²©²ÊÍøÕ¾

Ekonomi Mulai Bangkit, Kenapa Indonesia Terancam Deflasi?

Yuni Astutik, ²©²ÊÍøÕ¾
10 March 2021 06:26
INFOGRAFIS, Apa Itu Resesi
Foto: Infografis/Resesi/Edward Ricardo

Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - Pandemi sempat membuat perekonomian sekarat yang berimbas pada terjadinya inflasi rendah bahkan deflasi. Namun kini keadaan mulai berbalik arah ditandai dengan inflasi yang berangsur naik.

Tingkat inflasi di negara-negara anggota G20 terpantau mulai mengalami kenaikan setidaknya sejak Desember hingga bulan lalu, yang tercatat naik 0,2 poin. Argentina dan Turki masih menjadi dua negara dengan tingkat inflasi tertinggi ditambah kedua negara bahkan mengalami instabilitas ekonomi sejak sebelum pandemi terjadi.

Argentina mencatat tingkat inflasi tinggi, depresiasi nilai tukar terhadap dolar AS hingga defisit anggaran serta transaksi berjalan terjadi karena kebijakan yang ugal-ugalan. Subsidi berlebihan dan kebijakan cetak uang secara masif telah mendevaluasi mata uangnya dan membuat kepercayaan investor turun.

Di negara-negara berkembang yang masuk ke dalam kelompok G20, tingkat inflasi masih di atas 3,5% (yoy). Sementara di negara-negara maju inflasi cenderung di bawah sasaran target bank sentral sebesar 2%. Mayoritas negara anggota G20 mengalami kenaikan inflasi, kecuali India, Indonesia, Prancis, Spanyol, China dan Swiss yang justru mengalami perlambatan. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi bulan Januari sebesar 1,55% (yoy).

Inflasi turun menjadi 1,38% (yoy) di bulan Februari. Di sepanjang tahun 2020 inflasi Indonesia berada di angka 1,68% (yoy). Tingkat inflasi di Indonesia berada di bawah sasaran target Bank Indonesia (BI) sebesar 3% plus minus 1 poin persentase.

Inflasi memang memiliki tren siklikal. Namun apabila inflasi terus melambat, bisa menjadi bahaya. Untuk Indonesia misalnya, bisa kembali terjerat dalam jebakan deflasi seperti pada kuartal ketiga tahun lalu.

Awal Maret ini, BI memperkirakan inflasi hanya di kisaran 1,37% (yoy). Angka ini melambat dibanding bulan Februari. Inflasi masih disumbang oleh harga-harga pangan yang meroket terutama cabai akibat cuaca yang tidak mendukung sehingga menghambat rantai pasok.

Selanjutnya melihat dari sisi permintaan masih terbilang lemah yang tercermin dari inflasi inti yang menunjukkan kenaikan harga barang-barang yang cenderung persisten. Tingkat inflasi inti Indonesia berada di level terendah sejak 10 tahun terakhir. Pada akhir Februari lalu inflasi inti tercatat mencapai 1,53%.

Dari angka tersebut, artinya ada masalah dengan daya beli masyarakat Indonesia, yang bahkan bisa dibilang kronis karena perlambatan inflasi inti terus terjadi sejak tahun 2015.

Tahun lalu pemerintah sudah menggelontorkan hampir Rp 700 triliun untuk stimulus dan BI juga turut menginjeksi likuiditas lewat penurunan GWM serta ekspansi moneter sebesar hampir Rp 727 triliun. Kebijakan yang akomodatif tersebut juga akan dilanjutkan tahun ini dimana Bank Indonesia akan melakukan penambahan likuiditas dengan melakukan ekspansi operasi moneter sekitar Rp 7,44 triliun (per 19 Januari 2021).

Tak hanya itu, dari sisi fiskal pemerintah kembali tebar insentif. Mulai dari PPnBM yang dibebaskan untuk mobil-mobil tertentu, hingga kerja sama dengan BI dan OJK untuk melonggarkan aturan kredit sehingga DP kendaraan bermotor maupun properti bisa nol persen sehingga permintaan akan terdongkrak.

Berbicara soal likuiditas di perekonomian sebenarnya cenderung berlimpah. Pada laporan Tinjauan Kebijakan Moneter Bank Indonesia, pertumbuhan besaran moneter M1 dan M2 pada Desember 2020 tetap tinggi, yaitu sebesar 18,5% (yoy) dan 12,4% (yoy). Pasokan uang beredar dalam arti luas (M2) terhadap output perekonomian akhir tahun lalu mencapai 44,7% PDB, jauh lebih tinggi dibanding tahun sebelumnya yang hanya 38,8% PDB saja. Selain karena adanya kontraksi pada output perekonomian injeksi likuiditas lewat stimulus juga memiliki peranan.

Berdasarkan angka tersebut, rasionya jauh lebih tinggi dibanding proporsi M2 dalam hampir 20 tahun terakhir yang hanya 40% PDB. Namun di saat yang sama kecepatan uang berpindah tangan (money velocity) justru mengalami penurunan.

Rasio money velocity 2020 hanya sebesar 2,24 kali. Tahun sebelumnya bahkan mencapai 2,58 kali. Sementara rata-ratanya sejak 2002 adalah sebesar 2,47 kali. Hal ini artinya, roda ekonomi memang belum kembali normal seperti sebelum pandemi.

Berkaca dari angka tersebut, masyarakat yang memiliki akses terhadap layanan keuangan cenderung menabung dan menahan diri dalam berbelanja. Sementara fungsi intermediasi perbankan juga melambat. Tercermin dari penyaluran kredit yang ikut melambat akhirnya uang mengendap di rekening bank.

Tak bisa dipungkiri, perbankan memang tidak bisa agresif dalam menyalurkan kredit. Ini terjadi karena permintaan yang terganggu akibat masyarakat maupun pelaku usaha masih menunggu suku bunga untuk terus turun dan berbagai insentif lain serta perbaikan kondisi yang nyata sebelum belanja atau berekspansi.

Melihat angka pengangguran dan kemiskinan yang tinggi dengan mobilitas yang masih terbatas kemungkinan besar inflasi masih akan tetap rendah. Walaupun berada di sasaran target BI ada di zona bawah yaitu di angka 2%.

Terlepas dari apa yang terjadi, kenaikan harga minyak mentah berpotensi menyebabkan fenomena imported inflation di Indonesia yang notabene sebagai net oil importer. Harga minyak sudah melesat lebih dari 30% sepanjang tahun ini, bahkan harganya sudah pulih dari inflasi. Berdasarkan pantauan, harga minyak mentah Brent kini sudah berada di US$ 70/barel.

Imbas dari kenaikan harga minyak ini bisa memicu inflasi di Indonesia jika suatu kondisi terpenuhi. Kondisi yang paling utama adalah membaiknya mobilitas sehingga kebutuhan bahan bakar akan kembali terdongkrak.

Apabila program vaksinasi mampu meningkatkan optimisme masyarakat sehingga mobilitas terpantau naik, impor minyak dan turunannya akan kembali naik. Kenaikan harga akan membuat biaya impor ikut naik yang imbasnya neraca dagang bisa tekor, transaksi berjalan kembali bocor dan rupiah pun bisa longsor.

Mengingat minyak adalah input utama bagi berbagai aktivitas perekonomian, harga barang-barang berpotensi naik. Perlu diingat, ini terjadi jika vaksinasi benar-benar bisa membuat mobilitas kembali bangkit. Sebab, selama hal itu belum terjadi, inflasi kemungkinan masih akan rendah.


(dob/dob) Next Article Inflasi, Sang 'Copet' yang Kini Dinanti

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular