Berharap BIMP-EAGA Memicu Bisnis Kemaritiman, Bisakah?

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi ²©²ÊÍøÕ¾Indonesia.com
Memang sejak Januari 2022, dengan harapan angka kasus Covid-19 menurun di Indonesia, harga tiket pesawat utamanya akan tetap stabil terjangkau. Pemicunya adalah euforia bepergian untuk menggunakan jasa transportasi pesawat, di samping regulasi-regulasi mulai dilonggarkan sejak adanya vaksin booster atau vaksin ketiga.
Namun apa yang terjadi di lapangan ternyata tiket pesawat naik tajam. Pada bulan Juli kemarin, saya dua kali bepergian dengan destinasi Jakarta-Yogya dan seminggu kemudian Jakarta-Surabaya. Itu sekali perjalanan rata-rata naik dua kali lipat.
Kawan saya ke Jambi pada bulan Agustus, tiket pesawat Jakarta-jambi juga naik dua kali lipat. Bisa kita bayangkan bagaimana kalau bepergian ke Papua menggunakan pesawat low cost carrier, sekali jalan yang sebelum naik adalah Rp 3,5 juta, dan saat ini naik menjadi Rp 7 juta.
Itulah yang menimbulkan jeritan suara rakyat kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi). Beliau segera memerintahkan kepada Kementerian Perhubungan dan Kementerian BUMN supaya menambah armada Garuda Indonesia akhir tahun ini menjadi dua kali lipat. Garuda saat ini memiliki 35 pesawat, paling tidak akhir tahun menjadi 75 atau 80 armada pesawat, apakah dipakai Garuda semua atau dibagi dengan maskapai lain, kita belum lihat kelanjutannya bagaimana.
Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi menyatakan dalam 3-4 hari ke depan (pernyataan pada tanggal 26 Agustus 2022) tiket akan turun. Ya turunnya berapa dulu, bisa ratusan ribu rupiah turun sekali jalan atau turun 25-30 ribu rupiah yang tentu penurunannya tidak signifikan.
Kita berharap terlalu banyak kepada Garuda agar menurunkan harga tiket. Seperti kita tahu, Garuda baru saja terbebas dari PKPU dan armadanya belum normal. Kalaupun ditambah menjadi 75 sampai akhir tahun masih jauh dari harapan.
Jadi sebetulnya menurut saya untuk menurunkan harga tiket pesawat secara bertahap, lebih tepat ditujukan kepada Lion Group yang memiliki empat maskapai, yaitu Lion Air, Batik Air, Wings Air, dan Super Air jet. Dalam lima tahun belakangan ini, penguasa marketshare bukan Garuda lagi akan tetapi Lion Group yang menguasai 60%. Sedangkan Garuda mungkin hanya 30%, sisanya baru terbagi ke maskapai lain.
Justru kenyataannya, CEO Lion Air, walaupun mereka sudah menerapkan tarif batas atas plus surcharge 10%, masih meminta kenaikan harga lagi. Jadi memang harapannya berbeda dengan harapan pemerintah. Pemerintah berharap kepada Garuda yang kondisinya masih belum terlalu kuat, dengan jumlah 75 armada dari jumlah ideal armada 150 pesawat, masih separuhnya sendiri.
Berharap kepada Pelita air juga pesawatnya masih 10 armada. Misalnya dilakukan bersama maskapai BUMN lainnya sampai akhir tahun, Garuda, Citilink, Pelita Air, paling berjumlah hanya 85 pesawat. Menghadapi Lion Group tidak banyak berubah walaupun ada beberapa pesawat Lion yang dikembalikan kepada lessor, tapi mereka bisa meyakinkan kepada lessor bahwa pesawat yang kemarin yang ada bermasalah mengenai angsuran bisa dioptimalkan ke anak perusahaan yang baru, yaitu Super Air Jet.
Mengharapkan dari segi armada, belum tentu kondisi geopolitik dan eksternal yang uncontrollable. Industri penyokong maskapai, industri otoritas bandara banyak terlibat di dalamnya seperti biaya ground handling, parking fee, landing fee, sewa gudang, dan biaya navigasi walaupun terpisah dari AirNav. Industri pendukungnya seperti Angkasa Pura I dan II juga dalam dua tahun pandemi Covid-19 mengalami kerugian hingga Rp 1 triliun lebih.
Artinya dengan adanya pemulihan pergerakan penumpang menggunakan jasa penerbangan, maka industri pendukung tidak mau mengalami kerugian dalam artian mereka juga menaikkan sewa-sewanya. Mereka tidak akan mau berkorban hanya untuk maskapai, hanya untuk tiket, mereka juga ada target bujet untuk pencapaian revenue bagi industri pendukung seperti Angkasa Pura I dan II. Sama halnya dengan bengkel pesawat juga akan mengejar target revenue yang baru. Tentu tahun ini bengkel-bengkel itu juga tidak mau berkorban hanya untuk harga tiket.
