
Respons Tak Terduga Bos Pengusaha Kala Rupiah Kuat di Hadapan Dolar AS

Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - Rupiah melanjutkan penguatan setelah sempat lama bertengger di kisaran Rp16.000-an per Dolar AS. Pada perdagangan hari ini, Jumat (23/8/2024), Rupiah ditutup menguat di tengah wait and see hasil simposium the Fed nanti malam dan mulai meredanya politik dalam negeri setelah DPR membatalkan revisi RUU Pilkada.
Dilansir dari Refinitiv, rupiah ditutup di Rp15.485/US$ pada hari ini, menguat 0,71% dari harga penutupan kemarin, Kamis (22/8/2024). Penguatan ini terjadi setelah Rupiah ditutup melemah pada perdagangan dua hari terakhir.
Namun, meski Rupiah beri sinyal penguatan, pengusaha mengaku masih belum berdampak signifikan, lantaran biaya melakukan bisnis atau cost of doing business di Indonesia saat ini masih tinggi.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo)Â Shinta Widjaja Kamdani, menyebut cost of doing business di Indonesia merupakan yang tertinggi dibandingkan negara-negara di ASEAN lainnya. Adapun biaya tertinggi adalah dari biaya energi, biaya tenaga kerja, dan biaya logistik.
Selain itu, ia menyebut masalah perizinan berusaha di Indonesia yang kerap menyulitkan juga menjadi salah satu faktor tingginya biaya melakukan bisnis.
Shinta tak menampik, masalah perizinan selalu dilakukan perbaikan oleh pemerintah, namun pihaknya menganggap masih ada permasalahan-permasalahan di dalam pelayanan perizinan, maupun dari segi regulasi.
"Ini yang kemudian menambah cost-nya tadi. Jadi kalau dikatakan exchange rate-nya kita ini ada perbaikan, iya. Cuman, kalau hanya dari sisi itu, itu juga kan kita kan sebenarnya menghindari volatilitas ya yang pentingnya. Tapi kalau dibenarkan dari cost of doing business-nya, ini adalah salah satu mungkin fenomena yang paling penting yang harus kita angkat, selain daripada menjaga stabilitas rupiah," kata Shinta saat ditemui di kantor Apindo, Jakarta, Jumat (23/8/2024).
Ia menilai, perizinan sangat berkaitan dengan kemudahan dalam berbisnis atau ease of doing business, dan kemudahan dalam berbisnis sangat berhubungan kepada biaya melakukan bisnis. Kemudian, lanjut dia, hal itu semua sejalan dengan bagaimana pengusaha bisa menarik investasi.
"Ini kan semua berkaitan, karena kita pada akhirnya berkompetisi dengan negara tetangga. Jadi kita nggak cuman Indonesia saja yang mau investor masuk. Kita harus bisa berdaya saing. Oleh karenanya, hal-hal ini sekarang kita kupas dengan lebih spesifik, terutama yang terjadi di daerah, karena kebanyakan kita cover yang nasional," ujarnya.
Lebih lanjut, Shinta mengatakan biaya menjalankan bisnis seperti biaya energi, biaya tenaga kerja, dan biaya logistik tidak mudah untuk langsung turun meski nilai tukar rupiah sudah kembali menguat. Akan tetapi setidaknya, lanjut dia, dengan kemudahan dalam proses perizinan itu bisa membantu mengurangi biaya dan/atau efisiensi dari cost of doing business.
"Tapi paling nggak, menjadi perhatian pemerintah bagaimana kita bisa reduce cost (pengurangan biaya) dan melakukan efficiency (efisiensi). Kalau misalnya ada cost tinggi tapi kemudian perizinan yang membantu, mudah, dan segala macam itu bisa bantu juga. Jadi ini kan kombinasi, gimana caranya kita bisa mengimbangi, cost-cost mana yang bisa diturunkan, tapi juga bagaimana kita bisa mempermudah dari segi perizinan dan juga regulasi yang dikeluarkan yang bisa kondusif," terang dia.
"Makanya kita selalu katakan kondusif untuk iklim usaha. Karena pada target akhirnya itu kan kita mau menarik lebih banyak investasi. Investasi bisa menciptakan lapangan pekerjaan. Itu kan tujuan daripada undang-undang cipta kerja kan untuk menciptakan pekerjaan. Itu kan kuncinya, jadi kita kembali lagi ke perizinan," pungkasnya.
(dce) Next Article Cuti Melahirkan RI 6 Bulan, Tak Disangka Respons Bos Pengusaha Begini
