²©²ÊÍøÕ¾

KSAL, Kodamar, dan Sejarah Panjang Pembangunan Maritim RI

Adityo Nugroho, ²©²ÊÍøÕ¾
24 February 2023 15:20
Adityo Nugroho
Adityo Nugroho
Pernah bekerja sebagai reporter di Jurnal Maritim, Maritimnews dan Majalah Samudra, Adityo Nugroho kini aktif di The National Maritime Institute (Namarin) sebagai peneliti. Ia juga terlibat di lembaga kajian maritim dan kebangsaan, antara lain, Indonesia I.. Selengkapnya
KSAL Muhammad Ali (Twitter/IKAHAN)
Foto: KSAL Muhammad Ali (Twitter/IKAHAN)

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi ²©²ÊÍøÕ¾Indonesia.com

Istilah Komando Daerah Maritim (Kodamar) kembali mengemuka ke publik. Wacana pembangunan Kodamar itu disampaikan oleh Kepala Staf Angkatan Laut Laksamana TNI Muhammad Ali usai menggelar Rapat Pimpinan TNI AL Tahun 2023 di Jakarta, beberapa waktu lalu. Pembangunan Kodamar yang dimaksud terkait peningkatan status Pangkalan Utama TNI AL (Lantamal) sebagai basis pertahanan pantai.



Istilah yang 'melegenda' itu tentu menyemai harapan dari seluruh rakyat Indonesia terkait visi luhur Poros Maritim Dunia. Visi yang dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada tahun 2014 itu, menempatkan pertahanan maritim sebagai salah satu pilarnya. Boleh jadi, wacana Kodamar ini menjadi pengembangan dari pilar tersebut yang diejawantahkan dalam Kebijakan Kelautan Indonesia Jilid I dan II. Begitu juga dengan tinjauan reorganisasi TNI dan doktrin pertahanan yang mengikuti dinamika kawasan dan global.

Kasal sendiri telah menegaskan bahwa Lantamal yang dapat berubah statusnya menjadi Kodamar harus memiliki sarana dan prasarana memadai. Misalnya pada aspek 5R (Rebase, Replenishment, Repair, Rest, dan Recreation). Dengan begitu, kelak akan ada pembangunan infrastruktur di Lantamal-Lantamal tipe A yang diproyeksikan menjadi Kodamar.

Kita semua boleh berbangga bahwa pimpinan TNI saat ini yang kebetulan dari matra laut memiliki 'tanggap-waskita' terhadap dinamika yang berkembang. Ke depan, kondisi kawasan kian tidak pasti, perang simetris antar negara bisa terjadi kapan pun - 'unpredictable'. Kendati bisa dibilang terlambat, namun masih jauh lebih baik ketimbang tidak sama sekali.

Para pemikir di TNI AL sudah lama mendambakan pengembangan pangkalan yang mumpuni. Hal itu berangkat dari pemikiran Sir Julian Corbett (1911) mengenai perlunya sea control dan tiga fungsi armada dalam memenangkan peperangan laut antara lain untuk mendukung diplomasi maritim, mendukung operasi laut, dan mempertahankan perdagangan.

Pemikiran itu kemudian dikembangkan lagi oleh Sir Herbert Richmond (1931) menjadi penguatan armada tempur dan niaga sebagai elemen kekuatan maritim. Pemikiran ini terus menjadi diskursus dalam kajian-kajian strategi dan kemaritiman sekarang. Banyak yang berharap ketika selang dua atau tiga tahun visi Poros Maritim dikumandangkan oleh Presiden Jokowi, wacana Kodamar sudah seharusnya bergaung.

Tapi memang apa mau 'dikata', berjalannya visi itu tak semulus dengan apa yang dijanjikan pada masa kampanye terdahulu. Banyak faktor, baik internal dan eksternal yang dinilai menjadi hambatan dari implementasi pembangunan maritim.

Yang pasti, kini saatnya kita menyongsong wacana Kodamar yang terus menggelinding ke meja Menteri Pertahanan. Dan tentunya bisa juga melibatkan banyak instansi dan lintas sektoral dalam proses 'penggodokannya'.

Sejarah dan Filosofi

Istilah Kodamar tentu menjadi nostalgia bagi kedigdayaan angkatan laut di era Presiden pertama RI, Bung Karno. Beberapa dokumen menyebut, istilah ini muncul pasca Konferensi Meja Bundar tahun 1949, di mana seluruh matra berbenah untuk melakukan reorganisasi. Di awal 1950-an telah berdiri beberapa Kodamar di antaranya di Medan, Jakarta, Surabaya dan Makassar. Jumlahnya terus bertambah seiring berjalannya waktu.

Jika dilihat secara pengertian, istilah 'daerah maritim' memiliki jangkauan yang lebih luas, tidak 'an sich' hanya bicara urusan angkatan laut - pertahanan laut. Seperti apa yang disebutkan oleh Sir Herbert Richmond, bahwa kekuatan maritim juga memiliki elemen armada niaga di dalamnya.

