(hps/hps) Next Article Pengusaha Trauma Harga Minyak Ngamuk Bila AS-Iran Perang
Most Popular