
Dilema Bebas Karbon, Investasi Migas-Batu Bara Kudu Setop

Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - Badan Energi Internasional (International Energy Agency/ IEA) menyampaikan perlu dilakukan perubahan radikal demi mencapai target bebas karbon atau emisi nol bersih (net zero emissions) pada 2050. Upaya radikal ini termasuk juga mengakhiri investasi di tambang batu bara baru, sumur minyak, dan juga gas bumi.
Berdasarkan perjanjian Paris pada 2015 lalu, kenaikan suhu global dibatasi 1,5 derajat Celsius. Jumlah negara yang sepakat untuk mencapai emisi nol ini pun telah bertambah.
Meskipun komitmen ini dilaksanakan, namun masih akan ada 22 miliar ton karbon dioksida (CO2) di seluruh dunia pada tahun 2050, yang akan menyebabkan kenaikan suhu sekitar 2,1 derajat Celsius pada tahun 2100 mendatang.
Hal tersebut berdasarkan laporan IEA tentang emisi nol di 2050, sebagaimana dilansir dari ABC News, Selasa (18/05/2021). Laporan ini ditujukan sebagai bahan diskusi iklim global yang akan digelar pada November mendatang di Skotlandia.
IEA telah menetapkan lebih dari 400 titik penting (milestone) untuk mencapai emisi nol tersebut, termasuk tidak ada lagi investasi untuk proyek bahan bakar fosil baru mulai sekarang, dan juga tidak ada lagi investasi untuk Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang tidak memiliki teknologi carbon capture.
"Jika kita ingin mencapai net zero (emisi) pada tahun 2050, kita tidak memerlukan investasi lagi dalam proyek minyak, gas, dan batu bara baru," tulis laporan IEA tersebut, seperti dikutip dari ABC News, Selasa (18/05/2021).
Para ilmuwan sudah lama menyampaikan jika perlu adanya perubahan cara orang dalam memanfaatkan energi untuk memenuhi kehidupan demi mencegah perubahan cuaca yang lebih ekstrem dan hilangnya spesies.
Berdasarkan catatan, suhu global tahun lalu menjadi yang tertinggi. Para ilmuwan menghubungkan kenaikan suhu dan cuaca ekstrim ini karena efek gas rumah kaca, termasuk di dalamnya karena CO2 yang berasal dari batu bara, minyak, dan gas.
Untuk mencapai nol emisi, pada 2035 juga tidak boleh ada penjualan mobil berbasis fosil. Lalu, pada 2040 sektor kelistrikan juga harus mencapai emisi nol persen.
Pemanfaatan Energi Baru Terbarukan (EBT) secara besar-besaran sangat diperlukan. Pembangkit listrik di tahun 2050 sebesar 90%-nya harus berasal dari EBT dan sisanya dari nuklir. Penambahan fotovoltaik surya harus mencapai 630 giga watt (GW) per tahun pada tahun 2030 dan pembangkit tenaga angin 390 GW.
Laporan ini juga menyampaikan teknologi baru yang belum berskala komersial, seperti carbon capture and storage (CCS) dan hidrogen hijau juga perlu dibawa ke pasar.
Tiap bulan mulai tahun 2030, sebanyak 10 pabrik industri perlu dilengkapi dengan CCS, tiga pabrik industri berbasis hidrogen baru perlu dibangun, dan kapasitas elektrolisis 2 GW untuk produksi hidrogen hijau perlu ditambahkan di lokasi industri.
Kebutuhan investasi EBT perlu ditingkatkan US$ 5 triliun setahun pada tahun 2030 untuk mencapai net zero emisi. Dari US$ 2 triliun saat ini. Menambahkan 0,4 poin persentase tambahan setahun untuk pertumbuhan PDB global, menurut analisis bersama oleh IEA dan International Monetary Fund (IMF).
(wia) Next Article 2021 Ekonomi Pulih, Konsumsi Batu Bara Dunia Bisa Naik 2,6%
