
PLTS Masa Depan Energi RI, 'Power Bank' Raksasa Paling Dicari

Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - Indonesia punya harta karun berbagai sumber energi baru terbarukan (EBT). Sumber harta karun energi terbesar RI yaitu energi surya. Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), sumber daya energi matahari di Indonesia mencapai hampir 10 kali lipat dari panas bumi, yakni mencapai 207,8 giga watt (GW).
PLTS ini diproyeksikan bakal menjadi masa depan EBT di dunia, termasuk di Tanah Air.
Hal tersebut disampaikan Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa. Menurutnya, tenaga angin dan surya ke depan akan mengambil porsi lebih dari 50% secara global.
"Peta jalan transisi energi global, lebih dari 50% akan berasal dari pembangkit listrik dari surya dan bayu," paparnya dalam acara 'Future Energy Tech and Innovation Forum 2021' yang diselenggarakan Katadata secara virtual, Senin (08/03/2021).
Meski tenaga angin dan surya bakal menjadi EBT yang dominan, namun Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu/ Angin (PLTB) sifatnya intermittent, yakni produksi listrik berjeda atau tidak terus-menerus karena listrik akan berproduksi hanya ketika ada panas matahari dan angin yang berembus.
Karena sifatnya yang intermittent, maka dibutuhkan tempat penyimpanan energi (storage). Ketika pembangkit menghasilkan listrik dan tidak terpakai, maka energi bisa disimpan. Ketika energi kembali dibutuhkan, energi bisa diambil lagi dari tempat penyimpanan energi tersebut.
Tempat penyimpanan energi ini lah disebut Energy Storage System (ESS) atau 'power bank' raksasa.
"Disimpan di penyimpan energi, dan ketika kita butuh energi, itu bisa dipakai dari storage-nya," ujarnya.
Lebih lanjut dia mengatakan, tren secara global pada 2050 dari sisi teknologi terjadi penurunan harga listrik energi terbarukan berbasis baterai ini. Dalam 10 tahun terakhir, imbuhnya, harga listrik dari PLTS dan PLTB sudah turun 89%.
Oleh karena itu, kombinasi baterai dan variabel EBT dinilai bisa menjadi solusi yang andal dan biaya yang efektif.
Khusus di Indonesia menurutnya berdasarkan kajian yang dilakukan, jika mau masuk jalur dekarbonisasi sesuai perjanjian Paris, maka penambahan pembangkit EBT harus mencapai 15-20 giga watt (GW) setiap tahunnya.
Dalam perhitungan ini, setidaknya 50% dari kapasitas tersebut akan berasal dari pembangkit tenaga surya dan angin.
"Dengan kondisi ini, maka ESS, baik utility scale dan small scale sangat dibutuhkan. Kalau punya visi energi transisi energi, maka dengan perkembangan teknologi hari ini, butuh storage," tuturnya.
Dia mengatakan, ada beberapa jenis ESS berdasarkan mekanisme penyimpanan yang dipakai, seperti bersifat mekanik dan elektrokimia.
Menurutnya, baterai lithium yang akan dikembangkan di Indonesia masuk dalam kategori secondary battery, sementara ESS menyediakan jasa perawatan tersendiri dan bisa diaplikasikan ke semua jenis sistem pembangkit listrik.
"Dia (ESS) memang berguna di sistem transisi, bisa jaga kestabilan sistem," imbuhnya.
(wia) Next Article Wow! PLTS Ditargetkan Meroket dari 0,15 GW ke 17,6 GW di 2035