²©²ÊÍøÕ¾

Internasional

Digempur AS-India, Anggaran Militer China 2021 Mau 'Meledak'

Tahir Saleh, ²©²ÊÍøÕ¾
01 March 2021 07:20
Tentara Tentara Pembebasan Rakyat Tiongkok (PLA) menjaga pintu masuk ke markas PLA Hong Kong Garrison di Distrik Pusat Bisnis di Hong Kong, Cina, 29 Agustus 2019. REUTERS / Anushree Fadnavis
Foto: Tentara Tentara Pembebasan Rakyat Tiongkok (PLA) menjaga pintu masuk ke markas PLA Hong Kong Garrison di Distrik Pusat Bisnis di Hong Kong, Cina, 29 Agustus 2019. REUTERS / Anushree Fadnavis

Ye Qing, seorang profesor di Zhongnan University of Economics and Law, Wuhan, menilai bisa China akan mengumumkan target defisit anggaran sebesar 2,5-3% PDB untuk tahun ini. Karena anggaran pemerintah akan kembali ke tingkat sebelum pandemi.

Itu tidak berarti negara itu akan merevisi pengeluaran pertahanannya, kata Ye, mengutip komitmen berkelanjutan dari pemerintah China untuk membangun kapal induk. Rencana ini menjadi salah satu pengeluaran terbesar untuk menopang kekuatan militer China.

Dalam laporan penelitian AVIC Securities yang dipimpin oleh Zhang Chao, pada Juni 2020, menunjukkan pengeluaran anggaran pertahanan China telah meningkat dengan tingkat pertumbuhan gabungan rata-rata sebesar 9,1% antara tahun 2010 dan 2019. Tetapi dibandingkan dengan seluruh ukuran ekonominya yang terus meningkat, beban pertahanan negara tersebut tetap relatif rendah.

Anggaran pertahanan negara menyumbang 1,22% dari PDB pada 2019. Ini lebih rendah daripada Rusia, AS, dan India, tulis AVIC Securities.

China telah mempertahankan anggaran pertahanannya pada sekitar 1,3% dari PDB-nya selama beberapa tahun terakhir, yang jauh di bawah rata-rata tingkat global 2,6% PDB.

Sebab itu Song Zhongping, seorang ahli militer Tiongkok, menilai anggaran pertahanan China relatif rendah, dan pengeluaran pertahanan atau rasio PDB yang sedikit lebih tinggi dapat lebih mencerminkan kebutuhan China dalam pembangunan ekonomi.

Song mengatakan bahwa China menghadapi ketegangan militer yang tinggi selama setahun terakhir, dan China juga memodernisasi militernya, yang semuanya membutuhkan dana.

Pada tahun lalu, Tiongkok ditantang oleh provokasi militer berulang kali dari AS, yang mengirim banyak kapal perang dan pesawat tempur untuk pengintaian jarak dekat di wilayah pesisir Tiongkok dan latihan militer, yang beberapa masuk tanpa izin ke perairan teritorial China di Laut China Selatan.

Kemudian beberapa memasuki Selat Taiwan sebagai dukungan nyata bagi para separatis Taiwan di Pulau Taiwan yang telah berkali-kali ditopang dengan penjualan senjata canggih AS termasuk, dan ditambah dengan pengiriman pejabat tinggi AS ke pulau itu.

Di barat daya, India sekali lagi secara provokatif memicu kebuntuan militer selama berbulan-bulan dengan China termasuk bentrokan fatal yang memakan korban di kedua sisi.

Song mengatakan China terus menghadapi ancaman eksternal, dan kemungkinan tetap menghadapi ancaman di beberapa titik panas yang berpotensi menjadi konflik, sehingga membutuhkan Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) untuk meningkatkan kekuatan dan kemampuan tempurnya yang komprehensif, yang membutuhkan investasi.

Li Jie, seorang ahli militer yang berbasis di Beijing mengatakan bahwa Presiden AS Joe Biden kemungkinan akan menggunakan strategi pemerintahan sebelumnya yakni era Barrack Obama di kawasan itu untuk menjadi referensi dan terus menekan China dari laut, mencoba mengumpulkan sekutu.

"Laut China Selatan, Selat Taiwan, dan Kepulauan Diaoyu semuanya akan tetap menjadi titik api bagi keamanan maritim," kata Li.

Keduanya menilai potensi konflik-konflik ini membutuhkan pasokan senjata lebih banyak dan peralatan baru, yang semuanya membutuhkan dana.

Peng Huagang, juru bicara Komisi Pengawasan dan Administrasi Aset Milik Negara China (SASAC, China's State-owned Assets Supervision and Administration Commission), dikutip kanto berita Xinhua, mengatakan pada konferensi pers pada Selasa bahwa untuk langkah selanjutnya, SASAC akan memperluas investasi dalam pertahanan nasional dan industri senjata.

Institut Penelitian Perdamaian Internasional Stockholm (Stockholm International Peace Research Institute/SIPRI)) memperkirakan China menghabiskan US$ 261 miliar atau setara Rp 3.654 triliun untuk belanja militernya pada 2019.

Adapun Amerika Serikat menghabiskan belanja militer US$ 732 miliar atau setara Rp 10.248 triliun, atau sekitar 3,4% dari PDB pada tahun 2019. Belanja militer AS menyumbang 38% dari pengeluaran militer global.

Peningkatan belanja AS pada 2019 setara dengan keseluruhan belanja militer Jerman pada tahun itu. "Pertumbuhan baru-baru ini dalam pengeluaran militer AS sebagian besar didasarkan pada persepsi kembalinya persaingan antara kekuatan-kekuatan besar," kata Pieter D. Wezeman, Peneliti Senior di SIPRI, dilansir situs resminya.

Sebagai catatan, SIPRI mengungkapkan total pengeluaran militer global naik menjadi US$ 1.917 miliar pada 2019. Total untuk belanja militer di 2019 itu naik 3,6% dari 2018 dan pertumbuhan tahunan terbesar sejak 2010.

Lima pembelanja terbesar pada 2019, yang menyumbang 62% dari pengeluaran belanja militer global adalah AS, China, India, Rusia dan Arab Saudi. Ini adalah pertama kalinya dua negara Asia tampil di antara tiga negara pemboros anggaran militer teratas.

(tas)

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular