Peluang dan Tantangan Membangun Ekonomi RI dari Laut ke Darat

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi ²©²ÊÍøÕ¾Indonesia.com
Forum kerja sama serantau Brunei-Indonesia-Malaysia-Philippines East ASEAN Growth Area (BIMP-EAGA) baru saja kelar menghelat pertemuan tahunannya beberapa waktu lalu. Pertemuan tahun ini diadakan di Jakarta dan di-tuan-rumahi oleh PT Pelabuhan Indonesia atau Pelindo.
Fokus pertemuan adalah bidang kepelabuhanan, pelayaran dan transportasi logistik dalam kawasan. Dalam sambutannya di acara tersebut, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi (akrab disapa BKS) mengungkapkan penting bagi pemerintah mendorong para pelaku bisnis, termasuk pemerintah pusat dan daerah, untuk berperan serta dalam menghidupkan peluang bisnis dalam layanan feri dalam rute wilayah BIMP-EAGA maupun rute konektivitas lainnya yang akan bermanfaat bagi wilayah kita.
Terkait hal tersebut, lanjut BKS, maka dikembangkanlah Makassar New Port yang termasuk dalam wilayah BIMP-EAGA. Tujuannya untuk membuat konektivitas maritim di kawasan tersebut menjadi lebih baik.
Dia menekankan pentingnya kolaborasi empat negara melalui kemitraan strategis dan kolaborasi antara sektor swasta, ditambah dengan kontribusi dari instansi pemerintah terkait, sehingga keandalan layanan logistik dalam wilayah BIMP-EAGA dapat ditingkatkan agar menjadi kekuatan untuk mendorong perekonomian yang lebih berkelanjutan dan atraktif dalam wilayah tersebut.
Wilayah cakupan BIMP-EAGA menawarkan banyak kesempatan untuk perdagangan, investasi dan pariwisata. Untuk mewujudkan kesempatan ini terdapat kebutuhan untuk mengatasi tantangan yang ada, termasuk kurangnya infrastruktur dan harmonisasi kebijakan dan regulasi.
Dengan dukungan dan investasi yang benar, wilayah BIMP-EAGA memiliki potensi untuk menjadi area ekonomi yang berkembang dan dinamis di Asia Tenggara. Demikian Akbar Djohan selaku Kepala Badan Logistik dan Rantai Pasok Kadin Indonesia.
Direktur Utama Pelindo Arif Suhartono mengatakan, setelah merger, korporasi yang dipimpinnya fokus pada transformasi bisnis dan layanan operasional untuk memberikan manfaat lebih besar pada komunitas logistik dan pelaku bisnis. Pelindo, katanya, terbuka dalam berkolaborasi dengan pihak manapun dan mengeksplorasi kesempatan baru untuk bersama-sama membawa manfaat bagi pengguna jasa dan masyarakat.
Pertemuan tahunan kali ini menghadirkan 35 pembicara selama tiga hari. Mereka terdiri dari kalangan pelaku bisnis transportasi dan logistik dunia yang menganalisa isu global terkini terkait transportasi dan logistik.
Panitia mengeklaim, lebih dari 350 orang eksekutif yang berasal dari perusahaan pelayaran, pengiriman barang, pemilik kargo, bongkar muat, logistik, investor, pemerhati ekonomi, konsultan, kepelabuhanan, peralatan pelabuhan serta penyedia jasa TI hadir dalam kegiatan ini.
Dari pernyataan-pernyataan di atas, ada harapan besar terhadap eksistensi BIMP-EAGA dari pihak Indonesia. Wajar saja karena kita menjadi tuan rumah pertemuan.
Di samping itu, sebagai negara "heavyweight" di kawasan ASEAN Timur, bahkan se-Asia Tenggara, jelas kita berkepentingan agar sektor kepelabuhanan, pelayaran dan transportasi logistik nasional berkembang, salah satunya, melalui forum tersebut. Pertanyaannya kini, apakah kita bisa berharap kepada forum itu?
Kita, paling tidak penulis, patut mempertanyakan hal itu karena berkaca dari berbagai forum sejenis yang ada di kawasan ASEAN sepertinya lebih bersifat seremonial semata. Adapun hasil konkretnya masih "jauh panggang dari api".
Malah, program atau proyek yang sempat jalan saja terpaksa berhenti pada akhirnya. Saya merujuk kepada program konektivitas yang menghubungkan Indonesia timur dengan daerah selatan Filipina dan Brunei Darussalam yang diresmikan oleh Presiden Jokowi pada 2017.
Ini (konektivitas) adalah bagian kerja sama ekonomi antarkedua negara, mengingat perdagangan Indonesia dan Filipina, di tengah kelesuan dunia, justru meningkat tajam hingga mencapai 32%, kata Jokowi kala itu. Menurut media, rute baru itu bisa menghemat lebih dari 70% biaya, dari 2.200 dolar AS (untuk rute Manila ke Manado lewat Jakarta) untuk setiap pengiriman 20 kontainer berukuran standar, menjadi 700 dolar AS untuk rute baru. Kini, tidak jelas bagaimana nasib rute ini.
Kata media lagi, rute itu dinilai gagal total. Semenjak berlayar perdana 30 April 2017 dari Davao ke Bitung pulang pergi, setelahnya belum ada pelayaran lagi sama sekali. Hal itu lantaran masih banyaknya regulasi perdagangan yang sangat ketat dan membuat pelaku usaha kewalahan. Padahal para pengusaha sangat antusias memanfaatkan rute pelayaran tersebut.
Sepertinya tidak ada keseriusan dari seluruh pihak, baik pemda maupun pusat untuk mengurai sejumlah persoalan yang masih menghambat. Misalnya, terkait status Balai Karantina di Pelabuhan Bitung yang masih kelas tiga, sehingga belum bisa memproses keperluan ekspor.
Dengan status seperti itu, pengurusan perizinan harus ke Jakarta. Sementara, penyelesaian proses perizinan yang harus terpusat ini memakan waktu yang lama.
Selain itu, untuk impor, pengurusan perizinan berkaitan dengan SNI dan BPOM juga masih harus ke Jakarta. Belum lagi ditambah beberapa barang-barang yang masih terjangkau aturan Lartas (larangan-pembatasan).
Melalui pertemuan tahunan BIMP-EAGA 2023 yang telah usai niat untuk mengembangkan konektivitas maritim serantau kembali dibunyikan. Sebuah harapan yang luhur tentunya.
Mengingat persoalan yang melilit konektivitas sekawasan yang sudah dicoba sebelumnya dan berakhir tak jelas, sepertinya harapan ini bakal melewati lorong panjang yang lumayan gelap. Seperti judul karangan ini di atas, "Berharap BIMP-EAGA Dapat Memicu Bisnis Kemaritiman, Bisakah?" Jawabannya: entahlah...