²©²ÊÍøÕ¾

Gas Melimpah, Tapi BBG Mati Suri, Ini Segudang Masalahnya

Anisatul Umah, ²©²ÊÍøÕ¾
23 April 2021 16:33
Infografis : Mobil Listrik dan BBG Bisa Jalan Bareng Kok...
Foto: Infografis/Mobil Listrik dan BBG Bisa Jalan Bareng Kok.../Arie Pratama

Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - Pemerintah memiliki target tidak akan impor Bahan Bakar Minyak (BBM) lagi pada 2030 mendatang. Salah satu langkah yang diambil demi menekan impor BBM yakni melalui pemanfaatan bahan bakar gas (BBG).

Berdasarkan Grand Strategi Energi RI, pada 2030 ditargetkan sebanyak 440 ribu kendaraan dan 257 unit kapal akan menggunakan BBG. Konsumsi BBG pun ditargetkan terus meningkat setiap tahunnya. Dari pemakaian 2020 yang baru sekitar 10 barel setara minyak per hari (boepd), ditargetkan meningkat menjadi 48 ribu boepd, dan naik lagi menjadi 112 ribu boepd pada 2030 mendatang.

Program konversi ke BBG ini memang patut didorong, terutama ketika pasokan gas di dalam negeri melimpah. Namun sayangnya, program BBG ini seolah mati suri. Padahal, program konversi BBM ke BBG ini sudah digaungkan sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Bahkan, pada periode Menteri ESDM dijabat oleh Jero Wacik pada 2013, dia menargetkan bahwa program ini bukan sekedar "omdo" alias omong doang atau sekedar wacana.

Namun sayangnya rencana Wacik menjadikan ini bukan sekedar wacana meleset. Nyatanya sampai kini bisa dikatakan program ini masih sekedar "omdo".

Program BBG ini tidak berjalan masif, karena pada kenyataannya sampai saat ini konsumsi BBM kita masih tinggi yang menyebabkan impor terus membengkak.

Lantas, apa sebenarnya biang kerok penyebab tidak berjalannya program BBG ini?

Anggota Komite Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) Jugi Prajogio berpandangan ada empat hal yang harus dipenuhi untuk program BBG ini. Pertama, pasokan gas. Kedua, keberadaan tempat pengisian gas. Ketiga, ada penggunanya, dan terakhir harga yang cocok.

Dari segi pasokan gas menurutnya tidak ada masalah karena Indonesia memiliki pasokan dan cadangan gas yang melimpah.

Sementara terkait isu tempat pengisian gas, dia mengakui sampai saat ini masih belum jelas. Kendati demikian, menurutnya ada solusi untuk menyediakan tempat pengisian gas bagi kendaraan.

Untuk tempat pengisian, dia menyarankan agar memanfaatkan Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) yang ada, di mana jumlahnya mencapai 7.200.

Namun dari sisi pengguna gas, menurutnya sampai saat ini masih tidak jelas, terutama ketika dari sisi produsen kendaraan tidak diwajibkan menyediakan alat pengonversi (converter) ke BBG.

"Bicara pengguna gas, nggak jelas juga, dari "atas" (pimpinan) nggak jelas target penggunanya, terutama dari produsen mobil," ujarnya.

Menurutnya, program konversi BBG ini tidak akan berjalan selama tidak ada ketersediaan alat converter ke BBG. Agar produsen mobil ini menyediakan alat converter, maka menurutnya memang diperlukan payung hukum atau regulasi yang mewajibkan semua mobil yang dirakit atau diproduksi harus ada converter kit BBG.

Dia menyebut, hal ini telah diterapkan di Korea Selatan.

"Yang paling penting buatkan Inpres atau Keppres bahwa setiap OEM wajib pakai konkit (converter kit), implikasi harga beli Avanza Rp 200 juta nambah konkit Rp 7 juta, mau nggak? Harga Rp 207 juta menurut saya nggak berat, kurang dari 10% tambahannya, langsung built-in akan lebih murah," jelasnya.

