
3 Alasan "Ka'bah Baru" Dibangun Arab Saudi, Bukan Kiamat?

Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾- Pekan lalu kemunculan proyek The Mukaab di Arab Saudi membuat geger. Pasalnya, proyek itu memiliki bentuk sama dengan "ka'bah" bangunan suci umat Muslim di Mekkah.
Hal ini menimbulkan banyak reaksi ke negeri Raja Salman bin Abdul Aziz tersebut. Namun sebenarnya, ada sejumlah alasan yang melatarbelakangi dibangunnya The Mukaab.
Perlu diketahui The Mukaab sendiri berada di proyek "Murabba Baru" (alun-alun baru). Ini dimaksudkan untuk memperluas ibu kota sekitar 19 kilometer persegi (4.695 hektar) guna menampung ratusan ribu penduduk.
Proyek dibiayai Dana Investasi Publik (PIF), yang mengelola kekayaan negara senilai US$620 miliar dan dipimpin Putra Mahkota dan Perdana Menteri Mohammad Bin Salman (MBS). Proyek ini dijadwalkan selesai pada 2030.
The Mukaab akan memuat 20 bangunan Empire State. Dalam video promosinya di media sosial, bangunan itu disebut akan menyuguhkan "pengalaman mendalam" dengan lanskap yang berubah dari luar angkasa menjadi pemandangan hijau.
Berikut penjelasannya mengapa The Mukaab dibangun Arab Saudi, yang dirangkum ²©²ÊÍøÕ¾, dari berbagai sumber, Senin (27/3/2023).
Visi Saudi 2030
Selama ini Arab Saudi dikenal sebagai negara yang ekonominya bergantung dengan minyak. Namun saat Raja Salman menjadi pemimpinnya di 2015 negara itu mengumumkan Visi Saudi 2030.
Visi Saudi 2030 sendiri merupakan sebuah gambaran perekonomian baru Arab Saudi di tahun 2030. Dalam visi itu, Raja Salman menginginkan agar ketergantungan negara itu terhadap migas dikurangi dan sektor ekonomi terdiversifikasi.
Gayung bersambut saat MBS dipilih sebagai Putra Mahkota di 2017. Ia sibuk mendiversifikasi sumber pendapatan negara.
Negeri itu, tengah fokus membangun pariwisata untuk mencapai target menjadi salah satu pilar ekonomi di masa yang akan datang. Pariwisata akan menjadi penyokong PDB kedua setelah minyak.
Kocek US$500 miliar lebih digelontorkan untuk proyek-proyek besar. Ini untuk merevolusi pariwisata kerajaan agar sesuai dengan tren khalayak nasional dan internasional.
Reformasi dirancang untuk membuka diri terhadap dunia termasuk aturan untuk mengakomodasi investasi di sektor pariwisata. Terobosan lain adalah e-visa dapat dikeluarkan untuk pelancong hanya dalam waktu lima menit.
Diversifikasi Minyak
Ini juga terjadi karena sejumlah ramalan soal mulai ditinggalkannya energi fosil, termasuk minyak yang jadi andalan Arab Saudi. Minyak akan jadi salah satu yang paling mengalami penurunan permintaan terutama dari transportasi yang selama ini memberikan sumbangsih terbesar terhadap permintaan minyak dunia.
Peralihan ke energi terbarukan karena masalah emisi karbon dunia sehingga terjadi kesepakatan negara-negara untuk bersama-sama mengurangi emisi karbon. Negara Arab Saudi adalah penyumbang emisi karbon terbesar kedua di daerah timur tengah setelah Iran.
Menurut IEA (The International Energy Agency), dalam "Outlook Energy 2021", tingkat permintaan minyak akan turun hingga 104 juta barel per hari (mb/d) pada pertengahan 2030-an. Ini kemudian turun sangat sedikit hingga 2050.
Pada tahun 2030 dan 2050, permintaan minyak untuk transportasi jalan menurun lebih dari 2 mb/d secara global. Tahun 2030, 15% mobil penumpang di jalanan dikuasai mobil listrik dan meningkat menjadi 30% pada tahun 2050.
Berdasarkan data BP Statistical Review, Arab Saudi memiliki cadangan minyak sebesar 297.500 mb dan menjadi negara yang memiliki cadangan terbesar kedua di dunia dengan porsi 17,2% dari total cadangan minyak dunia. Negara ini berada di urutan kedua dengan produksi 11.039 mb/d.
Jadi Pusat Pariwisata dan Investasi Regional
Pembangunan ini juga dilakukan Arab Saudi untuk memenangkan lomba melawan Dubai dan dan ibu kota Qatar, Doha, yang telah lebih dulu mencoba memposisikan diri sebagai pusat pariwisata dan investasi regional. Fokus Arab Saudi yang selama ini terlalu ke pelancong Muslim bergeser ke non Muslim.
"Menjadi yang kedua dalam lomba selalu merupakan tempat yang sulit untuk memulai ketika Anda ingin menjadi pemimpin," kata Direktur Program Kebijakan Teluk dan Energi di The Washington Institute, Simon Henderson.
"Mereka telah menghabiskan waktu puluhan tahun untuk tidak menarik pengunjung asing non-Muslim," tambahnya lagi.
Mengutip Global Destination Cities Index yang dirilis oleh Mastercard, Arab Saudi selama ini memang berhasil memperoleh pendapatan sebesar US$20 miliar atau Rp300 triliun, dari turis Muslim pada 2018 melalui penyelenggaraan ibadah haji.
Di 2022 lalu, pendapatan Arab Saudi dari haji diperkirakan bisa mencapai US$30 miliar.
(sef/sef) Next Article Bikin Geger! Potret The Mukaab di Arab, Disebut Ka'bah Baru?