Ketahanan Pangan Indonesia & Iran: Tantangan & Peluang

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi ²©²ÊÍøÕ¾Indonesia.com
Sebelum bertolak kembali ke negaranya, Presiden Republik Islam Iran Ebrahim Raisi, menyempatkan diri bertemu dengan pebisnis Indonesia yang tergabung ke dalam Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN). Pertemuan dengan para pengusaha ini - begitu pula dengan elemen bangsa lainnya - layak diapresiasi karena bisa memicu peningkatan hubungan perdagangan, kebudayaan lainnya di antara kedua negara.
Seperti dilaporkan oleh media, sejauh ini nilai perdagangan nonmigas Indonesia-Iran pada periode Januari-Maret 2023 tercatat US$ 47,9 juta. Sedangkan pada 2022, total perdagangan Indonesia-Iran mencapai US$ 257,2 juta. Nilai ini terdiri atas perdagangan migas senilai US$ 2,5 juta dan nonmigas senilai US$ 254,7 juta (Tempo.co/24/5).
Ada hal yang cukup menarik yang terungkap dari pertemuan yang dihelat di sebuah hotel di seputaran Tugu Selamat Datang itu. Penulis kebetulan hadir sebagai peserta yang diundang melalui jalur Kedutaan Besar Iran dan karenanya langsung mendengarkannya.
Disampaikan oleh salah seorang perwakilan pengusaha Indonesia, ia terkait dengan bidang kemaritiman dalam hal ini pelayaran. Menurut sang pengusaha, pengiriman barang (ekspor) Indonesia ke Negeri Mullah tersebut terkendala pelarangan terhadap kapal yang akan masuk ke pelabuhan-pelabuhan di sana.
Fakta ini menarik untuk dikomentari. Ada beberapa catatan yang bisa dikemukakan terhadap apa yang diungkap oleh pebisnis tadi. Catatan ini penulis anggap perlu diketahui khalayak agar isunya dapat dipahami dengan utuh.
Pelarangan kapal masuk ke pelabuhan di Iran sesungguhnya tidak ada, apalagi terhadap kapal-kapal Indonesia. Bukan apa-apa. Soalnya jarang ada kapal Indonesia yang berlayar ke sana.
Ini bukan kata saya, melainkan kata seorang kolega yang berbisnis sebagai agen kapal (shipping agent). Diungkapkannya, perdagangan Indonesia-Iran selama ini berjalan tidak langsung.
Maksudnya, barang/komoditas yang diangkut menggunakan transporter pihak ketiga dan muatan yang ada selanjutnya dibongkar di pelabuhan pihak ketiga pula yang ada di kawasan serantau. Dari sana kemudian baru dikirim ke tujuan akhir di Indonesia. Situasi ini dikenal dalam dunia pelayaran dengan istilah transshipment dan Indonesia banyak melakukan ekspor-impornya melalui cara ini.
Menariknya lagi, masih kata teman itu, untuk kebutuhan BBM Indonesia ternyata tidak membeli dari Iran padahal negeri ini merupakan pemain utama dalam bisnis minyak dunia. Indonesia membeli minyak justru dari negara lain termasuk Rusia.
Kondisi ini ia ketahui karena perusahaannya beberapa kali pernah menawarkan tanker-tanker Iran yang diageni kepada perusahaan minyak nasional Pertamina untuk dipakai dalam importasi BBM jika mereka membeli dari sana. Tapi tak kunjung dapat respons.
Kembali kepada persoalan pelarangan kapal ke Iran. Jika pun hal ini terjadi, kebijakan ini pastinya tidak diambil oleh pemerintah negara tersebut. Beberapa waktu lalu Iran memang ada menahan tanker Advantage Sweet yang tengah bernavigasi di Teluk Oman dari Kuwait dalam perjalanannya menuju Houston, AS. Kapal ini ditahan karena ia telah bertubrukan dengan sebuah perahu Iran.
Di samping itu, penahanan juga merupakan tindakan balasan terhadap langkah AS yang menyita kargo minyak Iran sebelumnya. Jadi ini merupakan langkah politis ketimbang murni bisnis.
Pelarangan kapal ke Iran sebetulnya dilakukan oleh perusahaan asuransi serta klub protection and indemnity (P&I). Kelompok ini mengeluarkan kebijakan dimaksud karena merupakan bagian dari upaya yang dimotori oleh AS dan Uni Eropa untuk mengembargo minyak Iran, Venezuela dan belakangan Rusia.
Operator kapal yang asuransi dan P&I-nya dipegang oleh kelompok di atas, seluruhnya perusahaan AS atau Uni Eropa/Inggris, jelas harus mengikuti arahan agar tidak berlabuh di pelabuhan-pelabuhan Iran bila tidak hendak uang pertanggungan asuransinya hangus. Dan, ini juga harus dibaca bahwa mereka tidak boleh mengangkut komoditas asal Iran, dalam hal ini minyak, baik mentah maupun sudah hasil olahannya.
Dari sudut praktik bisnis perasuransian dan P&I, larangan ini boleh dibilang janggal. Dalam kedua sektor usaha ini, apapun jenis potensi ancaman ada paket yang sudah disiapkan untuk para pemilik kapal atau operatornya. Paket ini dikenal dengan istilah war zone.
Seberapa pun besar ancaman terhadap kapal - dalam ini perang - owner maupun operator tetap dapat melayari pelabuhan di wilayah yang sedang diamuk peperangan. Seandainya kapal terkena hantaman rudal para pihak yang sedang berkonflik kerugiannya akan ditanggung asuransi/P&I.
Pihak penanggung paling banter hanya mengeluarkan peringatan alias notice, tidak melarang. Namun dalam kasus Iran, mereka mengeluarkan larangan memasuki perairan negara tersebut berikut ancaman akan men-default-kan uang pertanggungan bagi pemilik serta operator kapal.
Jadi, rasanya lebih tepat jika keluhan adanya pelarangan terhadap kapal Indonesia memasuki perairan Iran dialamatkan kepada perusahaan asuransi atau P&I di AS, Eropa dan Inggris. Sekaligus protes keras terhadap kebijakan itu. Bukan dialamatkan kepada Presiden Iran. Entahlah.