²©²ÊÍøÕ¾

Jangan Harap Rupiah Kuat Kalau Kebutuhan Pokok Saja Harus Impor!

Arrijal Rachman, ²©²ÊÍøÕ¾
21 June 2024 09:55
Suasana aktivitas pembongkaran beras impor dari Vietnam yang baru tiba di Terminal Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, dengan menggunakan Kapal MP Fortune, Kamis (21/3/2024). (²©²ÊÍøÕ¾/Tri Susilo)
Foto: Suasana aktivitas pembongkaran beras impor dari Vietnam yang baru tiba di Terminal Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, dengan menggunakan Kapal MP Fortune, Kamis (21/3/2024). (²©²ÊÍøÕ¾/Tri Susilo)

Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) kian melemah hingga penutupan perdagangan kemarin, Kamis (20/6/2024). Rupiah ditransaksikan di level Rp16.425/US$ berdasarkan data Refinitiv. Posisi ini merupakan yang terparah sejak era pandemi Covid-19 yang terjadi sekitar empat tahun lalu.

Meski pemerintah dan otoritas moneter menilai pelemahan rupiah yang terjadi saat ini lebih dipicu faktor sentimen negatif pelaku pasar keuangan, seperti tren suku bunga acuan bank sentral AS Fed Fund Rate yang masih sulit cepat turun, hingga kesinambungan APBN 2025, namun kalangan ekonom menganggap untuk rupiah bisa kembali menguat pun masih sulit karena masalah faktor fundamental.

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara menegaskan, permasalahan faktor fundamental itu ialah bahan-bahan pokok kebutuhan masyarakat Indonesia yang masih harus dipenuhi dengan impor. Hal ini membuat kebutuhan dolar pun tentu masih sangat tinggi untuk membeli produk asing tersebut.

"Ini pertemuan dengan kondisi fundamental ekonomi kita yang memang rapuh, rapuh dari mana? salah satunya adalah ketergantungan terhadap impor bahan pangan yang masih cukup tinggi, bahkan kalau dilihat ya bawang putih 85% impornya, jagung, beras, gandum apalagi," ucap Bhima kepada ²©²ÊÍøÕ¾.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat kegiatan impor beras ke Indonesia masih tinggi hingga Mei 2024. Menurut data BPS, pada periode Januari-Mei 2024 impor beras ke Indonesia meningkat 165,27% dari posisi data pada Januari-Mei 2023 sebanyak 854 ribu ton, menjadi 2,2 juta ton pada periode Januari-Mei 2024.

Pemerintahan Presiden Jokowi memang telah menetapkan menetapkan impor pangan sebesar 12,43 juta ton sepanjang tahun 2024. Impor pangan itu terdiri dari impor beras, gula, bawang putih, daging lembu, hingga jagung. Jumlah tersebut telah ditetapkan dalam Sistem Nasional Neraca Komoditas (SINAS NK), yang diputuskan melalui rapat terbatas (ratas) oleh pemerintah.

Bhima menganggap, pangan sebagai komoditas pokok masyarakat, ke depan pun potensi impor oleh pemerintah masih akan tinggi. Disebabkan tak siapnya pemerintah dalam menghadapi perubahan iklim yang memburuk terhadap sektor pertanian dan peternakannya. Berakibat pada tipisnya stok pangan di dalam negeri sehingga masih harus dipenuhi dari impor lagi.

"Ketergantungan impor pangan ini akan terus meningkat ke depannya, sejalan juga dengan produksi pangan dalam negeri yang bisa dibilang stagnan, luasan lahan panen yang cenderung turun, ada anolami cuaca yang juga tidak dipersiapkan dengan baik di dalam negeri mengganggu produksi pangan," ucap Bhima.

"Ya kita seperti potong jalan dengan memperbesar porsi impor di berbagai jenis komoditas pangan. Nah ini salah satu isu besarnya jadi rupiahnya akan semakin terkoreksi ke depan bukan hanya rupiah terhadap dolar tapi juga rupiah terhadap mata uang negara-negara mitra dagang yang menjadi sumber impor," ucap Bhima.

Untuk memenuhi kebutuhan sayur mayur pun negara agraris ini masih harus mengandalkan impor. Nilai impor sayuran Indonesia dari China bahkan meningkat pada periode Ramadan dan menjelang Hari Raya Idul Fitri 2024. BPS mencatat nilai impor sayuran dari China pada Maret lalu sebesar US$ 79,4 juta atau naik 393% dibanding bulan sebelumnya.

"Bahkan sayur-sayuran saja sampai kita harus impor itu kan yang menjadi salah satu alarm bahwa fundamental kita rapuh.Selain itu kerapuhan fundamental terhadap ketergantungan impor pangan yang sangat besar ini juga bisa berdampak langsung kepada ekonomi rumah tangga karena pangan kebutuhan primer," tutur Bhima.

Oleh sebab itu, Bhima menekankan untuk menghadapi permasalahan itu pemerintah perlu melakukan perbaikan di sektor pertanian dengan memperbesar diversifikasi pangan lokal, subsidi pertanian yang tepat sasaran ditambah, hingga infrastruktur yang tak lagi harus terus menerus diarahkan ke megaproyek, melainkan diperkuat untuk infrastruktur skala petani.

"Infrastruktur tidak diarahkan ke mega proyek tapi diarahkan kepada infrastruktur skala petani-petani yang ada di pedesaan untuk menjaga biaya logistik tetap rendah, menjaga irigasi, kemudian investasi untuk riset. Jadi inovasi-inovasi di pertanian ini harus terus dijalankan kalau kita tidak mau bergantung kepada impor pangan yang semakin mahal ke depannya," ucap Bhima.

Pernyataan yang sama juga diungkapkan oleh Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti. Ia mengatakan, dengan masih besarnya kebutuhan impor bahan pokok itu tentu kebutuhan dolar di dalam negeri masih akan tinggi, hingga menyebabkan nilai tukar rupiah terhadap mata uang itu masih akan melemah.

Meski begitu, Esther menilai, faktor itu tidak bisa menjadi penyebab tunggal sulit menguatnya rupiah ke depan. Sebab selama ini Indonesia telah terkenal sebagai negara importir kebutuhan bahan pokok.

"Ini memang berdampak nilai impor naik, karena impor dibayar dengan dolar AS kecuali kita melakukan dedolarisasi. Tapi kan ini dari awal ketergantungan Indonesia terhadap penggunaan dolar juga sudah tinggi untuk itu," tutur Esther.

Namun, dia mengakui untuk kembali memperkuat nilai tukar rupiah itu pemerintah harus semakin selektif mengurangi impor. Selain itu Esther juga menekankan pentingnya bagi pemerintah untuk terus menerus mengurangi porsi utang dalam bentuk valuta asing atau valas khususnya dolar AS.


(haa/haa) Next Article Dolar Tembus Rp 16.200, Sri Mulyani Ungkap Untung Rugi Bagi RI

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular