²©²ÊÍøÕ¾

KPPU & Penerapan Aturan Khusus Perjanjian Pembatasan Vertikal Otomotif

Dian Parluhutan, ²©²ÊÍøÕ¾
07 October 2024 10:50
Dian Parluhutan
Dian Parluhutan
Dian Parluhutan adalah dosen pengampu mata kuliah Hukum Persaingan Usaha dan Hukum Kepailitan Universitas Pelita Harapan (UPH)... Selengkapnya
Avanza & Xpander Minggir! Ini Mobil Terlaris Semester-1 2022
Foto: Ilustrasi mobil. (Aristya Rahadian/²©²ÊÍøÕ¾)

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi ²©²ÊÍøÕ¾Indonesia.com

Secara struktur, pasar industri otomotif di Indonesia merupakan pasar oligopoli, di mana para produsen (manufacturer) didominasi oleh perusahaan Jepang, kemudian disusul oleh China dan Eropa (Jerman).

Produk otomotif dari Jepang didistribusikan secara predominan oleh ATPM (Agen Tunggal Pemegang Merk) yang memiliki koneksi tertentu dengan produsen Jepang. Sementara produsen dari Cina (RRC) memfokuskan pada mobil listrik, sementara produsen dari Eropa (Jerman) menitikberatkan pada kendaraan mewah dan CBU (Completely Built Up).

Pasar oligopoli merujuk kepada suatu struktur pasar di mana "kekuatan pasar" (market power) hanya dimiliki oleh sejumlah pelaku usaha saja (biasanya empat sampai lima pelaku usaha). Istilah "kekuatan pasar" (market power) merupakan kemampuan langsung dan tidak langsung pelaku usaha untuk menaikkan harga produk barang atau jasa di atas harga rata-rata di pasar dan/atau mengekang persaingan efektif di faktor non-harga di pasar bersangkutan (OECD).

Dalam pasar oligopoli, sejumlah pelaku usaha yang berdiri sendiri-sendiri, dapat bertindak sebagai "entitas kolektif" untuk melakukan sejumlah tindakan komersial secara serempak, seperti menaikkan harga produk di atas harga rata-rata pasar ataupun membatasi volume pasokan dan kuantitas penjualan suatu produk di pasar.

Kebijakan atau tindakan komersial tersebut dapat terjadi, salah satunya, karena adanya "transparansi informasional" di antara para pelaku usaha yang menjual produk serupa. Dalam pasar oligopoli, para pelaku usaha juga menggunakan sejumlah praktik fasilitatif (facilitating practices) untuk meningkatkan intensitas dan kecepatan pertukaran informasi untuk mempercepat transparansi informasional melalui asosiasi pelaku usaha atau standardisasi teknis produk.

Dalam praktik Hukum Persaingan Usaha di Uni Eropa (UE), oligopoli berkorelasi sangat erat dengan, atau bahkan, berevolusi menjadi "dominasi kolektif" di pasar bersangkutan. Dalam kasus compagnie maritime belge transports, Mahkamah Agung Uni Eropa (ECJ) menegaskan "posisi dominasi kolektif" adalah suatu kedudukan secara ekonomi, di mana beberapa pelaku usaha, memanifestasikan dirinya di pasar tertentu sebagai entitas kolektif. Berbeda dengan oligopoli, dalam dominasi kolektif ini "transparansi informasional" minim terjadi.

Dalam pasar oligopoli, para pelaku usaha akan berupaya untuk melakukan serangkaian perjanjian dengan pelaku usaha lain di pasar yang bersangkutan, salah satunya, karena didorong oleh berlakunya "dilema tahanan" (prisoners dilemma) atau sering disebut sebagai "teori permainan" (game theory). Perjanjian-perjanjian tersebut dapat berupa "perjanjian horisontal" maupun "perjanjian vertikal".

Walaupun definisi "perjanjian vertikal" tidak diatur secara eksplisit dalam UU Antimonopoli Nomor 5/1999, namun penafsiran sistematis terhadap UU dan regulasi Antimonopoli, khususnya terhadap Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (Peraturan KPPU), dapat disimpulkan bahwa "perjanjian vertikal" merujuk kepada perjanjian yang bertujuan melakukan penguasaan pasar, integrasi rantai produksi, serta memperkuat persaingan "intra-brand" dan "inter-brand" untuk produk tertentu, yang dilakukan beberapa pelaku usaha yang berdiri sendiri, yang berada pada tahapan produksi/operasi dan atau distribusi yang berbeda namun saling terkait.

Sementara Regulasi Kompetisi Uni Eropa tentang Pengecualian Perjanjian Vertikal menegaskan "perjanjian vertikal" merupakan perjanjian atau tindakan secara terkoordinasi (concerted practices) yang dilakukan antara dua atau lebih dari dua pelaku usaha, yang masing-masing [...] bergerak pada tingkatan yang berbeda dalam rantai produksi atau distribusi.

Di mana perjanjian itu mengatur syarat-syarat spesifik di mana dan bagaimana perusahaan-perusahaan yang terkait dapat atau diperbolehkan membeli barang atau jasa, serta menjual atau menjual kembali barang atau jasa; [...]"

Perjanjian dengan Pembatasan Vertikal dalam Industri Otomotif
Perjanjian vertikal, dalam praktiknya, dapat bertujuan atau berdampak menjadi "perjanjian tertutup" (exclusive agreement). Dalam situasi tersebut pelaku usaha berada di level yang lebih tinggi menjadikan perjanjian sebagai sarana utama untuk dapat melakukan pengendalian secara efektif terhadap pelaku usaha lainnya.

Baik secara vertikal (vertical restraints), baik melalui pengendalian atas faktor harga maupun faktor non-harga, seperti larangan untuk menjual produk serupa dari pemasok atau produsen yang berbeda serta pembatasan wilayah pemasaran (rayonisasi). Menurut Pedoman KPPU, strategi perjanjian tertutup (exclusive agreement) tersebut pada umumnya lebih banyak dilakukan pada level distribusi produk barang dan/atau jasa tertentu.

Permasalahan persaingan usaha yang kerap muncul dari perjanjian tertutup tersebut adalah terhambatnya atau terdapatnya eliminasi gradual baik terhadap persaingan "intra-brand" maupun terhadap persaingan "inter-brand" di pasar relevan.

Sebagai contoh, dalam persaingan "intra-brand", produsen (manufacturer) atau pelaku usaha yang lebih tinggi levelnya, membatasi akses penjualan distributor atau pengecer (retailer). Lebih lanjut, dalam persaingan "inter-brand", pelaku usaha superior atau produsen untuk suatu jenis atau kategori produk menciptakan pembatasan persaingan efektif secara tidak rasional terhadap produk serupa dari pesaingnya di pasar yang sama.

Dalam praktiknya, melalui perjanjian vertikal yang bersifat tertutup tersebut (exclusive agreement), pelaku usaha yang berada di level lebih tinggi dapat secara negatif memanfaatkan hubungan "kontraktual asimetris" tersebut untuk menghambat atau menghilangkan secara gradual persaingan efektif untuk suatu produk atau pasar tertentu.

Sebagai akibatnya, pelaku usaha yang tidak termasuk dalam jaringan distribusi melalui perjanjian tertutup (exclusive agreement) tersebut, akan mengalami kesulitan yang substansial untuk mengakses pasokan dan pasar, baik di tingkat lebih tinggi (upward) maupun di tingkat lebih rendah (downward).

Dalam situasi ini, pelaku usaha yang lebih tinggi kedudukannya dapat mematok harga produk yang lebih tinggi dari harga persaingan di pasar (competitive price) untuk memaksimalkan keuntungan secara melawan hukum. Di sisi lain, pelaku usaha di tingkat lebih rendah, seperti distributor ataupun dealer, mengalami pengekangan atau penghilangan ruang kebebasan secara signifikan untuk mengambil keputusan bisnis secara wajar (reasonable) di pasar yang bersangkutan.