Komando Daerah Maritim tentu memiliki cakupan lebih luas dibandingkan dengan Komando Daerah Militer (Kodam) - istilah teritorial milik TNI AD. Sebab, kosakata 'maritim' memiliki arti luas berdasarkan KBBI, yang didefinisikan sebagai 'berkenaan dengan laut atau yang berhubungan dengan pelayaran dan perdagangan di laut'.

Merujuk pada arti tersebut, justru kata kunci 'maritim' ada pada pelayaran dan perdagangan. Bukan pertahanan militer yang menjadi domain dari angkatan laut. Bukan ingin melakukan segregasi, dikotomi atau bahkan meng-kotak-kotakan, secara arti memang demikian adanya. Namun sejarah angkatan laut Indonesia atau negara-negara lain telah memperlihatkan bahwa para perwiranya memiliki keistimewaan dalam membangun kemaritiman untuk konteks yang lebih luas.

Di Indonesia, Bung Karno memang telah menempatkan para perwira angkatan laut memiliki kesan sebagai 'leading sector' pembangunan maritim. Apakah itu menjadi trend dari negara yang terlahir dalam kecamuk Perang Dunia II - sedikit condong ke fasisme militer? Entahlah. Yang pasti AL Indonesia dibentuk oleh para kaum bahariwan - bumiputera yang sudah mengenyam pendidikan pelaut di sekolah-sekolah kepelautan milik penjajah (Belanda dan Jepang), sisanya para masyarakat pesisir (nelayan) dan masyarakat umum yang secara sukarela bergabung ke BKR Laut.

Di masa itu, kita mengenal nama-nama besar seperti Mas Pardi, M. Nazir, Adam, RE Martadinata hingga Ali Sadikin. Mas Pardi yang dikenal sebagai bapak pendiri BKR Laut di kemudian hari menjadi pengajar di sekolah pelayaran dan ikut menginisiasi berdirinya Akademi Ilmu Pelayaran (AIP - sekarang STIP). Kemudian M. Nazir dan Ali Sadikin pernah menjadi Menteri Pelayaran/Perhubungan Laut. RE Martadinata sewaktu menjadi orang nomor satu di matra laut juga pernah mengisi ceramah di acara wisuda lulusan pertama AIP.

Deklarasi bersejarah yang dikeluarkan oleh Perdana Menteri Djuanda Kertawidjaja pada 13 Desember 1957 pun dirumuskan di balik layar oleh para pentolan ALRI (sebutan TNI AL dahulu). Besar kemungkinan think tank gagasan negara maritim Bung Karno merupakan tokoh-tokoh angkatan laut yang sudah menjelma ke berbagai instansi.

Sebegitu 'mesra'-nya para stakeholder maritim kala itu. Nuansa yang penuh sinergitas dan gotong royong sebagaimana ditekankan oleh Sang Pemimpin Besar Revolusi, begitu kental di masa itu.

Dalam tahapan taktis pernah terbukti betapa kuatnya sinergitas para elemen-elemen itu kala menghadapi Belanda dalam Operasi Trikora merebut Irian Barat. Beberapa kapal Pelni dengan cepat disulap menjadi kapal tempur yang mengangkut logistik ke medan tempur. Begitu pula pelabuhan niaga yang dengan cepat pula dialih-fungsikan menjadi pangkalan tempur.

Entah di era tersebut apakah sudah ada SOP (standard operational procedure-red) yang memadai atau hanya mengandalkan insting - 'awareness' semata atas nama kepentingan nasional? Tentu peran Kodamar begitu efektif dan efisien dalam menghadapi situasi krisis di masa itu. Hampir tak ada ego-egoan sektoral antar instansi. Semuanya merasa sebagai 'anak kandung' revolusi dan bergerak atas nama revolusi Indonesia.

Besar harapannya, Kodamar yang kelak akan dibangun dan diformulasikan dapat mendekati implementasinya seperti masa dahulu. Di sinilah tantangan para petinggi TNI AL dalam meng-orkestrasi para stakeholder maritim dalam kawasan Kodamar tersebut. Jangan juga jumawa - 'ojo dumeh' manakala telah disematkan sebagai 'leading sector'pembangunan maritim sejak dulu. Perlu bukti pernyataan mantan Kasal yang menyebut "TNI AL sebagai tulang punggung Poros Maritim Dunia".

Begitu juga untuk stakeholder maritim di luar TNI AL, tidak perlu ada military-phobia. Semuanya bisa seirama dan senapas di bawah kepemimpinan maritim yang baik atas nama cita-cita nasional yang tertera dalam Pembukaan UUD 1945. Semoga Kodamar bisa menjadi pelopor pengelolaan potensi maritim sebagai 'security belt' dan 'prosperity belt' dalam sejarah panjang pembangunan maritim bangsa.


(miq/miq)

Tags

Related Opinion
Recommendation