
Turbulensi Hebat Guncang 3 Penerbangan dalam 1 Bulan, Ada Apa Dunia?

Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - Turbulensi dahsyat yang mengganggu penerbangan kembali terjadi. Setidaknya dalam sebulan ini, tiga maskapai terpaksa mendarat darurat akibat goncangan di penerbangan.
Apa saja? Mengapa ini terjadi?
Air Europa
Turbulensi hebat kembali mengganggu penerbangan dunia. Puluhan penumpang bahkan terluka ketika Air Europa tergoncang hebat dalam perjalanan dari Madrid, Spanyol, ke Montevideo, Uruguai.
Pesawat Boeing 787-9 Dreamliner yang membawa 525 orang itu pun terpaksa mendarat darurat di Brasil. Sebanyak 40 penumpang dibawa ke rumah sakit akibat lecet dan trauma ringan.
"Pesawat tersebut, Boeing 787-9 Dreamliner dengan 325 orang di dalamnya, dialihkan pada dini hari ke bandara Natal di timur laut Brasil, di mana lebih dari selusin ambulans menunggu," muat AFP, dikutip Selasa (2/7/2024).
"Sebelas orang masih dirawat di rumah sakit Monsenhor Walfredo Gurgel pada Senin sore. Di antara korban luka adalah warga negara Spanyol, Argentina, Uruguay, Israel, Bolivia, dan Jerman," tambahnya.
Dalam updatenya, Air Europe sendiri mengatakan sebuah pesawat dikirim dari Madrid untuk menjemput para penumpang. Sementara Boeing yang tertimpa musibah diperiksa kerusakannya di Natal.
"Mereka pertama-tama akan dibawa ke Recife di tempat lain di Brasil, dan kemudian mereka akan melanjutkan perjalanan ke ibu kota Uruguay," kata perusahaan itu.
"Beberapa orang terluka dalam turbulensi yang sangat kuat", kata pengguna X Mariela Jodal, yang mengatakan dia termasuk di antara penumpang.
"Saya selamat berkat sabuk pengaman," tambahnya.
Gambar yang diunggahnya menunjukkan panel langit-langit rusak, dengan pipa dan kabel terlihat. Satu foto lain menunjukkan kendaraan darurat dengan lampu berkedip menunggu di landasan di Natal.
Qatar Airways
Turbulensi dalam penerbangan juga terjadi pada Qatar Airways, QR017, dari Doha ke Irlandia, 26 Mei lalu. Mengutip AFP, 12 orang terluka yakni enam penumpang dan enam awak pesawat.
Pesawat sebenarnya mendarat sesuai jadwal sesaat sebelum pukul 13.00 waktu Dublin. Namun layanan darurat sudah siaga di landasan.
"Saat mendarat, pesawat tersebut ditangani oleh layanan darurat, termasuk polisi bandara dan departemen pemadam kebakaran dan penyelamatan kami, karena enam penumpang dan enam awak (total 12) di dalamnya melaporkan cedera setelah pesawat mengalami turbulensi saat mengudara di Turki," kata pernyataan bandara Dublin .
"Tim Bandara Dublin terus memberikan bantuan penuh di darat kepada penumpang dan staf maskapai," tambahnya.
Qatar Airways memberikan keterangan bahwa cedera korban dilaporkan bersifat ringan. Insiden sedang diselidiki secara internal.
Singapore Airlines
Singapore Airlines SQ321 mengalami pendaratan darurat di Bangkok, Thailand, 21 Mei lalu. Bahkan satu orang dilaporkan tewas akibat kejadian tersebut.
Mengutip AFP, pesawat Singapore Airlines SQ321 itu sebenarnya memiliki rute penerbangan Bandara Heathrow London, Inggris, ke Changi Airport, Singapura. Namun turbulensi ekstrem tiba-tiba terjadi selama lebih dari satu menit di ketinggian 11.300 meter (37.000) kaki, sekitar 11 jam setelah pesawat berangkat dari London.
Turbulensi menyerang persis saat pesawat berada di atas Myanmar, Cekungan Irrawaddy. Di mana, dalam laporan yang sama, disebut turbulensi naik dan turun dengan hebat terjadi beberapa kali.
Mengutip FlightRadar.24 ini pesawat disebut turun 6.000 kaki, dari 37.0000 kaki ke 31.000 kaki dalam waktu lima menit. Meski begitu, masih mengutip AFP, penurunan tajam terkendali dan pesawat kemudian dialihkan ke Bangkok.
"Pada pukul 15.35 bandara menerima panggilan darurat dari penerbangan Singapore Airlines yang mengatakan ada penumpang di dalamnya yang terluka akibat turbulensi, dan meminta pendaratan darurat," kata Bandara Suvarnabhumi dalam sebuah pernyataan.
"Pesawat mendarat di bandara dan tim medis dikirim untuk merawat semua korban luka," tambahnya.
Dalam laporan CNN International, korban tewas merupakan seorang pria berkewarganegaraan Inggris, berusia 73 tahun. Ia bernama Geoff Kitchen. Hingga berita diturunkan proses otopsi terhadap korban masih berlangsung.
"Penyelidikan awal menunjukkan bahwa almarhum menderita penyakit jantung," kata General Manager Bandara Internasional Suvarnabhumi Bangkok Kittipong Kittikachorn.
