
Pabrik-Pabrik di China Mulai Sepi, Ada Masalah Apa?

Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - Badai pandemi Covid-19 mulai reda, namun nampanya kondisi itu juga berdampak pada sektor industri di China. Ini terbukti dari penurunan aktivitas produksi di sejumlah pabrik yang mengalami kontraksi selama tiga bulan terakhir, sementara aktivitas non-manufaktur berada di titik terlemahnya sejak Beijing meninggalkan kebijakan nol Covid yang ketat akhir tahun 2022 lalu.
Melansir ²©²ÊÍøÕ¾ International, data terbaru menunjukkan pemulihan yang tidak merata di negara dengan ekonomi terbesar kedua di dunia itu, hal tersebut lantaran momentum pertumbuhannya yang melemah.
Indeks manajer pembelian (PMI) manufaktur resmi China berada pada level 49% pada Juni 2023. Bila dibandingkan dengan PMI pada Mei 2023 berada di level 48,8%, sedangkan pada bulan April 2023 berada di level 49,2%.
"Momentum ekonomi masih cukup lemah di China. Data terbaru menunjukkan ekonomi global melambat, yang kemungkinan akan memberikan tekanan lebih lanjut terhadap permintaan eksternal dalam beberapa bulan mendatang," kata Presiden dan Kepala Ekonom Pinpoint Asset Management, Zhang Zhiwei, dilansir ²©²ÊÍøÕ¾ International, dikutip Jumat (30/6/2023).
Adapun, China membukukan PMI non manufaktur yang terpantau menjadi yang terlemah untuk tahun ini, yang mana pada Juni 2023 tercatat berada di level 53,2%. Bila dibandingkan dengan PMI non manufaktur di bulan Mei 2023 lalu berada di level yang lebih tinggi yakni 54,5% dan berada di lebel 56,4% pada bulan April 2023.
"Di sisi lain, target pertumbuhan pemerintah sebesar 5% tahun ini cukup sederhana mengingat basis yang rendah tahun lalu. Tidak jelas apakah data ekonomi yang lemah akan mendorong pemerintah untuk segera meluncurkan langkah-langkah stimulus yang agresif," tambahnya.
Sementara itu, Perdana Menteri China Li Qiang mengatakan bahwa negaranya masih berada di jalur yang tepat untuk mencapai target pertumbuhan tahunan sekitar 5%. Hal itu mengingat China tumbuh hanya 3% tahun lalu, yang mana hal itu merupakan salah satu pertumbuhan terlemah dalam hampir setengah abad.
Sebelumnya, banyak investor global yang minggat dan memindahkan bisnis mereka. Posisi China sebagai pusat rantai produksi perusahaan global mulai runtuh sejak tahun 2018, setelah Presiden Amerika Serikat, pada saat itu, Donald Trump melancarkan perang dagang melawan Tiongkok.
Setelahnya, aturan lockdown Covid-19 yang ketat di China juga mendorong investor untuk menilai kembali risiko geopolitik mereka.
"Ketegangan geopolitik, dengan sendirinya membuat investor global menata kembali rantai pasokan di China," kata Ashutosh Sharma, direktur riset di firma riset pasar Forrester kepada Insider, dikutip Jumat (30/6/2023).
Bahkan, beberapa pabrikan China sendiri memindahkan sebagian rantai pasokan mereka keluar dari China untuk menghindari risiko.
(hsy/hsy) Next Article Ini Bukti Nyata, Ada Fenomena Ramai Pabrik di Jakarta Diobral