Dia pun mengungkapkan, masalahnya saat ini yaitu mobil yang diproduksi rata-rata keluaran Jepang, namun converter kit bukan buatan Jepang, sehingga produsen mobil menolaknya.

"Programnya tidak pas, mobil buatan Jepang tapi konkitnya non Jepang, sehingga orang Jepang tidak mau," ujarnya.

Lalu terakhir soal harga BBG ke konsumen. Menurutnya, meski dipatok harga rendah, lebih rendah dibandingkan harga BBM, namun jangan sampai badan usaha yang membuat stasiun pengisian BBG itu dibuat rugi yang pada akhirnya tidak mau menyediakan gas.

"Dengan harga BBG Rp 3.100 per liter setara premium (lsp), berdasarkan supply chain harga hulu berapa, online dan offline berapa, jangan sampai badan usaha yang buat pengisian itu dibuat rugi," bebernya.

"Kasihlah harga yang pas, dulu katanya dihitung sampai Rp 4.500 - Rp 5.000 per lsp, silahkan hitung saja yang penting ada keuntungan yang wajar bagi provider (penyedia BBG)," jelasnya.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional (DEN) Djoko Siswanto menegaskan bahwa BBG menjadi salah satu langkah dalam menekan impor BBM, selain mobil listrik. Dia berpandangan bahwa BBG selama ini masih berjalan dengan baik.

"Selain mobil listrik, laju impor bensin juga dapat dikurangi dengan BBG yang saat ini masih berjalan baik untuk bus Transjakarta, taxi, maupun bajaj," tuturnya.

Sebelumnya, Direktur Utama PGN Suko Hartono mengatakan, pihaknya akan kembali menggencarkan program BBG. Agar berjalan lancar dan tidak mandek seperti saat ini, pihaknya akan melakukan sejumlah terobosan baru.

Pertama, PGN akan memulai proyek percontohan penggunaan BBG di daerah yang kecil terlebih dahulu, sehingga mudah dikontrol. Percontohan pertama akan dilakukan di Bali.

Selain daerahnya kecil, menurutnya peraturan daerah Bali juga mendukung untuk penggunaan energi bersih dan ramah lingkungan.

"Kami strateginya proyek percontohan di pulau-pulau saja, misalnya Bali yang gampang karena peraturannya mendukung, lokasinya bisa kita kontrol, itu daerah yang mungkin kami usulkan untuk pilot project untuk konversi ke BBG ini," ungkapnya di Jakarta, Senin (19/04/2021).

Dia pun mengakui, program konversi BBM ke BBG ini tidak bisa dilaksanakan di semua sektor dan lokasi. Pihaknya akan fokus pada sektor transportasi dengan rute tertentu dan terbatas atau point to point.

Dia mencontohkan, sektor transportasi yang bisa menggunakan BBG ini antara lain kapal feri dari Pelabuhan Banyuwangi ke Pelabuhan Gilimanuk, kendaraan di dalam bandara, pelabuhan, dan angkutan publik yang jelas rutenya sehingga SPBG bisa disediakan di setiap pul kendaraannya.

"Tapi kami realistis, tidak semua bisa kami konversi, jadi nanti ada segmen tertentu, misalnya Bali, kapalnya mungkin bisa, kapal feri dari Banyuwangi mungkin bisa," tuturnya.

Selain itu, lanjutnya, perusahaan juga akan mengembangkan BBG yang secara keekonomian dinilai menarik, terutama untuk menggantikan BBM non subsidi.

Dia pun mengatakan tantangan dari program konversi BBM ke BBG saat ini yaitu peraturan dan badan usaha yang belum terintegrasi, serta ketersediaan dan keterjangkauan alat konversi ke BBG.

"Aturan dan badan usahanya harus terintegrasi. Selain peraturan, alat-alat konversi juga perlu jadi perhatian kita semua. Itu kira-kira yang menjadi tantangan," tuturnya.


(wia) Next Article Seolah Mati Suri, Kini Bahan Bakar Gas Bakal Digalakkan Lagi

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular