²©²ÊÍøÕ¾

Sectoral Insight

Perbankan Indonesia Lebih Kuat dari SVB Dkk, Ini Buktinya!

Robertus Andrianto, ²©²ÊÍøÕ¾
17 March 2023 13:22
Gedung BRI.
Foto: Dok: BRI
  • Perbankan Indonesia masih solid urusan likuiditas sehingga dampak yang terjadi atas kebangkrutan SVB dan bank lainnya untuk saat ini mampu diantisipasi karena memiliki risiko kecil
  • Risiko saat ini adalah penurunan persepsi investor terhadap harga saham akibat ketakutan akan terulang krisis 2008. Akan tetapi dengan tingkat likuiditas yang mumpuni rasa-rasanya bank Indonesia lebih tangguh pada saat ini
  • Ada perbedaan kekuatan likuiditas antara bank Indonesia dengan SVB yang bangkrut, di mana SVB tidak masuk kategori bank yang harus mematuhi tingkat LCR dan MSFR sehingga rentan kolaps

Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - Perbankan Indonesia masih kuat saat ini meskipun bank di Amerika Serikat dan Eropa sedang kalut karena likuiditas.

Bank-bank besar Indonesia saat ini masih sehat dan solid tercermin dari rasio cakupan likuiditas yang melimpah atau liquidity coverage ratio (LCR) dan kewajiban pemenuhan rasio pendanaan stabil bersih/Net Stable Funding Ratio (NSFR) yang mencukupi. Terutama untuk bank KBMI empat atau big banks.

Rasio tersebut pada dasarnya adalah stress test generik yang bertujuan untuk mengantisipasi guncangan pasar dan memastikan bahwa lembaga keuangan memiliki perlindungan modal yang sesuai, untuk mengatasi setiap gangguan likuiditas jangka pendek, yang mungkin mengganggu pasar.

PT Bank Central Asia Tbk memiliki LCR sebesar 393,5% pada 2022. Jumlah tersebut turun sedikit dari 2021 yakni sebesar 396,3%. Sementara itu NSFR BCA sebesar 180,7% pada 2022.

Emiten dengan kode saham BBCA tersebut menjadi bank dengan LCR terbesar di antara bank KBMI 4 lainnya.

Setelah BCA, terdapat PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk yang memiliki LCR sebesar 219% dan NSFR sebesar 164,1%. Ini membuat BNI menjadi bank KBMI 4 dengan LCR dan NSFR terbesar kedua.

Adapun PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk memiliki LCR terbesar ketiga di antara empat bank besar, yakni 199,72% pada 2022 dan NSFR 142,24%. Setelahnya ada PT Bank Mandiri (Persero) TBK dengan LCR sebesar 186,8% dan NSFR sebesar 186,8%.

Berdasarkan peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 42/POJK.03/2015 tentang Kewajiban Pemenuhan Rasio Kecukupan Likuiditas Bagi Bank Umum pada pasal 2 ayat 1 disebutkan bahwa Bank wajib memelihara kecukupan likuiditas yang memadai.

Lebih lanjut dijelaskan pada ayat 4 dijelaskan LCR yang memadai adalah paling rendah 100% secara berkelanjutan. Ini berarti bank besar dalam KBMI 4 sudah memenuhi syarat likuiditas yang memadai dengan LCR di atas 100%.

Selain itu pada POJK No. 50 /POJK.03/2017 tentang Kewajiban Pemenuhan Rasio Pendanaan Stabil Bersih/ Net Stable Funding Ratio (NSFR) disebutkan bahwa bank wajib memelihara pendanaan stabil yang memadai ditetapkan paling rendah 100%. Ketentuan tersebut pun sudah dipenuhi oleh empat bank besar.

Artinya kondisi perbankan Indonesia saat ini bisa dikatakan solid dalam hal likuiditas. Kondisi ini jauh lebih baik dibandingkan dengan bank-bank bermasalah di AS seperti Silicon Valley Bank.

SVB sendiri diyakini tidak memenuhi standar LCR dan NSFR yang ditetapkan. Hal ini merujuk dalam form 10-K oleh US Securities and Exchange Commision. SVB menyatakan per 31 Desember 2022 memiliki kurang dari US$50 miliar di WSTWF, oleh karena itu, saat ini kami tidak tunduk pada persyaratan LCR dan NSFR.

Apa yang terjadi pada SVB menyulut kepanikan hingga dampaknya merembet ke Signature Bank.

Bank yang berbasis di New York menghadapi krisis kepercayaan setelah krisis SVB dan ikut bergejolak dari pertaruhan pada crypto banking. Kegagalan tersebut merupakan yang terbesar ketiga dalam sejarah AS.

Petinggi Signature Bank, Barney Frank yang merupakan mantan anggota kongres yang memprakarsai aturan keuangan Dodd-Frank setelah krisis keuangan 2008, mengatakan Signature menderita kerugian miliaran dolar pada hari Jumat pekan lalu.

Barney mengatakan kekhawatiran pelanggan atas eksposur Signature terhadap kripto meningkat setelah SVB runtuh. Pelanggan yang mayoritas merupakan perusahaan rintisan (startup) mengatakan kepada para eksekutif bahwa mereka merasa lebih nyaman menyimpan dana di bank raksasa seperti JPMorgan Chase & Co., katanya.

Bahkan kepanikan menjalar hingga Eropa di mana bank asal Swiss yakni Credit Suisse menjadi korbannya.

Meskipun kepanikan bukan satu-satunya penyebab Credit Suisse anjlok harga sahamnya, tapi dampaknya LCR Credit Suisse yang pada 2021 mencapai 200%, turun menjadi 150% pada Maret 2023.

²©²ÊÍøÕ¾Â RESEARCH INDONESIA

[email protected]

Sanggahan: Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan ²©²ÊÍøÕ¾ Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investasi terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.

(ras/ras)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation