
Ogah Bernasib Seperti Karet, DMSI: Sawit Butuh Lembaga Khusus

Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - Plt Ketua Dewan Sawit Indonesia, Sahat Sinaga mengungkapkan bahwa dalam memperkuat industri sawit dalam negeri, perlu dibentuk sebuah lembaga khusus yang juga bertindak sebagai regulator untuk menjaga keberlanjutan sawit ke depan.
Dengan adanya lembaga khusus ini, industri sawit diyakini akan kuat dan tidak akan bernasib sama dengan industri karet yang belakangan terpuruk.
"Saya kira kita memahami sejarah karet. Waktu perang Korea itu harganya sampe U$ 9 per kilo, tingginya harga jadi racun. Ahli kimia yang mengembangkan jadi karet sintetis karena margin besar dengan demikian karet kita terpuruk. Nah jangan sampai ini terjadi di sawit," jelasnya dalam ²©²ÊÍøÕ¾ Special Dialogue, "Menggapai Sawit Tetap Jadi Andalan Indonesia saat Dunia Penuh Ketidakpastian" Senin, (26/6/2023).
Sahat bercerita, dalam berkecimpung di industri sawit hampir 50 tahun, ia melihat industri sawit terus berkembang. Namun hal tersebut belum cukup.
Butuh dana besar yang dikelola Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) dalam mendorong keberlanjutan sawit ke depan.
Seperti diketahui, BPDPKS yang telah dibentuk sejak 2015 tercatat telah mengumpulkan total dana pungutan sawit hingga Rp 186,6 triliun hingga saat ini. Dana dari pungutan ekspor kelapa sawit dan turunan tersebut digunakan untuk program pengembangan berkelanjutan.
Adapun sampai saat ini BPDPKS sudah menyalurkan dana untuk program Rp 7,78 triliun. Untuk mendanai pelaksana peremajaan sawit seluas 22.849 hektar, melibatkan 124 pekebun yang tersebar di 21 provinsi.
"Saya melihat dari BPDPKS masih kurang besar dananya, karena saya dengan beberapa kawan melihat kita harus memposisikan minyak sawit kita dari level low menjadi emas," jelas Sahat.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Eddy Martono pun sepakat perlu dibentuknya lembaga khusus, yang diharapkan bisa menjaga keberlangsungan sawit. Pasalnya ia melihat saat ini masih banyak kebijakan yang tumpang tindih dan perlu adanya sinkronisasi yang harus dilakukan antar lembaga.
Kehadiran lembaga khusus ini nantinya diharapkan Eddy bisa membuat pelaku usaha mendapatkan kepastian dan tidak bergantung pada kondisi global.
"Tidak bisa hanya dibebankan pada pelaku usaha, pembuat kebijakan harus aktif dan sinkron. Apalagi ekspor kita 2022 memecahkan sejarah terbesar secara nilai U$ 39,07 miliar, itu karena harga sawit dan minyak nabati baik," jelasnya.
(dpu/dpu) Next Article Pemerintah Kasih Lampu Hijau Pembentukan Lembaga Khusus Sawit