²©²ÊÍøÕ¾

Internasional

Ramai-Ramai Negara Kaya Beri Warning Krisis, Ada Apa?

sef, ²©²ÊÍøÕ¾
17 March 2025 12:01
[THUMB] Resesi
Foto: Arie Pratama

Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - Tanda bahaya akan munculnya krisis kini muncul di banyak negara. Beberapa negara kaya memberi warning krisis.

Hal ini akibat kebijakan perang dagang, dengan menaikkan tarif barang impor, yang digaungkan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump. Berikut rangkuman ²©²ÊÍøÕ¾, dikutip Senin (17/3/2025).

Jerman

Salah satu negara terkaya di Eropa, Jerman, terancam resesi. Pemberlakuan tarif yang diberlakukan Trump merupakan penyebabnya.

Hal ini dikatakan presiden bank sentral Jerman, Joachim Nagel. Tak tanggung-tanggung resesi itu bakal terjadi tahun ini.

"Sekarang kita berada di dunia dengan tarif, jadi kita mungkin dapat mengharapkan resesi tahun ini, jika tarif benar-benar akan datang," katanya selama wawancara podcast BBC, dikutip ²©²ÊÍøÕ¾ International, akhir pekan.

Jerman sendiri memang tengah berupaya melakukan perombakan kebijakan fiskal. Ekonomi negeri itu kini mandek dengan PDB tahunan kontraksi atau negatif dua kali berturut-turut -0,2 di 2024 dan -0,3% di 2023.

Dampak pandemi COVID-19 yang belum usai ditambah krisis energi karena sanksi barat ke Rusia terkait serangan ke Ukraina menjadi penyebab. Jerman bergantung dengan migas Rusia untuk industri manufaktur dan rumah tangganya.

"Ini bukan kebijakan yang baik," kata Nagel, sambil meratapi "perubahan tektonik" yang kini dihadapi dunia secara luas.

"Saya berharap ada pemahaman dalam pemerintahan Trump bahwa harga yang harus dibayar adalah yang tertinggi di pihak Amerika," tambahnya lagi.

Rabu lalu, Jerman merasakan serangan tarif Trump yang mulai berlaku untuk baja dan aluminiumnya yang diekspor ke AS. Trump menaikkan tarif impor, bea masuk, sebesar 25% untuk semua negara, termasuk sekutunya itu.

Uni Eropa (UE) kemudian membalas tindakan Trump dengan mengenakan serangkaian balasan yang akan mempengaruhi barang-barang AS. Total barang AS senilai US$ 28,26 miliar akan terkena dampak per April nanti.

Perlu diketahui, sebagai eksportir terbesar ketiga di dunia- menurut data tahun 2023- dan menjadikan AS sebagai importir utama barang-barangnya, Jerman sangat rentan terhadap tarif. Ini dapat menggerogoti sektor otomotif dan permesinannya.

Yang lebih parah, ekspor barang dan jasa menyumbang 43,4% dari PDB Jerman merujuk data Bank Dunia.

Ketidakpastian yang disebabkan oleh tarif Trump muncul pada saat negara-negara UE ingin melonggarkan anggaran mereka dan mengakomodasi pengeluaran pertahanan tambahan. Berdasarkan rencana 'ReArm' yang diungkapkan minggu lalu, blok itu ingin membantu Ukraina yang berperang dengan Rusia, karena kekhawatiran di tengah ketidakpastian atas komitmen AS ke negeri tersebut.

Fitch Ratings pada hari Kamis memperingatkan bahwa inisiatif tersebut, yang dapat memobilisasi hampir 800 miliar euro pengeluaran pertahanan, berisiko menurunkan ruang lingkup peringkat AAA UE saat ini. Karena akan ada utang tambahan yang mungkin diambil.

Sebelumnya di kuartal keempat (Q4) 2024 Jerman mencatat PDB -0,2% sementara di Q3 2024, PDB 0,1%. Resesi sendiri diartikan sebagai negatifnya ekonomi dua kuartal atau lebih secara berturut-turut dalam satu tahun.

Merujuk data Trading Economics, ekonomi Jerman pernah tumbuh dengan laju tertinggi di 8,7%. Namun laju pertumbuhan juga pernah hancur, terendah -8,9%.

Kanada

Sekutu AS, Kanada, juga terancam krisis. Ini terlihat dari gerak bank sentral.

Bank of Canada telah memangkas suku bunga kebijakan utamanya sebesar 25 basis poin menjadi 2,75%, Rabu. Kenyataan pahit ini menyikapi dampak perang dagang Trump.

Mengutip Al Jazeera, sikap bank, yang menurut beberapa ekonom dapat menjadi sinyal bahwa suku bunga tidak akan turun lebih jauh, muncul setelah inflasi berbulan-bulan berada pada atau sekitar target 2%.

