
Gaji Gak Naik-Naik Jadi Biang Kerok Daya Beli Warga RI Lemah

Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - Daya beli masyarakat Indonesia dari kelas bawah hingga kelas menengah tengah melemah. Pemicunya, ternyata akibat gaji yang tak naik-naik hingga pemutusan hubungan kerja (PHK) yang marak terjadi belakangan.
Salah satu indikator melemah daya beli masyarakat, khususnya level kelas menengah ialah anjloknya penjualan bahan tahan lama atau durable goods seperti kendaraan bermotor. Penjualan mobil misalnya, selama Semester I-2024 turun 19,4% dari 506.427 unit menjadi 408.012 unit.
Sekretaris Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Kukuh Kumara menuturkan para pengusaha mobil bahkan akan merevisi target penjualan mobil 2024 sebanyak 1,1 juta unit, dengan mempertimbangkan sejumlah faktor penekan pasar, salah satunya gaji masyarakat yang tak mampu menjangkau harga mobil.
"Salah satu faktor pemicu stagnasi pasar mobil adalah harga mobil baru tidak terjangkau oleh pendapatan per kapita masyarakat. Gap antara pendapatan rumah tangga dan harga mobil baru makin lebar," katanya dalam diskusi Forum Wartawan Industri, dikutip Kamis (11/7/24).
Ia menganggap, penjualan mobil sangat tergantung pada pendapatan masyarakat. Maka, mau tak mau pendapatan per kapita harus naik 5% hingga 6% per tahun, mendorong kelompok upper middle naik kelas ke affluent income group sehingga mendorong penjualan otomotif.
Senada, pengamat otomotif LPEM UI Riyanto menegaskan, pasar mobil domestik rata-rata tumbuh 21,3 persen selama 2000-2013, ditopang oleh kenaikan pendapatan per kapita sebesar 28,2%. Sementara itu, selama 2013-2022, pendapatan per kapita hanya naik 3,65%, sehingga pasar mobil turun rata-rata 1,64% per tahun.
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas juga mencatat, sebetulnya 40 juta pekerja di Indonesia masih memiliki gaji di bawah Rp 5 juta. Jauh di bawah target pendapatan per kapita hingga akhir 2024 sebesar US$ 5.500 per tahun, atau setara Rp 7,45 juta per bulan.
Selain pendapatan minim, masyarakat Indonesia makin banyak terkena PHK yang menyebabkan pendapatan rutin bulanan mereka hilang. Mengutip Satu Data Kementerian Ketenagakerjaan, pada periode Januari-Mei 2024 jumlah pekerja ter PHK mencapai 27.222 orang, meningkat 48,48% dari catatan Januari-Mei 2023 sebanyak 18.333 orang.
Sayangnya, data pemerintah itu tak menggambarkan sektor mana yang paling banyak terjadi PHK. Meski begitu, berdasarkan data Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), PHK di sektor industri TPT saja telah mencapai 10.800 tenaga kerja, per Mei 2024.
Ekonom Institute for Development of Economixs and Finance Abdul Manap Pulungan mengatakan, dengan kondisi maraknya PHK dan gaji yang tak kunjung naik itu, tak heran aktivitas ekonomi domestik lesu hingga berdampak pada tergerusnya pendapatan negara, mulai dari Pajak Pertambahan Nilai Dalam Negeri (PPN DN) merosot, hingga setoran pajak sektor perdagangan yang kian loyo.
Sektor industri perdagangan yang memiliki porsi 24,79% dari total setoran pajak nilainya hanya sebesar Rp 211,09 triliun atau turun 0,8% secara neto per Semester I-2024, padahal pada periode yang sama tahun lalu masih tumbuh 7,3%.
Sementara itu, PPN DN juga terkontraksi 11% secara neto dengan realisasi Rp 193,06 triliun. Porsi setoran PPN DN terhadap total penerimaan mencapai 21,60% atau menjadi yang terbesar di antara jenis pajak lainnya.
Abdul Manap mengatakan, anjloknya setoran berbagai pajak itu yang menjadi pertanda daya beli masyarakat tengah melemah juga disebabkan tekanan inflasi bahan pangan tinggi beberapa bulan terakhir, sebelum munculnya fenomena deflasi selama dua bulan berturut-turut pada Mei-Juni 2024.
Inflasi bahan pangan bergejolak atau volatile food naik sejak Januari 2024 hingga mencapai level tertingginya pada Maret 2024 sebesar 10,33%, sebelum akhirnya turun pada Juni 2024 ke posisi 5,96%. Per Mei saja, level inflasi bahan pangan bergejolak masih sebesar 8,14%, jauh di atas kenaikan rata-rata gaji di Indonesia.