Saya melihat industri penerbangan ini melibatkan setidaknya empat kementerian, seperti Kementerian Perhubungan, tentu saja Kemenhub yang utama. Kedua, Kementerian BUMN, yang ditugaskan oleh Presiden untuk mencarikan pesawat. Ketiga, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, sebagian penumpang pesawat adalah orang-orang yang melalui jasa paket pariwisata yang dijual paket itu antara lain hotel, tiket pesawat, operator di destinasi, dan sebagainya. Keempat adalah Kementerian Perindustrian, dalam beberapa aspek komponen-komponen seperti suku cadang, mesin, dan sebagainya melibatkan Kementerian Perindustrian juga, termasuk Kementerian Keuangan untuk urusan pajak fiskal dan bea cukai, hingga pajak impor.
Kemudian ada asosiasi atau lembaga seperti misalnya Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, yang mengirim tenaga kerja Indonesia ke luar negeri. Kemudian juga ada beberapa asosiasi yang terlibat, seperti asosiasi umrah. Kemudian juga asosiasi pariwisata, asosiasi tersebut juga membuat paket-paket perjalanan umrah maupun paket tujuan destinasi pariwisata. Mereka sering membuat tekanan kepada maskapai, yang membuat maskapai untuk penjualan paket umrah, paket destinasi pariwisata yang ternyata bisa memengaruhi komponen harga tiket yang memegang sekitar 60-70% di paket umrah maupun paket pariwisata. Makanya asosiasi tersebut sering melakukan komplain dan kritisi, ini bisa merepotkan planning pencapaian revenue maskapai.
Saya rasa keinginan Kementerian Perhubungan untuk menurunkan harga tiket dalam waktu 3-4 hari adalah misi yang impossible, sangat sulit. Mari kita melakukan benchmark kepada PT Kereta Api Indonesia (PT KAI). Logika bisnisnya PT KAI adalah perusahaan yang monopoli seharusnya dia bisa menerapkan tarif harga single price. Tapi PT KAI itu pinta lantaran banyak melakukan diferensiasi kereta api yang berbagai macam jenis. Mulai harga tiket yang murah sampai dengan yang mahal, semua ada. Kebutuhan penumpang sekarang sudah terpuaskan seperti tidak ada penumpang yang berdiri, bersih, sejuk, dan keamanan terjaga. Jadi yang membedakan kereta api ekonomi dengan eksekutif adalah hanya tempat duduknya saja.
Saya rasa maskapai juga harus belajar kepada PT KAI. Walaupun PT KAI melakukan monopoli tetapi menurut saya kepuasan pelanggan itu tercapai. Di maskapai walaupun tiket mahal, masih saya dengar ada delay yang berkepanjangan, yang sebenarnya sudah melanggar Undang-Undang Penerbangan Nomor 1 Tahun 1999 yang dikover oleh Undang-Undang Penerbangan Nomor 1 Tahun 2009 untuk penggantian kompensasi. Delay masih saja terjadi. Padahal hal tersebut adalah fatal. Kereta api itu hampir tidak pernah terlambat lebih dari 30 menit.
Maskapai bisa melakukan efisiensi, perampingan organisasi. Mungkin sekarang delay terjadi karena jumlah pesawat yang terbatas, jadi ada kesulitan untuk melakukan scheduling rotasi pesawat. Tapi delay itu adalah cerita lama yang sampai sekarang tidak ada akhirnya. Solusinya, 12 komponen biaya yang ada di maskapai harus semakin diperhatikan, sebagai contoh vendor-vendor yang banyak di maskapai dan masih banyak lagi yang bisa dibedah.
Semoga kita ke depannya, kalaupun harga tiket mahal di mana itu menjadi kerugian untuk maskapai sendiri, tiket tidak terbeli sehingga penumpang mengerem untuk naik pesawat. Apalagi untuk pulau Jawa. Untuk pulau Jawa itu banyak pilihan moda, transportasi tidak hanya pesawat. Bahkan ada sebagian segmen masyarakat naik kapal laut untuk bepergian ke luar Jawa. Ada lonjakan permintaan seat untuk keluar Jawa dan itu angkanya cukup signifikan. Artinya pengguna pesawat beralih menggunakan kapal laut.
Ini menjadi catatan bagi dunia maskapai, apabila tidak melakukan koreksi harga, maka lama-lama pesawat akan ditinggalkan. Artinya boleh profit tapi ya sebenarnya masih banyak yang bisa diperhatikan kembali komponen biaya dengan lebih ketat. Seharusnya memang semangatnya melakukan koreksi-koreksi agar semuanya survive dan animo masyarakat untuk menggunakan transportasi udara akan tetap terjaga karena kita memiliki penduduk 275 juta orang, negara kepulauan, dan 30 bandara yang memiliki kualitas yang baik.