
Erdogan Janji Tumpas Tiga Setan Ekonomi, Apa Itu?

Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - Ekonomi Turki sedang menderita dan sekarat di tengah pandemi Covid-19. Sang Presiden Recep Tayyip Erdogan bersumpah untuk membasmi segitiga setan yang membelenggu bekas kekaisaran Turki Utsmani tersebut.
Segitiga setan? Terdengar mengerikan bukan?
Ya, devil's triangle merupakan sebutan Erdogan untuk suku bunga tinggi, inflasi, dan valuta asing. Pria berusia 66 tahun yang juga pimpinan Adalet ve Kalkınma Partisi itu sangat membenci suku bunga yang tinggi.Â
Menurut Erdogan suku bunga yang tinggi hanya menghambat pertumbuhan ekonomi dan hanya menjadi bahan bakar untuk kenaikan harga-harga barang (inflasi). Sebuah pandangan ekonomi yang tidak biasa (unorthodox).
Kebencian Erdogan terhadap suku bunga yang tinggi membuatnya terlalu banyak mengintervensi kebijakan moneter bank sentral. Hal ini justru membuat bank sentral kehilangan independensinya.Â
Otoritas moneter Turki telah memangkas suku bunga acuannya sebesar 300 basis poin pada lima bulan awal tahun ini. Di saat yang sama, inflasi di Turki sudah menyentuh level dobel digit sampai 12%.
Pemangkasan suku bunga acuan yang agresif membuat Turki mengalami krisis mata uang. Lira bahkan dinobatkan sebagai mata uang negara berkembang paling payah di tahun ini karena sempat terdepresiasi sampai 40% terhadap dolar Amerika Serikat.
Di saat dunia diserang oleh virus Corona yang menjadi pandemi, kebijakan moneter longgar memang dibutuhkan untuk meredam dampak pandemi terhadap kejatuhan perekonomian lebih dalam.
Namun sebelum pandemi Covid-19 terjadi, kebijakan moneter longgar sesungguhnya sudah ditempuh Turki. CBRT (bank sentral Turki) sudah menurunkan suku bunga acuannya dan membeli surat utang pemerintah.
Program itu muncul setelah Erdogan memecat gubernur bank sentral sebelumnya Murat Cetinkaya pada Juli tahun lalu, yang menolak kebijakan kebijakan moneter ekspansif yang hanya akan membuat ekonomi Turki overheat.
Kebijakan moneter ekspansif tersebut ternyata memiliki konsekuensi yang besar. Penyaluran kredit naik 40% dalam waktu yang sangat singkat. Bahkan di bulan Mei penyaluran kredit tumbuh 50% dan menjadi kenaikan tercepat sejak 2008.
Ledakan penyaluran kredit yang dibarengi dengan pinjaman biaya murah untuk rumah tangga dan pelaku usaha telah memicu inflasi naik tajam. Pada saat yang sama, kebutuhan mata uang asing meningkat sejalan dengan meningkatnya impor, yang semakin melemahkan mata uang Turki.
Selain itu, aksi jual lira terjadi ketika negara itu menghasilkan lebih sedikit dolar dan euro karena penurunan besar-besaran di sektor pariwisata dan merosotnya ekspor di tengah pandemi.