Mengutip catatan Bank Indonesia kenaikan gaji untuk aparatur sipil negara atau ASN pada periode 2019-2024 hanya sebesar 6,5% dengan catatan untuk periode 2020-2023 tak ada kenaikan gaji ASN. Adapun, kenaikan UMR atau gaji pegawai swasta rata-rata hanya 4,9% pada 2020-2024.
"Karena memang inflasi bahan makanan kita sangat tinggi kan ya. Jadi orang ketika bahan makanannya tinggi, orang lebih mengutamakan yang namanya kebutuhan pangan duluan dibandingkan kebutuhan yang lainnya," ucap Abdul Manap.
Dengan berbagai kondisi itu, tak aneh Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) turun selama tiga bulan beruntun, meski masih pada level optimistis atau di atas 100. IKK yang dirilis BI terakhir pada Juni 2024 berada pada level 123,3 masih jauh lebih rendah dari posisi Mei 2024 yang sebesar 125,2, bahkan anjlok dibanding posisi per April 2024 sebesar 127,7
"Jadi pelemahan daya beli itu terlihat di situ, dari data IKK itu," kata Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia (UI) Telisa Aulia Falianty.
Telisa mengatakan, yang lebih buruk lagi, dari data IKK hasil Survei Bank Indonesia per Mei ialah seluruh kelompok pengeluaran masyarakat mengalami penurunan indeks. Diikuti pola anomali, yaitu tabungan para konsumen itu ikut turun, yang menandakan pendapatan mereka tak cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok.
Untuk optimisme konsumen yang turun per pengeluaran, yakni kelompok pengeluaran Rp 1-2 juta turun dari 117,2 pada April 2024 menjadi 114,9 pada Mei 2024, kelompok pengeluaran Rp 2,1-3 juta angka indeksnya turun dari 123,1 menjadi 119,6 juta, kelompok Rp 3,1-4 juta turn dari 130 ke 127,4, kelompok Rp 4,1-5 juta turun dari 132 ke 129,1, dan kelompok di atas Rp 5 juta turun dari 132,8 menjadi hanya 127,8.
Sementara itu, data untuk persentase tabungan terhadap pendapatan mulai terus menurun. Pada April 2024 persentasenya sebesar 16,7%, namun pada Mei 2024 menjadi hanya 16,6%.
Demikian juga untuk data porsi konsumsi terhadap pendapatan yang turun. Pada April 2024 masih sebesar 73,6%, namun pada Mei 2024 menjadi 73%. Di sisi lain, komposisi cicilan pinjaman terhadap pendapatan masyarakat malah naik dari posisi April 2024 9,7% menjadi 10,3%, berdasarkan data dalam IKK BI.
"Sekarang itu baik konsumsi maupun tabungan dua-duanya turun. Artinya itu adalah income-nya turun dan cicilan pinjamannya meningkat," tegas Telisa.
Dalam melihat pelemahan indikator utama itu, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Nathan Kacaribu menganggap, pemicunya lebih disebabkan tekanan kurs rupiah yang masih terus melemah di kisaran atas Rp 16.000/US$.
"Itu kan biasanya kita lihat dari sentimen yang terjadi terhadap kurs. Kurs itu secara tidak langsung pengaruhi confidence bukan hanya pelaku investasi, bisnis, tapi juga termasuk rumah tangga," kata Febrio saat ditemui di Gedung Parlemen, Jakarta, Senin (8/7/2024).
Febrio mengatakan, anjloknya IKK selama tiga bulan beruntun itu memang lebih banyak dipicu oleh kecenderungan kelas menengah yang menahan belanjanya saat nilai tukar rupiah masih tertahan. Oleh sebab itu, bila kurs rupiah kembali menguat ia meyakini angka indeks itu akan kembali naik.
"Kalau belanja kelas menengah kan enggak kecil-kecil, sehingga mereka ada perilaku optimismenya makanya kita senang kurs yang sekarang bisa kita lihat arah perbaikannya ini akan juga perbaiki arah sentimen ke depan untuk khususnya rumah tangga," ucap Febrio.
Pemerintah tak menyiapkan secara khusus kebijakan antisipasi terhadap potensi lanjutan pelemahan IKK itu. Yang jelas, Febrio menekankan, pemerintah hanya akan memastikan stabilitas ekonomi makro Indonesia terjaga untuk mendukung sentimen positif konsumen untuk terus belanja.
"Enggak, kita lihat saja nanti tapi kita tahu sumbernya itu dari gejolak global, kita tahu biasanya memang kalau kita lihat kurs nya bergejolak IKK biasanya itu respons, makanya kita jagain sumber dari ketidakstabilannya itu yang kita kurangi," tutur Febrio.
(haa/haa) Next Article PR Terakhir Jokowi untuk Ekonomi RI: Jaga Daya Beli