"Kami fokus pada mempertimbangkan tekanan ke bawah dan tekanan ke atas tersebut. Tugas kami adalah menjaga stabilitas harga, dan itulah yang menjadi fokus kami," Gubernur Tiff Macklem mengatakan pada konferensi pers.

Pemangkasan ini menandai ketujuh kalinya bank sentral Kanada melonggarkan kebijakan moneter. Lembaga pengambil kebijakan moneter itu telah memangkas suku bunga acuan sebanyak 225 basis poin dalam kurun waktu sembilan bulan dan menjadikannya salah satu bank sentral paling agresif di dunia.

"Kami mengakhiri tahun 2024 dengan landasan ekonomi yang kokoh. Namun, kini kami menghadapi krisis baru," katanya.

"Kami melanjutkan dengan hati-hati setiap perubahan lebih lanjut pada suku bunga mengingat perlunya menilai tekanan ke atas pada inflasi dari biaya yang lebih tinggi dan tekanan ke bawah dari permintaan yang lebih lemah," tambahnya.

Perlu diketahui, AS adalah mitra dagang terbesar Kanada dan mengambil hampir 75% dari semua ekspor Kanada. Maka itu, kebijakan tarif Trump yang tidak menentu dan ancaman terhadap berbagai produk Negeri Maple telah membuat perusahaan khawatir, mengguncang kepercayaan konsumen, dan merugikan investasi bisnis.

Trump mengenakan tarif sebesar 25% pada semua produk baja dan aluminium pada hari Rabu. Kanada kemudian mengumumkan tarif tambahan pada hari Rabu atas impor senilai US$20,68 miliar (Rp340 triliun) dari AS, termasuk produk baja dan aluminium serta berbagai barang seperti komputer hingga peralatan olahraga.

Trump bahkan mengancam akan mengenakan tarif yang lebih tinggi sebesar 50% pada Kanada setelah Provinsi Ontario mengenakan biaya tambahan sebesar 25% pada ekspor listrik ke tiga negara bagian AS. Namun, belum ada tindak lanjut yang pasti soal wacana ini.

Bank tersebut menyatakan perang tarif yang berlarut-larut akan menyebabkan pertumbuhan PDB yang buruk dan harga yang tinggi, campuran yang menantang yang membuat sulit untuk memutuskan apakah akan menaikkan atau memotong suku bunga.

"Dewan Pengatur yang menetapkan suku bunga akan fokus pada penilaian waktu dan kekuatan tekanan ke bawah pada inflasi dari ekonomi yang lebih lemah dan tekanan ke atas dari biaya yang lebih tinggi," tambah Macklem.

"Konflik perdagangan akan memperlambat PDB kuartal pertama dan mungkin dapat mengganggu pemulihan di pasar kerja. Ketakutan akan dampak tarif pada harga telah mendorong ekspektasi inflasi jangka pendek."


Halaman 2>>>> Korea hingga AS Resesi

Korea

Sebagian besar perusahaan di Korea Selatan (Korsel) tengah mengantisipasi krisis terburuk di 'Negeri Gingseng" sejak 1997.

Mengutip Business Korea, pesimisme para pelaku usaha tersebut akibat sejumlah faktor termasuk perang dagang Trump.

Inflasi, dan ketidakstabilan politik dalam negeri, juga membuat ketidakpastian internal dan eksternal menyatu. Hal ini membuat berkurangnya investasi perusahaan dan semakin banyak seruan untuk menyegarkan kondisi bisnis melalui reformasi regulasi yang proaktif.

Pada survei Federasi Pengusaha Korea (KEF) 6 Maret, dari 508 perusahaan yang didata Januari, 96,9% lebih mengatakan "krisis ekonomi akan terjadi tahun ini". Di antara responden, 22,8% khawatir bahwa krisis ekonomi tahun ini akan lebih parah daripada krisis valuta asing IMF tahun 1997.

Namun, 74,1% percaya bahwa krisis yang signifikan akan terjadi. Meskipun tidak sebesar tahun 1997.

"Hanya 3,1% yang tidak setuju dengan kekhawatiran akan krisis ekonomi tahun ini," tulis laman itu.

Indeks ketidakpastian kebijakan ekonomi, mencapai level tertingginya dalam lima tahun. Indikator utama sentimen ekonomi itu tercatat berada di 365,14 pada Desember tahun lalu.

Ini menandai peningkatan 3,4 kali lipat dari Desember 2014, dengan puncak sebelumnya sebesar 538,18 terjadi pada Agustus 2019 selama sengketa perdagangan Korea-Jepang. Kenaikan indeks ini menjadi penyebab kekhawatiran, karena kenaikan 10 poin biasanya mengakibatkan penurunan 8,7% dalam investasi sekitar enam bulan kemudian.

