Ada Apa dengan Kenaikan Uang Kuliah Tunggal Perguruan Tinggi?

Memasuki tahun akademik baru, kewajiban finansial orang tua terhadap anak pun bertambah. Salah satunya berkaitan dengan biaya pendidikan yang menjadi beban bagi orang tua khususnya di jenjang pendidikan tinggi.
Biaya kuliah atau yang sekarang disebut Uang Kuliah Tunggal (UKT) menjadi perbincangan khususnya pada perguruan tinggi favorit. Kenaikan UKT dianggap memberatkan, bahkan muncul ancaman pengunduran diri oleh sebagian calon mahasiswa.
Keberadaan uang kuliah dalam mendukung pembiayaan sebuah perguruan tinggi merupakan jejak panjang yang sudah ada sejak puluhan tahun yang lalu. Berbeda apabila dibandingkan dengan pendidikan dasar dan menengah yang menjadi sebuah kewajiban negara, pendidikan tinggi bukan merupakan sebuah keharusan.
Oleh karena itu peran serta masyarakat dalam bentuk kontribusi uang kuliah menjadi bagian dalam operasional sehari-hari sebuah kampus.
Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah, mengapa muncul tudingan adanya kenaikan drastis UKT setiap tahunnya? Keberadaan uang kuliah merupakan sebuah diskusi yang menarik.
Namun untuk menyikapi hal tersebut seyogianya fokus pembicaraan tidak hanya berkaitan dengan besaran biaya yang harus dibayarkan, namun melibatkan faktor lain yang harus diulas.
Beberapa faktor yang layak dikaitkan dalam pembahasan adalah sejarah, status kelembagaan, serta pemanfaatan sumber daya PTN dalam mendukung kegiatannya. Ketiga faktor tambahan tersebut akan memberikan gambaran secara utuh atas tata kelola PTN hingga bermuara pada besaran UKT yang dipungut dari mahasiswa.
Apabila berbicara mengenai sejarah pengelolaan PTN, maka waktu pun perlu diputar ke era tahun 1990-an saat terbersit ide mengenai tata kelola ideal pada PTN.
Dunia kampus memiliki keunikan tersendiri dibandingkan dengan institusi pemerintah lainnya. Salah satu yang menjadi ciri kekhasan dalam kaitannya dengan pengelolaan pendapatan dan belanja yang diterima oleh sebuah PTN.
Kampus memiliki penerimaan dari berbagai sumber mulai dari pemerintah (APBN), masyarakat, hasil pemanfaatan sumber daya, termasuk di dalamnya penerimaan hibah baik dari dalam dan luar negeri. Dari sisi belanja, PTN dituntut untuk mampu memberikan layanan secara efisien dan efektif terhadap para mahasiswa.
Sehingga diperlukan proses yang ringkas dan cepat dari mulai uang masuk hingga uang keluar dalam operasional sehari-hari sebuah PTN.
Keunikan inilah yang belum terakomodasi dalam regulasi di bidang keuangan negara kala itu. Harus diakui bahwa proses pengelolaan keuangan negara saat itu cukup kaku serta tidak terdapat ruang sedikitpun untuk adanya fleksibilitas.
Semua institusi pemerintah dianggap setara dan memiliki kewajiban serta aturan yang sama dalam menggunakan keuangan negara, tak terkecuali pada PTN.
Institusi pemerintah secara umum dapat dibedakan menjadi dua kelompok utama, yaitu penyedia barang publik murni dan penyedia barang semi publik. Bagi institusi penyedia barang publik murni sebagaimana kantor-kantor layanan pada umumnya, persamaan perlakuan dan ketentuan dalam keuangan negara bukan menjadi sebuah permasalahan.
Namun bagaimana dengan institusi penyedia barang semi publik seperti rumah sakit atau perguruan tinggi? Di sinilah awal mula permasalahannya.
Dalam mengelola pendapatan yang dimiliki, baik perguruan tinggi maupun rumah sakit diminta untuk tunduk pada regulasi keuangan negara secara umum. Semua pendapatan harus disetor ke kas negara terlebih dahulu sebelum kemudian dibelanjakan. Proses tersebut dianggap rumit dan tidak fleksibel sehingga menjadikan banyak pengelola rumah sakit maupun perguruan tinggi yang bermasalah dari sisi administratif pengelolaan keuangan negara.
Atas rumitnya proses pengelolaan keuangan bagi institusi penyedia barang semi publik, tercetus sebuah ide untuk membentuk sebuah kelembagaan yang mampu mengakomodasi "kekurangan" aturan-aturan yang ada.