Mengutip AFP, 71 orang terluka karena turbulensi tersebut. Ada sekitar enam di antaranya yang mengalami luka parah.
Namun mengutip CNN International, sebanyak 30 penumpang dirawat di rumah sakit. Sementara yang lain menerima perawatan rawat jalan di bandara.
Mengapa Ini Terjadi?
Mengutip ±·µþ°äÌý±õ²Ô³Ù±ð°ù²Ô²¹³Ù¾±´Ç²Ô²¹±ô, ini mungkin akibat perubahan iklim. Kondisi ini telah menyebabkan kasus turbulensi yang lebih ekstrem terjadi.
Setidaknya ini dikatakan fisikawan dan ilmuwan proyek di Pusat Penelitian Atmosfer Nasional Yayasan Sains Nasional AS, Larry Cornman.
"Seringkali, untuk hal seperti ini, yang terjadi hanyalah tempat yang salah, waktu yang salah," kata Cornman, yang mempelajari pergerakan atmosfer skala kecil yang dapat membahayakan pesawat.
Merujuk data Dewan Keselamatan Transportasi Nasional, dari jutaan penerbangan, turbulensi telah menyebabkan 185 cedera serius dari tahun 2009 hingga 2023. Dari insiden yang dilaporkan sepanjang 2009 hingga 2022, sedikitnya 129 awak kapal dan 34 penumpang mengalami luka-luka.
"Kematian terkait turbulensi dapat disebabkan oleh serangan jantung atau cedera kepala jika kepala penumpang membentur langit-langit atau tertimpa bagasi yang jatuh," kata Cornman.
"Apa pun yang dapat menyebabkan kematian di darat pasti dapat menyebabkan kematian di dalam tabung aluminium pada ketinggian 35.000 kaki," ujarnya menambahkan bahwa penumpang yang mengenakan sabuk pengaman tetap merasa aman di udara.
"Pesawat angkut besar ini dibuat dengan cukup kuat. Mereka tidak akan hancur atau lepas dari langit karena turbulensi," kata Cornman lagi.
Sementara itu, Presiden Asosiasi Pramugari-CWA, Sara Nelson, mengatakan laporan awal tampaknya menunjukkan bahwa penerbangan Singapura mengalami turbulensi udara jernih. Jenis turbulensi ini paling berbahaya karena tidak dapat dilihat dan hampir tidak dapat dideteksi dengan teknologi saat ini.
"Satu detik, Anda melaju dengan lancar," kata Nelson.
"Selanjutnya, penumpang, awak kabin, dan kereta tanpa pengaman atau barang lainnya dibuang ke sekitar kabin," ujarnya.
Nelson dan sekelompok peneliti mengatakan insiden turbulensi udara jernih sedang meningkat akibat perubahan iklim. Padahal ini sulit diperkirakan dan dihindari karena tidak terkait dengan badai apapun.
Dalam sebuah studi tahun 2023 yang diterbitkan dalam jurnal Geophysical Research Letters menemukan bahwa turbulensi udara jernih meningkat lebih dari 50% di Samudra Atlantik Utara dari tahun 1979 hingga 2020. Menurut para peneliti, peningkatan turbulensi kemungkinan besar disebabkan oleh pengaruh perubahan iklim terhadap kecepatan angin di lapisan atas atmosfer.
Beberapa peningkatan turbulensi udara jernih yang paling nyata dalam beberapa dekade terakhir terjadi di wilayah garis lintang tengah. Ini termasuk di Atlantik Utara dan rute penerbangan di AS.
"Hasilnya menunjukkan bahwa pemanasan global mungkin menyebabkan ketidakstabilan pada jet stream (aliran jet), sebuah ban berjalan udara yang bergerak cepat yang mengelilingi bumi di belahan bumi utara," kata salah satu penulis penelitian dan peneliti doktoral di University of Membaca di Inggris, Mark Prosser.
Jet stream, yang mengalir seperti sungai udara dari barat ke timur, dipicu oleh perbedaan suhu antara daerah yang lebih dingin hingga daerah yang lebih dingin. Perubahan iklim mungkin membuat jet stream ini menjadi kacau, yang bisa berdampak besar pada perjalanan udara di masa depan.
"Pesawat suka terbang dengan aliran jet," kata Prosser.
"Tetapi ironisnya, tempat yang suka terbang juga merupakan tempat terjadinya turbulensi," ujarnya.
Ketidakstabilan tersebut diperkirakan akan meningkat seiring dengan pemanasan global. Rekan-rekan Prosser di University of Reading secara terpisah menggunakan model iklim untuk memproyeksikan bagaimana turbulensi udara jernih di paruh kedua abad ini dapat berubah jika pemanasan global terus berlanjut.
"Jika Anda membandingkan iklim tahun 2050 hingga 2080 dengan iklim sebelum kita mulai mengeluarkan gas rumah kaca - jadi, pada masa praindustri- terjadi peningkatan dua kali lipat atau terkadang tiga kali lipat jumlah turbulensi udara jernih di atmosfer," kata Prosser.
(sef/sef) Next Article Lagi Insiden Pesawat! Malaysia Airlines Putar Balik, Keadaan Darurat
