
Ramai-Ramai Negara Kaya Beri Warning Krisis, Ada Apa?
![[DALAM] Resesi](https://awsimages.detik.net.id/visual/2019/08/15/b4ec13f2-42ff-4723-9ffa-66214d3f216a_169.jpeg?w=900&q=80)
Korea
Sebagian besar perusahaan di Korea Selatan (Korsel) tengah mengantisipasi krisis terburuk di 'Negeri Gingseng" sejak 1997.
Mengutip Business Korea, pesimisme para pelaku usaha tersebut akibat sejumlah faktor termasuk perang dagang Trump.
Inflasi, dan ketidakstabilan politik dalam negeri, juga membuat ketidakpastian internal dan eksternal menyatu. Hal ini membuat berkurangnya investasi perusahaan dan semakin banyak seruan untuk menyegarkan kondisi bisnis melalui reformasi regulasi yang proaktif.
Pada survei Federasi Pengusaha Korea (KEF) 6 Maret, dari 508 perusahaan yang didata Januari, 96,9% lebih mengatakan "krisis ekonomi akan terjadi tahun ini". Di antara responden, 22,8% khawatir bahwa krisis ekonomi tahun ini akan lebih parah daripada krisis valuta asing IMF tahun 1997.
Namun, 74,1% percaya bahwa krisis yang signifikan akan terjadi. Meskipun tidak sebesar tahun 1997.
"Hanya 3,1% yang tidak setuju dengan kekhawatiran akan krisis ekonomi tahun ini," tulis laman itu.
Indeks ketidakpastian kebijakan ekonomi, mencapai level tertingginya dalam lima tahun. Indikator utama sentimen ekonomi itu tercatat berada di 365,14 pada Desember tahun lalu.
Ini menandai peningkatan 3,4 kali lipat dari Desember 2014, dengan puncak sebelumnya sebesar 538,18 terjadi pada Agustus 2019 selama sengketa perdagangan Korea-Jepang. Kenaikan indeks ini menjadi penyebab kekhawatiran, karena kenaikan 10 poin biasanya mengakibatkan penurunan 8,7% dalam investasi sekitar enam bulan kemudian.
Memang, Statistik Korea melaporkan penurunan 14,2% dalam investasi pada Januari dibandingkan dengan Desember tahun lalu. Fakta ini menggarisbawahi dampak nyata dari ketidakpastian yang meningkat.
Sementara itu, Survei KEF juga menyoroti beberapa tantangan yang dihadapi perusahaan. Termasuk beban upah akibat perluasan cakupan upah biasa (38,4%), peraturan keselamatan seperti Undang-Undang Hukuman Kecelakaan Berat (28,3%), dan peraturan jam kerja seperti 52 jam kerja seminggu (22,8%).
Selain itu, 34,5% perusahaan memperkirakan lingkungan peraturan perusahaan akan memburuk tahun ini. Sementara 57,4% meyakini lingkungan tersebut tidak akan berubah, dan hanya 8,1% yang mengantisipasi perbaikan.
Kepala Inisiatif Pertumbuhan Berkelanjutan (SGI) Kamar Dagang dan Industri Korea, Park Yang-soo, menekankan perlunya tindakan legislatif untuk mengurangi tantangan ini. "Kita perlu segera mengesahkan undang-undang seperti Undang-Undang Khusus Semikonduktor untuk menarik investasi jangka panjang yang stabil dari perusahaan," ungkapnya.
Laporan SGI, berjudul "Dampak Ketidakpastian Kebijakan Ekonomi terhadap Investasi dan Implikasinya" menganalisis lebih lanjut situasi tersebut. Di mana laporan memproyeksikan penurunan signifikan dalam investasi pada paruh pertama tahun ini, dengan potensi kontraksi yang berkelanjutan hingga ketidakpastian teratasi.
Amerika Resesi
Peluang resesi juga datang dari AS sendiri. Resesi secara mudah diartikan sebagai penurunan ekonomi dua kuartal atau lebih dalam satu tahun.
Alarm baru perlambatan kini muncul, bahkan peluangnya bisa 50%. Kebijakan perdagangan Presiden Donald Trump akan semakin merusak pertumbuhan ekonomi AS, di mana langkah-langkahnya bisa meningkatkan risiko resesi tahun ini.
"Ada sekitar 40% kemungkinan terjadinya resesi AS pada tahun 2025," kata Kepala ekonom global, JPMorgan, dalam sebuah pernyataan kepada wartawan di Singapura Rabu, dikutip Kamis lalu.
"Ke depan, jika tarif berlaku sepenuhnya... peluang resesi AS bisa mencapai 50%," tambahnya dimuat laman RT.
Sebenarnya di awal tahun, Kasman sempat memperkirakan risiko resesi AS sebesar 30%. Tapi, ia memperingatkan jika "tarif timbal balik" yang diusulkan Trump pada mitra dagang utama mulai berlaku pada bulan April, risikonya dapat meningkat lebih jauh, bahkan merusak daya tarik negara itu sebagai tempat untuk berinvestasi.
"Saat ini kita berada pada kekhawatiran yang meningkat tentang ekonomi AS," tegasnya.
Sebelumnya, JPMorgan saat ini memperkirakan ekonomi AS akan tumbuh sebesar 2% untuk tahun 2025. Namun proyeksi tersebut hanya awal dan belum direvisi.
Sementara itu pekan lalu, Goldman Sachs dan Morgan Stanley telah menurunkan proyeksi pertumbuhan mereka menjadi masing-masing 1,7% dan 1,5% untuk tahun ini. Awal pekan sebelumnya, estimasi model GDPNow dari Atlanta Fed untuk pertumbuhan tahunan pada kuartal saat ini juga dikoreksi menjadi negatif (-) 2,8%, dari positif (+) 2,3%.
Perlu diketahui, langkah-langkah tarif Trump yang luas telah mengguncang pasar saham AS. Pasalnya, investor berjuang untuk menentukan apakah pungutan tersebut bersifat permanen atau taktik negosiasi.
Pada bulan Februari, Trump mengumumkan rencana untuk mengenakan tarif pada mitra dagang utama guna melindungi kepentingan Amerika. Minggu lalu, ia menaikkan tarif untuk semua impor dari Meksiko dan Kanada menjadi 25% dan menggandakan bea masuk untuk semua barang China menjadi 20%, sebelum menunda beberapa kenaikan hingga 2 April.
Trump mengancam akan memberlakukan rezim tarif timbal balik global, dengan memperingatkan bahwa mulai 2 April. Intinya setiap negara akan menghadapi pungutan yang sama seperti yang dikenakan pada barang-barang AS.
Rabu kemarin, tarif 25% untuk impor baja dan aluminium juga mulai berlaku. UE dan Kanada menanggapi dengan tarif timbal balik, hal yang sama juga akan dilakukan China.
Trump sendiri dalam sebuah wawancara di Fox News Minggu, menolak menanggapi kemungkinan resesi, melainkan menyebutnya "masa transisi". Ia berjanji membawa kembali kejayaan AS.
(sef/sef)