Pada lingkup pendidikan tinggi, terbitnya PP 60 tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi disusul dengan terbitnya PP 61 tahun 1999 tentang Penetapan Perguruan Tinggi Negeri sebagai Badan Hukum merupakan terobosan atas permasalahan yang terjadi. Pemerintah pun kemudian memilah PTN yang dimiliki.
Bagi yang dianggap sudah mandiri, diberikan ruang untuk berubah menjadi PTN berbadan hukum dengan status kekayaan negara dipisahkan. Alasan yang mendasari terbitnya regulasi tersebut tak lain disebabkan "Sebagai suatu unit di dalam Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Perguruan Tinggi Negeri secara hukum tidak dapat memiliki otonomi." Dan rujukan yang digunakan dalam penciptaan status badan hukum bagi PTN adalah Pasal 1653 KUH Perdata.
Rujukan pendirian badan hukum melalui KUH Perdata merupakan hal paling logis saat itu yang bisa ditempuh. Mengingat waktu itu pada institusi pemerintahan hanya dikenal 2 jenis kelembagaan, institusi pemerintah murni atau kekayaan negara dipisahkan. Belum dikenal kelembagaan ketiga yang merupakan gabungan antara pemerintah dan badan hukum/badan usaha.
Apa dampak pemberlakuan PP 61 tahun 1999 bagi sebuah PTN? Perubahan status kelembagaan memberikan keleluasaan bagi PTN khususnya dalam pengelolaan keuangan namun diiringi dengan konsekuensi serius berupa hilangnya status kepegawaian para PNS yang ada di dalam PTN berbadan hukum.
Terobosan lain yang dilakukan dalam menyiasati kekakuan regulasi di bidang pengelolaan keuangan negara ditempuh dengan pengundangan PP 6 tahun 2000 tentang perusahaan jawatan (Perjan). Perjan secara tata kelola lebih menguntungkan dibandingkan dengan menjadi badan hukum.
Dikarenakan dalam tata kelolanya terdapat fleksibilitas namun tetap mempertahankan status kepegawaian sebagai PNS. Hanya saja penggunaan kata "perusahaan" menjadi kurang sesuai apabila disematkan kepada institusi penyedia barang semi publik, walaupun pencarian keuntungan bukan menjadi motif utama pendirian perjan.
Dengan terbitnya PP 6 tahun 2000, bagi institusi rumah sakit pemerintah yang dianggap sudah mandiri dapat beralih status kelembagaan menjadi perjan.
Proses pencarian bentuk kelembagaan campuran tidak berhenti sampai langkah tersebut, terbitnya UU 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU 19 tahun 2003 tentang BUMN ternyata mengeliminasi keberadaan perjan. Artinya kelembagaan campuran antara pemerintah dan badan hukum/badan usaha tidak lagi memiliki payung hukum pendiriannya.
Atas adanya kekosongan tersebut, bentuk kelembagaan baru pun kemudian diperkenalkan pada tahun 2004 melalui UU 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
Badan Layanan Umum atau BLU merupakan "rebranding" dari perjan dengan berbagai penyesuaian dalam tata kelolanya. PP 23 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan BLU menjadi tonggak pembentukan kelembagaan BLU dan sekaligus menetapkan alih status 13 rumah sakit eks perjan menjadi BLU.
Bagaimana dengan institusi pendidikan? Konsepsi PTN BH tetap digulirkan pasca terbitnya PP 61 tahun 1999. Pengaturan mengenai PTN BH pun muncul dalam beberapa undang-undang hingga terakhir diatur dalam UU nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.
Ketika kelembagaan BLU ditawarkan sebagai pengganti PTN BH, isu otonomi menjadikan kelembagaan PTN BH lebih diminati oleh sebagian pengelola perguruan tinggi dibandingkan dengan kelembagaan BLU. Sebagian akademisi menginginkan kemandirian berupa otonomi di bidang akademik maupun non akademik sebagaimana yang berlaku pada kelembagaan PTN BH.
Apabila pada kelembagaan BLU masih terdapat kewenangan institusi lain dalam menentukan arah kebijakan PTN, maka pada PTN BH kewenangan mutlak ada di dalam institusi. Praktis tidak terdapat intervensi dari luar selain para pihak yang berada di dalam internal PTN BH.
Beranjak dari sejarah dan kelembagaan, topik selanjutnya berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya yang dimiliki oleh PTN. Sumber daya yang dimiliki oleh PTN terdiri atas aset dan manusia (berupa keahlian/kepakaran).
Ditilik dari aset yang dimiliki, hampir seluruh PTN memiliki aset yang sangat besar dalam mendukung kegiatannya. Luasnya tanah ataupun gedung perkuliahan yang dimiliki merupakan sebuah berkah namun menjadi masalah juga di saat bersamaan.
