Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi ²©²ÊÍøÕ¾Indonesia.com
Pada tanggal 20 Oktober 2018, tepat empat tahun Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla menakhodai kapal besar bernama Indonesia. Sejumlah perbaikan mulai terlihat dan hasilnya pun mulai dirasakan, khususnya di sektor ekonomi.
Pembangunan infrastruktur di berbagai wilayah Indonesia menjadi salah satu kebijakan ekonomi pemerintahan Joko Widodo yang paling menonjol dalam empat tahun ini. Berbagai ragam infrastruktur, seperti jalan tol, bandara, pelabuhan, pembangkit listrik, jembatan, waduk dan embung, dan lain sebagainya terus dikebut pengerjaannya sampai tahun 2019.
Sebagian dari infrastruktur itu telah dinikmati faedahnya oleh masyarakat. Dan, harapannya, dalam jangka panjang infrastruktur yang telah dibangun ini akan menjadi pengungkit pertumbuhan ekonomi, pendorong daya saing, dan melepaskan Indonesia dari status negara berpendapatan menengah.
Kehadiran infrastruktur ini juga akan memberi dampak pada pemerataan ekonomi dan untuk menekan ketimpangan. Bagaimana pun, tidak ada manfaatnya perekonomian tumbuh tinggi, jika ketimpangan tetap tinggi. Ketimpangan akan menjadi predator yang akan menggerogoti pertumbuhan ekonomi ini dalam jangka panjang.
Dan harus diakui bahwa dalam empat tahun terakhir tren ketimpangan mengalami penurunan. Rasio gini yang sering dipakai sebagai indikator untuk melihat ketimpangan pada Maret 2018 berada di level 0,398. Posisi ini turun dari Maret 2015 di level 0,408.
Lebih Produktif Keberhasilan pembangunan infrastruktur ini tentu tidak dapat dilepaskan dari reorientasi kebijakan pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). APBN diarahkan menjadi lebih produktif dan memberi nilai tambah jangka panjang terhadap perekonomian. Atas pengelolaan APBN ini, Indonesia telah diganjar peringkat layak investasi oleh berbagai lembaga pemeringkat dunia.
Salah satu reorientasi kebijakan pengelolaan APBN yang cukup berani dilakukan oleh pemerintahan Jokowi ialah dengan memangkas belanja subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM).
Jika pada tahun 2015, alokasi subsidi BBM sempat menembus Rp 276 triliun. Maka pada tahun 2018, alokasi subsidi BBM hanya menjadi Rp 46,8 triliun. Alokasi subsidi BBM digeser dan dialokasikan untuk belanja infrastruktur.
Selain untuk infrastruktur, APBN juga diarahkan untuk mendorong produktivitas masyarakat di perdesaan. Harus diakui bahwa desa masih menjadi kantung kemiskinan dan kebodohan.
Bahkan, masyarakat desa selalu menjadi korban untuk sesuatu yang tidak mereka perbuat dan ketahui. Ketika, inflasi meningkat, maka masyarakat perdesaanlah yang paling terdepan terkena dampaknya. Tingkat kemiskinan kembali naik.
Sehingga untuk dapat memproteksi masyarakat perdesaan dari sesuatu hal yang tidak mereka perbuat, maka masyarakat perdesaan harus didorong menjadi lebih produktif. Bukan hanya pasif.
Salah satu kebijakan pemerintah untuk merealisasikan ini ialah melalui kehadiran dana desa. Pemerintah pun terus terus menaikkan alokasi dana desa tiap tahunnya. Sepanjang tahun 2015-2018, total dana desa yang telah dikucurkan mencapai Rp 180 triliun. Jika dirata-ratakan, sekitar Rp 45 triliun setiap tahunnya. Bahkan pada tahun 2019, alokasi dana desa dinaikkan menjadi Rp 70 triliun.
Kehadiran dana desa ini telah berkontribusi menurunkan jumlah orang miskin di perdesaan. Jika pada September 2014, jumlah orang miskin di perdesaaan mencapai 17,37 juta orang (13,76%). Maka, pada Maret 2018, jumlahnya turun sebesar 1,58 juta orang menjadi 15,81 juta orang (13,2%).
Inflasi RendahSelain kemajuan dalam pengelolaan infrastruktur dan APBN, pemerintah juga mampu menjaga dan mengawal stabilitas makroekomi. Salah satu indikator makroekonomi yang berhasil dijaga ialah inflasi.
Dalam empat tahun terakhir, tingkat inflasi berturut-turut di level 3,35% (2015), 3,02% (2016), 3,61% (2017), 2,88% (Januari-September 2018). Inflasi yang rendah seperti ini sebelumnya cukup jarang terjadi.
Selain itu, pemerintah juga mampu menjaga pertumbuhan ekonomi yang positif rata-rata di level 5% dalam empat tahun terakhir. Meski meleset dari target dan masih jauh dari potensi yang dimilikinya. Namun, capaian ini terbilang cukup baik, khususnya di tengah perekonomian global yang masih diliputi oleh berbagai ketidakpastian.
Tantangan Meskipun berbagai perbaikan dan capain telah diraih dalam empat tahun terakhir. Namun, masih banyak pekerjaan rumah yang masih harus dikejar. Bahkan, tantangannya makin tidak mudah seiring dengan makin banyaknya ketidakpastian eksternal yang mengintai di depan.
