
Jangan Sampai Dolar Tembus Rp 20.000, Nasib Warga RI Bisa Begini

Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - Penguatan rupiah dinilai belum cukup saat ini. Mata uang Garuda diharapkan bisa kembali ke level di bawah Rp 16.000 per dolar AS.
Dilansir dari Refinitiv, rupiah ditutup menguat 0,15% di angka Rp16.365 per dolar AS pada hari ini, Rabu (3/7/2024). Apresiasi ini berbanding terbalik dengan pelemahan yang terjadi sehari sebelumnya (2/7/2024) sebesar 0,43%.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Komisi XI meminta Bank Indonesia (BI) untuk memperkuat nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat kembali ke level Rp 15.000. Mereka meminta paling tidak rupiah balik ke Rp 15.900/US$.
Wakil Ketua Komisi XI DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Dolfie Othniel Frederic Palit mengatakan, DPR sejauh ini telah mengusulkan kepada pemerintah dan BI supaya rupiah balik ke level Rp 15.900. Level itu sebetulnya telah disepakati saat rapat panja terkait nilai tukar rupiah dan inflasi dengan BI dalam asumsi makro APBN 2025.
Sebagaimana diketahui, hasil kesepakatan antara DPR dan Pemerintah dalam panja itu terkait asumsi nilai tukar rupiah di rentang Rp 15.300-15.900. Lebih rendah dari usulan pemerintah yang berada dalam rentang Rp 15.300-16.000 dan BI yang berkisar antara Rp 15.300-15.700.
"Kalau kita sih harapannya ke Rp 15.900, tapi kan trennya harus lihat dulu apa menurun atau enggak, arahan kita ke BI agar rupiah menguat," kata Dolfie saat ditemui di Gedung Parlemen, Jakarta, dikutip Kamis (4/7/2024).
Komisi XI DPR juga sebetulnya telah meminta BI untuk membuat tabel uji elastisitas atau stress test dari setiap pelemahan dan penguatan rupiah terhadap kondisi perekonomian nasional. Seperti tiap pelemahan Rp 100 bagaimana dampaknya ke APBN maupun inflasi.
Anggota Komisi XI DPR dari Fraksi PKS Anis Byarwati mengatakan, dari hasil tabel stress test itu, ia mengatakan, batas atas dari pelemahan rupiah ialah Rp 16.500/US$.
"Rp16.500 itu sudah alarm, jangan sampai ke situ," kata Anis
Ekonom senior yang juga merupakan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia (UI) Telisa Aulia Falianty mengingatkan agar pemerintah, Bank Indonesia dan pihak berwenang lainnya untuk ekstra hati-hati dalam mengawal rupiah.
Menurut Telisa, jika tembus Rp 17.000/US$ kerugian ekonominya akan lebih besar dihadapi masyarakat Indonesia, meski tak sampai menyebabkan krisis moneter sebagaimana saat 1997-1998.
"Dulu kan overshoot-nya dari Rp 5.000 ke Rp 17.000, kalau sekarang kan dari Rp 14.000 lah ke Rp 17.000, jadi belum krisis. Krisis itu mungkin kalau Rp 20.000 lah udah itu baru," tegasnya kepada ²©²ÊÍøÕ¾ dikutip Selasa (24/6/2024).
Terlepas dari level tersebut, Telisa mewanti-wanti pemerintah dan otoritas moneter untuk tidak membiarkan kurs rupiah tembus di level Rp 16.500/US$.
Dia mengatakan, bila level psikologis itu tertembus dari saat ini di kisaran atas Rp 16.400/US$ akan terus mengakumulasi sentimen negatif pelaku pasar keuangan dari yang sudah bermunculan saat ini, sehingga sulit dijinakkan dan berpotensi merosot sampai Rp 17.000/US$.
"Jadi, kalau ditanya sampai berapa ya Probability ke Rp 17.000/US$ sih ada ya. Nanti habis 17.000 mungkin ada equilibrium baru," kata Telisa.
Ketua Umum Realestat Indonesia (REI) Joko Suranto buka suara soal pelemahan rupiah terhadap dolar AS dan suku bunga tinggi, serta dampaknya bagi bisnis perumahan dan properti di Indonesia.
"Kalau kaitan direct ke industri properti sebenarnya hanya ketika tekanan dolar itu memberi tekanan untuk kenaikan harga BBM. Karena ini terkait biaya logistik," katanya dalam Propertinomic ²©²ÊÍøÕ¾, dikutip Kamis (4/7/2024).
"Kaitan yang kedua ke industri properti ini adalah ketika suku bunga naik. Karena adanya tekanan capital outflow," tambahnya.
(haa/haa) Next Article Mantan Direktur Bank Dunia Ramal Pelemahan Rupiah Bisa Terus Berlanjut