Menjadi berkah ketika aset tersebut dapat diberdayakan sesuai dengan ide awal untuk memberdayakan sumber daya yang dimiliki dalam membantu operasional perguruan tinggi. Sayangnya proses pemberdayaan aset yang dimiliki tidak semudah yang dibayangkan. Faktor lokasi, konsumen, pesaing, serta kesibukan dari pengelola PTN menyebabkan proses pemberdayaan aset belum dapat digali sepenuhnya.
Beruntunglah bagi PTN di Pulau Jawa khususnya yang berada di kota-kota besar, faktor lokasi maupun jumlah konsumen mempermudah usaha PTN menggali pendapatan dari pemberdayaan aset yang dimiliki. Dari sisi pemberdayaan SDM melalui pola kerja sama dengan pihak luar pun, PTN di Pulau Jawa tetap mendapatkan keberuntungan. Berkumpulnya banyak perusahaan maupun kantor pusat pemerintahan membuat tawaran kerja sama membludak.
Berbeda halnya dengan PTN yang berada di luar Jawa terutama di daerah yang jauh dari keramaian, usaha memberdayakan aset maupun SDM merupakan tantangan yang luar biasa. Alih-alih mendapatkan tambahan pendapatan dari aset, mendapatkan pengguna/penyewa aset atau mitra kerja sama saja sudah merupakan hal yang menggembirakan.
Bagi PTN di "pinggiran" besarnya aset dimiliki terkadang malah menjadi permasalahan baru dikarenakan keharusan untuk mengalokasikan belanja demi menjaga dan memelihara aset-aset tersebut.
Setelah membahas beberapa faktor mulai dari sejarah hingga pengelolaan sumberdaya, selanjutnya berkaitan dengan cara menentukan besaran UKT. Penentuan UKT merupakan hasil dari simulasi rencana penerimaan dan pengeluaran yang tercantum dalam Rencana Kerja dan Anggaran Tahunan (RKAT) pada PTN.
RKAT terdiri atas 2 sisi, yaitu sisi penerimaan dan sisi pengeluaran. Sisi penerimaan terdiri atas penerimaan dana dari pemerintah (APBN), penerimaan dari akademik/pendidikan, dan penerimaan lain-lain. Penerimaan lain-lain dapat berupa hibah dan donasi, pemanfaatan aset, kerja sama, dan unit penunjang. Sedangkan sisi pengeluaran terdiri atas belanja pegawai, barang/jasa, pemeliharaan, perjalanan, serta belanja modal.
UKT merupakan penerimaan PTN yang berasal dari akademik/pendidikan. Besarannya akan diketahui ketika sumber penerimaan dari pemerintah (APBN) dan penerimaan lain-lain tidak mencukupi untuk membiayai seluruh pengeluaran yang tercantum dalam RKAT.
Dalam hal pengeluaran bertambah sedangkan penerimaan dari pemerintah dan penerimaan lain-lain tetap, maka penerimaan dari akademik akan dinaikkan agar RKAT menjadi imbang. Sebaliknya ketika pengeluaran berkurang namun penerimaan dari pemerintah maupun penerimaan lain lain tetap atau bahkan meningkat, maka UKT akan cenderung tetap besarannya. Surplus yang diterima akan menjadi saldo atau menjadi dana abadi PTN.
Kunci naik atau turunnya UKT terletak pada pengelolaan pengeluaran. Pada PTN berstatus PNBP dan BLU, review atas pengeluaran melibatkan pihak di luar PTN misalnya dari Kemendikbud Ristek dan Kementerian Keuangan. Pelibatan pihak luar tersebut memungkinkan adanya pencoretan belanja-belanja yang dianggap belum mendesak dilakukan. Dampaknya tentu saja tren kenaikan pengeluaran PTN dapat dikendalikan.
Namun pelibatan pihak luar tersebut justru dianggap dapat mengurangi otonomi pada PTN bersangkutan. Sebaliknya, PTN berbadan hukum memiliki kewenangan penuh atas rencana pengeluaran yang disusunnya. Tentu saja kewenangan mutlak tersebut akan berkorelasi dengan fluktuasi besaran UKT yang dibebankan kepada mahasiswa.
Apabila merujuk pada sejarah, maka ide kemandirian bagi PTN berkaitan dengan bagaimana memberikan kewenangan bagi PTN untuk mengelola dan memberdayakan aset untuk menunjang kegiatannya. Tentu saja hal tersebut menjadi janggal apabila ternyata setelah sekian waktu berlalu sumber utama operasional pada PTN tetap bertumpu dari kontribusi mahasiswa.
(miq/miq)