Tiga ketidakpastian eskternal yang patut diwaspadai ke depan, karena akan memengaruhi kinerja perekonomian Indonesia ialah:
- perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dengan China;
- lanjutan normalisasi kebijakan moneter di negara-negara maju, khususnya dari AS;
- tren kenaikan harga minyak dunia.
Dalam jangka pendek, tantangan yang harus dihadapi pemerintah ialah menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Harus diakui tingginya ketidakpastian eksternal telah membuat rupiah bergejolak dan melemah sepanjang tahun ini.
Bahkan, rupiah menjadi nilai tukar dengan kinerja terburuk di antara negara di kawasan Asean. Pemerintah dan Bank Indonesia memang telah merespons pelemahan ini dengan berbagai kebijakan. Namun, dampaknya belum mampu memperbaiki pelemahan dan gejolak ini. Rupiah masih cenderung melemah.
Jika pelemahan nilai tukar rupiah ini terus terjadi, maka akan memberikan konsekuensi pada perekonomian, seperti menurunkan tingkat kepercayaan investor asing, mendorong tekanan pada inflasi, dan menaikkan beban pembayaran utang pemerintah.
Oleh sebab itulah, pemerintah bersama dengan Bank Indonesia harus dapat menjaga koordinasi dengan baik. Pemerintah harus dapat melahirkan kebijakan untuk menambah pasokan valas, khususnya untuk merealisasikan konversi Devisa Hasil Ekspor (DHE).
Selain itu, pemerintah juga harus dapat menggenjot kinerja pariwista. Apalagi, Indonesia memiliki daerah-daerah wisata yang sanga memikat bagi wisatawan luar.
Dalam jangka menengah dan panjang, pemerintah harus dapat memperbaiki defisit transaksi berjalan. Untuk itulah, kebijakan untuk mendorong peran sektor industri (manufaktur) harus terus dilakukan untuk mendorong nilai tambah terhadap produk ekspor Indonesia. Ketergantungan terhadap komoditas harus secara bertahap dikurangi. Apalagi, harga komoditas ke depan akan cenderung tertekan imbas perang dagang antara AS dan China.
Untuk itulah, investasi langsung yang masuk harus diarahkan masuk ke sektor industri. Selain dapat mendorong nilai tambah juga akan berdampak untuk menciptakan lapangan kerja dalam jumlah besar.
Tidak seperti saat ini, aliran investasi yang masuk masih didominasi oleh sektor tersier (jasa dan perdagangan). Padahal, sektor ini sangat terbatas dalam menyerap tenaga kerja.
Itulah sebabnya, meski investasi langsung tumbuh dalam tiga tahun terakhir, tetapi penciptaan lapangan kerja justru mengalami penurunan. Dan, ini harus menjadi catatan bagi pemerintah.
Tentu, agar investasi ini masuk ke sektor industri sangat dibutuhkan perbaikan iklim investasi. Harus diakui bahwa Indonesia masih tertinggal dalam menyediakan iklim investasi yang sehat dan baik. Hal ini dapat dilihat dari peringkat kemudahan berusaha Indonesia yang tertinggal dibandingkan dengan Singapura, Malaysia, dan Thailand.
Selain mendorong perbaikan iklim investasi, peningkatan kualitas tenaga kerja juga dibutuhkan. Itulah sebabnya, pada tahun 2019, kebijakan pemerintah diarahkan untuk mendorong kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang terampil melalui kehadiran sekolah vokasi.
Kebijakan ini diharapkan dapat dilakukan secara konsisten dan berkelanjutan. Komunikasi antara lembaga pendidikan dan industri harus dapat ditingkatkan dan dipacu untuk menghilangkan informasi yang tidak simetris.
Selain itu, pemerintah juga harus konsiten untuk mengembangkan sumber energi baru dan terbarukan yang kontribusinya masih sangat rendah terhadap bauran energi nasional. Ketergantungan terhadap energi fosil harus terus dikurangi.
Selain cadangannya yang terus menyusut, tingginya ketergantungan terhadap energi fosil membuat Indonesia harus mengeluarkan devisa yang sangat besar setiap tahunnya untuk mengimpor BBM imbas dari makin besarnya gap antara konsumsi dan produksi.
Tentu, masih banyak tantangan-tantangan di sektor ekonomi yang harus dihadapi oleh pemerintah. Tekanan dari eksternal sangat tinggi dan tantangan di internal juga tidak mudah. Apalagi, tahun depan, Indonesia akan memasuki tahun politik yang tentu membutuhkan energi yang cukup besar.
Itulah sebabnya, kita harus turut memberikan dukungan pada pemerintah. Salah satu dukungan yang sederhana yang bisa kita berikan ialah dengan menyebarkan fakta dan menghindarkan kebohongan (hoax). Harus diakui bahwa era saat ini bisa dikatakan sebagai era kebohongan.
Semoga Jokowi dan Jusuf Kalla dapat tetap menakhodai kapal besar bernama Indonesia di tengah gelombang yang besar dan pada akhirnya dapat selamat sampai labuhan dan melihat sunset yang sangat indah. Kita turut mendoakan.
(hps)