Melalui situasi kontraktual tersebut, pelaku usaha yang lebih tinggi tingkatannya, mendapat fasilitas khusus untuk mencapai posisi dominan di pasar yang bersangkutan, yang tentu saja dapat dimanfaatkan untuk menyalahgunakan posisi dominan tersebut, seperti antara lain, menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan tujuan untuk menghalangi atau mengurangi kebebasan konsumen atau pembeli produk untuk memperoleh produk barang dan/atau jasa yang saling bersaing, baik dalam aspek harga maupun kualitas produk (sales market) atau bahkan layanan jasa purna jual (after-sales market), yang melanggar Pasal 25 paragraf 1 UU Antimonopoli No.5/1999.

Pedoman Pasal 25 UU Nomor 5/1999, menjelaskan bahwa "kepemilikan posisi dominan di pasar relevan", dapat mendorong pelaku usaha untuk melakukan tindakan persaingan tidak sehat berupa penolakan atau penghalangan terhadap pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan, yang dilarang oleh Pasal 19 UU Antimonopoli Nomor 5/1999.

Namun demikian, dalam praktik Hukum Persaingan Usaha di Uni Eropa, perjanjian vertikal, yang mengandung pembatasan vertikal (vertical restraints) tersebut dapat juga memiliki dampak yang netral atau positif terhadap persaingan efektif di pasar bersangkutan. Dalam kaca mata Hukum Persaingan Usaha UE, perjanjian vertikal berfungsi sebagai instrumen kerja sama untuk mencapai keuntungan berdasarkan asas mutualisme.

Dengan kondisionalitas bahwa, pelaku usaha yang terlibat dalam perjanjian vertikal, masing-masing tidak memiliki "kekuatan pasar" yang signifikan (seperti pangsa pasar masing-masing tidak melebihi 25 per sen), maka tindakan mereka masing-masing akan mendorong efisiensi dan keuntungan lebih di pasar bersangkutan.

Sebagai contoh, klausul penetapan atau rekomendasi harga jual kembali atau harga jual tertinggi (Resale Price Maintenance) dari suatu produk oleh produsen kepada dealer atau distributor, dapat berdampak positif terhadap kompetisi, yakni menjamin orisinalitas produk yang dijual kepada konsumen serta menjaga stabilitas persaingan intra-brand di antara para dealer atau distributor.

Berbeda halnya kalau pelaku usaha, seperti produsen atau ATPM menetapkan syarat "single branding" terhadap distributor atau dealer suatu produk di pasar bersangkutan. Sebagai contoh dalam sektor otomotif, melalui perjanjian dengan ketentuan ini, pelaku usaha yang berada di level di bawahnya, diwajibkan atau didorong untuk mengkonsentrasikan pembelian atas suatu produk hanya dari satu pemasok atau merk tertentu.

Istilah diwajibkan artinya pembeli langsung, seperti dealer tidak boleh untuk menjual atau menjual kembali produk serupa dari kompetitor (pesaing) di pasar bersangkutan. Dalam penilaian Hukum Persaingan Usaha UE, perjanjian "single branding" tersebut dapat berdampak negatif, antara lain, sebagai berikut: hilangnya atau minimnya kompetisi inter-brand di pasar, memfasilitasi terjadinya kesepakatan kolusif di antara para pemasok (produsen) yang mengoperasikan perjanjian pengekangan serupa, serta penutupan, akses dan ruang gerak, di pasar bersangkutan terhadap pesaing, terutama pelaku usaha baru ("new player in the block") di pasar bersangkutan.

Regulasi Khusus dan "Structure Rule of Reason" di Industri Otomotif
Dalam praktik Hukum Kompetisi di Uni Eropa (Article 101 hingga 107 TFEU) maupun di Amerika Serikat (US Sherman Act), Undang Undang Persaingan Usaha harus menerapkan prinsip proporsionalitas (proportionality principle) untuk menyeimbangkan kepentingan komersial semua pelaku usaha, termasuk konsumen, serta asas akurasi demi untuk mencegah terjadinya kesalahan fatal yang dapat dilakukan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha, yakni Kesalahan tipe 1 (false negative) dan Kesalahan tipe 2 (false positive).

Oleh karenanya, "KPPU" di Uni Eropa (DG IV Competition) sudah sejak satu dasawarsa terakhir menerapkan pendekatan yang disebut sebagai "structured rule of reason" dalam menilai suatu perjanjian vertikal yang mengandung pengekangan vertikal (vertical restraints) di pasar yang bersangkutan.

Sebagai contoh, di sektor otomotif, KPPU Uni Eropa akan melakukan assessment atau penilaian secara kasuistis apakah suatu perjanjian vertikal yang mengandung pengekangan kompetisi terhadap pelaku usaha di bawahnya, seperti dealer, memenuhi sejumlah persyaratan, yang harus dipenuhi secara kumulatif, sebagai berikut:

Pertama, apakah ada penyempurnaan dalam produksi atau distribusi barang atau promosi terhadap kemajuan teknologi atau efisiensi dari perjanjian tersebut? Efisiensi dalam konteks ini bukan hanya mencakup efisiensi biaya saja, tetapi juga bentuk-bentuk efisiensi kualitatif lain, seperti peningkatan riset dan pengembangan (R&D) produk yang lebih baik kualitasnya.

Kedua, apakah larangan-larangan atau pembatasan-pembatasan dalam perjanjian vertikal tersebut sangat mutlak diperlukan untuk mencapai tujuan utama kerja sama komersial di antara pelaku usaha vertikal?

Sebagai contoh larangan untuk menjual produk serupa dari pesaing atau merk lain dengan alasan perlindungan paten atau Hak Kekayaan Intelektual, apakah benar-benar secara mutlak harus dilakukan melalui perjanjian "single branding"?

Ketiga, apakah konsumen (customer) akan menerima bagian yang pantas (proportional proportion) dari keuntungan yang hendak dikejar oleh perjanjian vertikal dengan pembatasan tersebut?

Penyempurnaan Kewenangan KPPU dalam Industri Otomotif
Untuk melakukan pemeriksaan atau penilaian dengan pendekatan tersebut dalam perjanjian vertikal, tentu saja KPPU harus diberikan dan diperbaiki kewenangannya dalam penegakan UU Nomor 5/1999, bukan hanya kewenangan penindakan hukum (Ex post) tetapi juga kewenangan yang bersifat preventif (Ex ante).

Dalam pendirian Hukum Kompetisi Jerman dan Uni Eropa, yang menjadi inspirasi dari UU Antimonopoli Indonesia, KPPU Jerman (Bundeskartellamt) dan DG Competition, diberikan kewenangan maksimal untuk melakukan pengawasan dan konsultasi dengan pelaku usaha, sebelum pelaku usaha atau kelompok bisnis melakukan suatu perjanjian (vertikal dan horisontal) serta hendak melakukan kegiatan komersial atau transaksi korporasi tertentu, seperti merger, akuisisi dan konsolidasi.

Kewenangan ini memberikan keuntungan bagi KPPU dan pelaku usaha untuk mencegah terjadinya pelanggaran persaingan usaha secara a priori demi menghindar dari risiko kerugian lebih jauh. Kekurangan dari pendekatan Ex ante tersebut adalah KPPU tidak bisa menilai dengan akurat dampak dari transaksi antara pelaku usaha tersebut di pasar secara sesungguhnya, melainkan hanya berupa perkiraan atau prognosis.

Oleh karenanya, KPPU harus didorong untuk menjalan kewenangan Ex ante tersebut, seperti melakukan penyelidikan awal terhadap kluster-kluster industri atau bisnis tertentu yang dianggap rentan terhadap perjanjian kolusif dan praktik penyalahgunaan posisi dominan, seperti di sektor otomotif.

Sikap ini perlu segera diterapkan oleh Pemerintah Indonesia, khususnya KPPU, untuk menjaga reputasi dan stabilitas industri otomotif, melalui persaingan usaha yang efektif, sebagai salah satu sektor ekonomi yang vital, baik bagi para pelaku usaha otomotif, konsumen, pihak terkait seperti para pekerja (karyawan dan buruh) serta Pemerintah sendiri.


(miq/miq)

Tags

Related Opinion
Recommendation