Memang, Statistik Korea melaporkan penurunan 14,2% dalam investasi pada Januari dibandingkan dengan Desember tahun lalu. Fakta ini menggarisbawahi dampak nyata dari ketidakpastian yang meningkat.

Sementara itu, Survei KEF juga menyoroti beberapa tantangan yang dihadapi perusahaan. Termasuk beban upah akibat perluasan cakupan upah biasa (38,4%), peraturan keselamatan seperti Undang-Undang Hukuman Kecelakaan Berat (28,3%), dan peraturan jam kerja seperti 52 jam kerja seminggu (22,8%).

Selain itu, 34,5% perusahaan memperkirakan lingkungan peraturan perusahaan akan memburuk tahun ini. Sementara 57,4% meyakini lingkungan tersebut tidak akan berubah, dan hanya 8,1% yang mengantisipasi perbaikan.

Kepala Inisiatif Pertumbuhan Berkelanjutan (SGI) Kamar Dagang dan Industri Korea, Park Yang-soo, menekankan perlunya tindakan legislatif untuk mengurangi tantangan ini. "Kita perlu segera mengesahkan undang-undang seperti Undang-Undang Khusus Semikonduktor untuk menarik investasi jangka panjang yang stabil dari perusahaan," ungkapnya.

Laporan SGI, berjudul "Dampak Ketidakpastian Kebijakan Ekonomi terhadap Investasi dan Implikasinya" menganalisis lebih lanjut situasi tersebut. Di mana laporan memproyeksikan penurunan signifikan dalam investasi pada paruh pertama tahun ini, dengan potensi kontraksi yang berkelanjutan hingga ketidakpastian teratasi.

Amerika Resesi

Peluang resesi juga datang dari AS sendiri. Resesi secara mudah diartikan sebagai penurunan ekonomi dua kuartal atau lebih dalam satu tahun.


Alarm baru perlambatan kini muncul, bahkan peluangnya bisa 50%. Kebijakan perdagangan Presiden Donald Trump akan semakin merusak pertumbuhan ekonomi AS, di mana langkah-langkahnya bisa meningkatkan risiko resesi tahun ini.

"Ada sekitar 40% kemungkinan terjadinya resesi AS pada tahun 2025," kata Kepala ekonom global, JPMorgan, dalam sebuah pernyataan kepada wartawan di Singapura Rabu, dikutip Kamis lalu.

"Ke depan, jika tarif berlaku sepenuhnya... peluang resesi AS bisa mencapai 50%," tambahnya dimuat laman RT.

Sebenarnya di awal tahun, Kasman sempat memperkirakan risiko resesi AS sebesar 30%. Tapi, ia memperingatkan jika "tarif timbal balik" yang diusulkan Trump pada mitra dagang utama mulai berlaku pada bulan April, risikonya dapat meningkat lebih jauh, bahkan merusak daya tarik negara itu sebagai tempat untuk berinvestasi.

"Saat ini kita berada pada kekhawatiran yang meningkat tentang ekonomi AS," tegasnya.

Sebelumnya, JPMorgan saat ini memperkirakan ekonomi AS akan tumbuh sebesar 2% untuk tahun 2025. Namun proyeksi tersebut hanya awal dan belum direvisi.

Sementara itu pekan lalu, Goldman Sachs dan Morgan Stanley telah menurunkan proyeksi pertumbuhan mereka menjadi masing-masing 1,7% dan 1,5% untuk tahun ini. Awal pekan sebelumnya, estimasi model GDPNow dari Atlanta Fed untuk pertumbuhan tahunan pada kuartal saat ini juga dikoreksi menjadi negatif (-) 2,8%, dari positif (+) 2,3%.

Perlu diketahui, langkah-langkah tarif Trump yang luas telah mengguncang pasar saham AS. Pasalnya, investor berjuang untuk menentukan apakah pungutan tersebut bersifat permanen atau taktik negosiasi.

Pada bulan Februari, Trump mengumumkan rencana untuk mengenakan tarif pada mitra dagang utama guna melindungi kepentingan Amerika. Minggu lalu, ia menaikkan tarif untuk semua impor dari Meksiko dan Kanada menjadi 25% dan menggandakan bea masuk untuk semua barang China menjadi 20%, sebelum menunda beberapa kenaikan hingga 2 April.

Trump mengancam akan memberlakukan rezim tarif timbal balik global, dengan memperingatkan bahwa mulai 2 April. Intinya setiap negara akan menghadapi pungutan yang sama seperti yang dikenakan pada barang-barang AS.

Rabu kemarin, tarif 25% untuk impor baja dan aluminium juga mulai berlaku. UE dan Kanada menanggapi dengan tarif timbal balik, hal yang sama juga akan dilakukan China.

Trump sendiri dalam sebuah wawancara di Fox News Minggu, menolak menanggapi kemungkinan resesi, melainkan menyebutnya "masa transisi". Ia berjanji membawa kembali kejayaan AS.

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular