Tawaran Kapal Selam S26 Made in China dan Dinamika Geopolitik Global

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi ²©²ÊÍøÕ¾Indonesia.com
Kepala Staf TNI Angkatan Laut yang baru, Muhammad Ali, mengatakan kondisi di Laut Natuna Utara tidak dalam kondisi rawan. Dia menjelaskan kondisi yang terjadi di wilayah yang dulu disebutnya Laut China Selatan. Situasi Laut Natuna Utara, khususnya yang berada di ZEEI kita ini, tidak terlalu rawan seperti yang dibayangkan atau diberitakan. Situasi panas terjadi di Kepulauan Spratly yang berada di perbatasan negara China, Filipina, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Sedangkan di Laut Natuna Utara kendalanya adalah masalah penangkapan ikan ilegal oleh pihak asing, demikian katanya sebagaimana dilaporkan media beberapa waktu lalu.
Sekadar catatan. Laut Natuna Utara merupakan penamaan baru yang disematkan pada 2017 bagi perairan yang berlokasi di bagian utara Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau, yang merupakan ZEE Indonesia. Ia berbatasan dengan sisi selatan ZEE Vietnam, dalam hal ini Cape Ca Mau yang berada di ujung selatan Delta Mekong. Laut Natuna Utara merupakan bagian Laut China Selatan, tepatnya di bagian paling selatannya. Upaya mengalungkan nama 'Natuna' untuk perairan yang menjadi porsi Indonesia sudah dilakukan sebelumnya pada 1986 yang diusulkan ke dalam Limits of Oceans and Seas keluaran International Hydrographic Organization (IHO). Sayangnya usulan ini tidak disetujui. Kabarnya nama Laut Natuna Utara yang saat ini kita pergunakan hanya berlaku untuk kalangan dalam negeri. Dunia internasional tidak mengenalnya; mereka tahunya perairan itu Laut China Selatan.
Ali mengatakan sebagian besar penangkap kapal ikan ilegal tersebut berasal dari negara yang berbatasan dengan Indonesia. Namun, berkat diplomasi yang terus dilaksanakan, akhirnya TNI AL dengan negara tetangga tersebut mengadakan pertemuan dan berhasil mencapai kesepakatan dalam penanganan permasalahan penangkapan ikan ilegal tersebut. TNI AL juga telah memberikan tindakan tegas terhadap kapal-kapal ikan ilegal asing yang memasuki batas landas kontinen dengan melaksanakan penangkapan terhadap kapal-kapal tersebut. Selanjutnya, kapal-kapal tersebut dibawa ke Pangkalan Angkatan Laut (Lanal) seperti Natuna atau Ranai untuk diperiksa.
KSAL juga menyampaikan jumlah kehadiran kapal-kapal asing ilegal yang melakukan penangkapan ikan di wilayah Indonesia selama beberapa waktu belakangan ini turun dengan drastis. Menurutnya, kondisi itu juga terjadi karena hadirnya Kapal Perang Republik Indonesia (KRI) dan pesawat udara TNI AL yang selalu melaksanakan patroli di wilayah perairan Natuna Utara.
Di tengah persepsi/anggapan yang diyakini publik sejak beberapa waktu belakangan bahwa situasi di Laut China Selatan rawan (baca: mencekam) apa yang disampaikan KSAL Muhammad Ali jelas menyejukkan. Namun perlu diingat pula, anggapan yang terbangun tadi diawali oleh pernyataan pemerintah, baik dari otoritas militer-paramiliter dan sipil. Sehingga, bila kini orang nomor satu di TNI AL itu mengatakan semua baik-baik saja, rasanya gimana gitu. Terkesan, paling tidak bagi penulis, narasi-narasi yang dibangun selama ini sepertinya hanya untuk bargaining dalam mendapatkan sesuatu dari negara, apapun itu. Kita tinggalkan poin ini karena ia amat subyektif dari saya.
Kita masuk ke pertanyaan yang lebih terkait dengan kondisi obyektif yang ada, yaitu bagaimana sebaiknya memaknai pernyataan KSAL Muhammad Ali di muka mengacu kepada situasi lingkungan internal TNI AL?
