
Mangkrak 1 Dekade, Revisi UU Migas Bakal Dibahas Mid 2021

Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - Revisi Undang-Undang No.22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Migas) sudah mangkrak selama bertahun-tahun, bahkan satu dekade. Pembahasannya pun sudah disalip oleh Rancangan UU Energi Baru dan Terbarukan (EBT). Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pun berjanji akan mulai membahasnya lagi pada pertengahan tahun depan.
Hal ini disampaikan oleh Ketua Komisi VII DPR RI Sugeng Suparwoto dalam 'Webinar Seri-3 Bimasena Energy Dialogue', Jumat (13/11/2020).
Sugeng mengatakan, mekanisme yang digunakan dalam menyusun revisi UU Migas ini akan sama dengan Rancangan UU (RUU) EBT. Dalam penyusunannya nanti, lanjutnya, DPR akan melibatkan semua pihak.
"Pembahasan revisi UU Migas akan kita mulai pertengahan tahun depan secara simultan setelah RUU EBT. Nanti pertengahan 2021, sudah masuk ke pembahasan revisi UU Migas dan mekanisme yang sama akan kita jalankan," ungkapnya.
Pembahasan revisi UU Migas ini merupakan hal penting dan ditunggu oleh sejumlah pemangku kepentingan di industri migas, terutama pelaku usaha dan juga pengatur hulu migas yang saat ini dilaksanakan oleh Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.
Pasalnya, pada 2012 lalu Mahkamah Konstitusi membubarkan lembaga sebelumnya yaitu Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (BP Migas) dan mengamanatkan agar pemerintah membentuk badan usaha hulu migas.
Pada mulanya, Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja memasukkan klausul pembentukan BUMN Khusus Migas sebagai pengganti kelembagaan SKK Migas. Namun akhirnya, saat finalisasi pembahasan UU Cipta Kerja ini, pemerintah dan DPR sepakat untuk menghapus klausul tersebut dan akan dibahas lebih lanjut dalam dalam Revisi UU Migas.
Revisi UU Migas ini lah yang nantinya bakal menentukan nasib dari status Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) ke depannya.
Wakil Kepala SKK Migas Fatar Yani Abdurrahman mengatakan SKK Migas saat ini kondisinya "terombang ambing di tengah badai" karena belum adanya kepastian undang-undang yang mengatur kelembagaan SKK Migas. Namun demikian, pihaknya tetap menjalankan tugas sebaik mungkin guna kelancaran kegiatan hulu migas nasional.
"Setelah dibubarkannya BP Migas, maka kami SKK Migas yang tidak punya UU tetap menjalankan amanah negara, ya terombang-ambing, tapi insya Allah kita jalan terus di tengah badai ini," tuturnya.
Dari sisi pelaku usaha juga mengungkapkan betapa pentingnya revisi UU Migas ini karena akan memberikan kepastian hukum dan kejelasan status kelembagaan SKK Migas.
Tim Regulasi Asosiasi Perusahaan Migas Indonesia (Indonesian Petroleum Association/ IPA), Ali Nasir, mengatakan dalam menjalankan bisnis migas, maka pelaku usaha akan mengacu pada UU Migas. Mangkraknya pembahasan revisi UU Migas selama bertahun-tahun ini menurutnya menunjukkan ada beberapa pihak yang kurang senang dengan UU Migas ini, sehingga diuji berkali-kali.
Mahkamah Konstitusi, imbuhya, menyatakan penguasaan negara dalam industri migas yang paling tepat berupa pengelolaan langsung melalui BUMN. Artinya, kalau diartikan lagi secara gamblang, maka BUMN yang mengelola migas ini akan berkontrak dengan beberapa perusahaan.
"Secara personal, saya melihat ada kelemahan dari putusan MK yang salah satunya bilang dengan (menyarankan) pola kontrak dengan kontraktor (B to B). Pemerintah akan leluasa memberikan kebijakan publik pengelolaan migas tanpa harus khawatir digugat investor asing. Ini tidak benar, saya pernah buktikan dengan kontrak B to B, kita menghadapi gugatan bertubi-tubi," tuturnya.
Sebelumnya, Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR Mulyanto mengatakan penghapusan pembentukan BUMN Khusus Migas dalam RUU Cipta Kerja ini bermula dari permintaan sejumlah anggota DPR agar pembahasan sejumlah pasal terkait kelembagaan BUMN Khusus ini ditunda. Hal ini dikarenakan pemerintah dianggap belum mendefinisikan secara jelas apa yang dimaksud dengan BUMN Khusus tersebut, baik bentuk maupun kewenangannya.
"Pemerintah mencabut pasal-pasal yang terkait dengan kelembagaan dan pembentukan BUMNK tersebut dari RUU Cipta Kerja," ungkap Mulyanto yang juga anggota Komisi VII DPR RI yang menangani sektor energi dan pertambangan.
Menurut Mulyanto, pemerintah mencabut pasal-pasal RUU Cipta Kerja terkait dengan pembentukan BUMNK karena pasal-pasal ini sangat strategis dan berpengaruh secara luas terhadap bisnis hulu migas. Sementara Pemerintah belum siap dengan rumusan bentuk dan fungsi BUMNK ini.
(wia) Next Article Nasib SKK Migas Tergantung Revisi UU Migas, Bakal Jadi Apa?
