
Luhut Mau Audit Luar Dalam Perusahaan Sawit, Ini Usul Petani

Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) mengusulkan, pemerintah menerapkan lagi moratorium izin perkebunan kelapa sawit. Bertepatan dengan audit besar-besaran perusahaan sawit yang dicanangkan Menko bidang Maritim dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan mulai Juni 2022.
Sebelumnya, pemerintah telah menerapkan kebijakan moratorium sawit selama 3 tahun. Melalui Instruksi Presiden No. 8/2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit Serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit, yang berakhir pada 19 September 2021.
"Semestinya dilanjutkan Inpres itu. Artinya, perpanjang moratorium sambil audit," kata Sekjen SPKS Mansuetus Darto kepada ²©²ÊÍøÕ¾, Jumat (27/5/2022).
Seperti diketahui, saat menghadiri seminar nasional yang digelar Sekolah Tinggi Teknologi Angkatan Laut (STTAL), Menko Luhut mengungkapkan rencananya setelah ditugasi Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengurus polemik minyak goreng di dalam negeri.
Salah satunya, kata Luhut, akan melakukan audit terhadap semua perusahaan kelapa sawit. Sebab, kata dia, persoalan tidak terbatas hanya minyak goreng, tapi mulai dari aspek hulu harus diaudit.
Dengan begitu, ujarnya, data luasan kebun hingga plasma, dan yield serta produksi semua perusahaan sawit bisa diketahui.
Luhut menambahkan, audit akan meliputi luasan lahan, HGU, produksi, hingga kantor pusat yang akan diwajibkan di wilayah NKRI.
"Segera awal Juni. Jadi, dengan demikian main tertib," kata Luhut mengungkap jadwal audit kepada wartawan usai evaluasi aksi afirmasi Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia di Jakarta Convention Center, Senayan, Jakarta, Selasa (24/5/2022).
Keseriusan Pemerintah
Petani sawit pun berharap, rencana audit tersebut tidak sekedar wacana. Darto mengatakan, audit menyeluruh dibutuhkan sebagai bentuk keseriusan pemerintah memperbaiki tata kelola industri sawit di Tanah Air.
"Audit yang akan dilakukan Menko Marves seharusnya tidak saja berfokus pada persoalan perizinan, tapi mencakup semua permasalahan laten di lapangan saat ini," kata Darto.
"Contoh, data perkebunan sawit rakyat masih memiliki masalah. Data yang di keluarkan Kementerian Pertanian tahun 2019 luas perkebunan sawit rakyat di bawah 25 ha ada 6,7 juta ha. Tahun 2022 ini dari Lembaga Auriga telah merilis data untuk petani sawit rakyat hanya 2,3 jutaha. Artinya ini kan masih banyak yang memiliki lahan di atas 25 ha, mengatasnamakan sebagai petani sawit," lanjut Darto.
Untuk itu, dia menambahkan, evaluasi juga harus menyasar lahan-lahan di atas 25 ha agar pemilik lahan tersebut wajib IUP dan memiliki HGU.
Belum lagi, imbuh dia, ada persoalan sawit rakyat menyangkut aspek legalitas lahan dan usahanya, SHM dan STDB.
"Ditambah, dari aspek lingkungan seperti larangan penanamaan sawit di sepadan sungai sungai dan perlindungan spesies yang dilindungi dan lain-lain yang menjadi bagian dalam upaya pemenuhan prinsip keberlanjutan. Jadi, kalau pemerintah mau mengevaluasi atau mengaudit, harus menjangkau semua permasalahan yang ada," tegas Darto.
Di sisi lain, dia menambahkan, setelah larangan sementara ekspor minyak goreng dan bahan bakunya dicabut, seharusnya pemerintah juga bersiap memperbaiki struktur pasar sawit di Indonesia yang oligopoli di hulu perkebunan, dan monopoli di hilir.
"Rencana audit ini sesungguhnya bukan yang pertama kali direncanakan dan dilakukan. Persoalannya selama ini belum ada tindakan nyata yang dilakukan di lapangan serta upaya penegakan hukum yang tegas. Karena memang belum jadi prioritas sebelum permasalahan kelangkaan minyak goreng dan larangan ekspor CPO yang terjadi beberapa waktu belakangan," tukas Darto.
Dia berharap, pengawasan dan penegakan hukum menjadi bagian dari audit besar-besaran sawit kali ini.
"Jangan sampai langkah untuk audit kembali hanya akan jadi wacana saja tanpa ada penegakan hukum yang tegas, hanya mengulang kembali langkah yang sudah ada sebelumnya," ujar Darto.
(dce/dce) Next Article Luhut Mau Perusahaan Sawit di RI, Wilmar Ngantor di Singapura