Untuk menjawabnya mari kita dalami strategi pertahanan Indonesia yang berlaku saat ini. Berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 8 Tahun 2021 tentang Kebijakan Umum Pertahanan Negara, atau disingkat dengan akronim Jakkumhanneg, strategi pertahanan negara menganut konsep pertahanan pulau-pulau besar. Dalam strategi ini matra darat (TNI AD) menjadi tulang punggung pertahanan sementara TNI AL dan TNI AU berperan sebagai pendukung. Strategi ini berakar dari strategi perang gerilya yang diterapkan saat perjuangan kemerdekaan pada tahun 1940-an. Selain keterlibatan angkatan perang nasional, strategi ini juga melibatkan peran serta masyarakat dalam upaya pertahanan. Hal ini dikenal dengan sistem pertahanan rakyat semesta alias sishanta.
Dalam strategi pertahanan pulau-pulau besar, semua ancaman/serangan yang ditujukan kepada Indonesia akan dilawan atau dihadapi manakala sudah sampai di daratan. Ironisnya, serangan ini sepertinya sengaja "dibiarkan" masuk. Saat musuh ini sudah masuk, mereka lalu akan diperangi oleh TNI AD dibantu oleh masyarakat melalui serangan-serangan sporadis (taktik gerilya). TNI AL dan TNI AU mendukung perang gerilya ini dengan bantuan tembakan kapal dan pendaratan mariner dan serangan udara. Karenanya, kekuatan matra darat Indonesia menjadi jauh lebih besar dibanding dua matra yang lain dengan model pertahanan ini. Strategi pertahanan pulau-pulau besar tidak mengenal pertempuran melawan musuh jauh sebelum mereka masuk ke wilayah Indonesia.
Sebetulnya sudah ada wacana untuk mengubah strategi pertahanan pulau-pulau besar dengan konsep baru dan sesuai dengan karakter Indonesia sebagai negara kepulauan. Gagasan ini berkembang di lingkungan TNI AL sejak beberapa tahun yang lalu. Hanya saja tidak berkembang dengan sempurna dan menjadi ide yang dapat dibahas dalam forum yang lebih luas di luar TNI AL. Sehingga, pada gilirannya ia dapat diangkat ke permukaan sebagai ganti strategi pertahanan pulau-pulau besar. Sayangnya, tidak ada penjelasan yang tersusun rapi terkait seperti apa sesungguhnya strategi pertahanan negara kepulauan itu. Yang jelas, dengan konsep ini peran TNI AL, dan tentu saja TNI AU, akan lebih maksimal dibanding dalam strategi pertahanan pulau-pulau besar.
Musuh akan dihadapi/dihancurkan jauh sebelum mereka mencapai bibir pantai pulau-pulau di Indonesia. Itu artinya, TNI AL Bersama TNI AU diposisikan di ujung depan pertahanan (forward defense) di lokasi- lokasi rawan atau center of gravity pertahanan. Dalam kaitan ini, Natuna merupakan salah satu di antaranya. Untuk bisa menjalankan peran ini, tentu saja kekuatan tempur TNI AL dan TNI AU akan disesuaikan dengan lebih banyak kapal frigat, destroyer, kapal selam. Tidak tertutup kemungkinan membangun kapal induk. Sementara itu, TNI AU akan dilengkapi dengan pesawat-pesawat tempur jarak jauh. Tentu saja TNI AD tidak lantas ditinggalkan dengan strategi ini karena ia mensyaratkan adanya jointness antar-matra. Bila skenario bisa diwujudkan, barulah Indonesia ditakuti oleh musuh-musuhnya.
Dikaitkan dengan KSAL baru, jelas keberadaannya tidak akan banyak merubah tatanan pertahanan yang ada. Dengan usianya yang 57 tahun, Laksamana TNI Muhammad Ali praktis hanya akan memimpin TNI AL maksimal selama dua tahun ke depan. Tidak ada perubahan signifikan yang bisa dijalankan dalam waktu dua tahun. Dia hanya hanya akan menjalan kepemimpinan seperti biasanya (business as usual). Dalam kalimat lain, tidak akan ada perubahan yang mendasar di Laut China Selatan. Tetapi, tetap ada secercah harapan terhadap KSAL baru. Beliau terbilang smart, kaya akan ilmu dan pengalaman khususnya pertahanan negara kepulauan atau pertahanan maritim. Entahlah...