
'Serangan' IMF ke Jokowi Dipertanyakan, Ada Apa di Balik Itu?

Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - International Monetary Fund (IMF) dalam laporan terbarunya meminta Indonesia menghapus kebijakan pembatasan ekspor nikel secara bertahap, karena dinilai akan merugikan Indonesia.
Permintaan tersebut tertuang dalam dokumen IMF Executive Board Concludes 2023 Article IV Consultation with Indonesia. IMF meminta, kebijakan hilirisasi, terutama nikel harus berlandaskan analisis terkait biaya dan manfaat lebih lanjut.
Kebijakan hilirisasi oleh Indonesia, menurut IMF juga perlu dibentuk dengan mempertimbangkan dampak-dampak adanya potensi kehilangan pendapatan negara Indonesia, juga berdampak terhadap wilayah lain.
Pernyataan IMF soal hilirisasi yang merugikan Indonesia itu kemudian dibantah oleh Menteri Investasi atau Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia.
"IMF katakan negara kita rugi, ini di luar nalar berpikir sehat saya. Dari mana dia bilang rugi? Tahu nggak dengan kita lakukan hilirisasi, itu penciptaan nilai tambah sangat tinggi sekali di negara kita," jelas Bahlil dalam konferensi pers, dikutip Rabu (5/7/2023).
Bahlil merinci, adanya hilirisasi nikel, ekspor nikel pada 2017-2018 hanya mencapai US$ 3,3 miliar, kemudian begitu diberhentikan ekspor nikel karena adanya hilirisasi, nilai ekspor Indonesia melonjak sepuluh kali lipat pada 2022 menjadi US$ 30 miliar.
Kemudian juga, adanya hilirisasi dengan mendorong ekspor tidak lagi berbentuk komoditas barang mentah menjadi setengah jadi dan barang jadi pada 2022, membuat neraca perdagangan Indonesia dan China mengalami surplus dari sebelumnya defisit hingga US$ 18,4 miliar pada 2018.
Seiring dengan penerapan hilirisasi, defisit neraca perdagangan RI dengan China turun menjadi US$ 1,6 miliar pada 2022, bahkan menjadi surplus sebesar US$ 1,2 miliar pada kuartal I-2023.
"Dengan hasil hilirisasi ini, surplus neraca perdagangan sudah 25 bulan dan neraca pembayaran kita juga mengalami perbaikan dan surplus, ini akibat hilirisasi," jelas Bahlil.
Dalam konteks penerimaan negara untuk pajak ekspor komoditas, kata Bahlil memang terjadi pengurangan sejak kebijakan larangan ekspor diterapkan.
Kendati demikian, saat hilirisasi dilakukan, pemerintah mengantongi penambahan pendapatan dari sisi pajak penghasilan (PPh) badan, pajak pertambahan nilai (PPN), serta PPh pasal 21 dari tenaga kerja. Serta meningkatnya lapangan pekerjaan.
Kementerian Investasi mencatat, sejak diberlakukan kebijakan hilirisasi, pertumbuhan penciptaan tenaga kerja rata-rata pada sektor hilirisasi tiap tahun mencapai angka 26,9% dalam empat tahun terakhir.
Adapun pendapatan negara mencapai target di dua tahun terakhir. Pada 2021, pendapatan negara mencapai Rp 2.003,1 triliun atau 114,9% dari target, dan di 2022 mencapai Rp 2.626,4 triliun atau 115,9% dari target.
"Yang tahu pendapatan negara tercapai bertambah atau tidak, itu bukan IMF, tapi kita, pemerintah Republik Indonesia," tegas Bahlil.
Pun adanya hilirisasi juga berhasil membuat ekonomi di negara-negara penghasil tambang jadi melejit.
"Maluku Utara (Maltara) sebelum hilirisasi ada ANTAM, yang hanya mengambil bahan baku saja, dan membuat pertumbuhan ekonomi di Maltara di bawah pertumbuhan ekonomi nasional. Sekarang 19% di atas pertumbuhan ekonomi nasional," tuturnya
"Lapangan pekerjaan tercipta, di Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, pertumbuhan ekonominya semua di atas pertumbuhan ekonomi nasional," kata Bahlil lagi.
Oleh karena itu, Bahlil menegaskan, pernyataan IMF sangat tidak rasional, jika menyebut hilirisasi telah membuat Indonesia merugi.
"Jadi kalau ada siapa pun yang mencoba mengatakan hilirisasi sebuah tindakan yang merugikan negara, itu kita pertanyakan pemikiran ada apa dibalik itu termasuk kita di dalam negeri," tukas Bahlil.
(cap/cap) Next Article Tegas! Pemerintahan Jokowi Tak Mau Diatur IMF Soal Hilirisasi
