
Begini Parahnya Ekonomi China, PBoC pun Pangkas Suku Bunga

Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾Â Indonesia - Bank sentral China (People's Bank of China/PBoC) memberikan kejutan Selasa (13/6/2023). Suku bunga acuan (seven-day reverse repurchase rate) dipangkas sebesar 10 basis poin menjadi 1,9%.
Penurunan suku bunga tersebut membuat PBoC menambah likuiditas sebesar 2 miliar yuan (US$ 279,97 juta) ke perekonomian. Pelonggaran kebijakan moneter ini menjadi yang pertama dilakukan PBoC sejak Agustus tahun lalu, dan diperkirakan masih akan ada kelanjutannya.
Tujuannya, membuat perekonomian China kembali bergeliat, sebab belakangan menunjukkan tanda-tanda pelambatan. Bahkan, beberapa sektor bisa dikatakan cukup parah.
Utang Jumbo Pemerintah Daerah
Utang pemerintah daerah (Pemda) yang menjadi sorotan. Jumlah utang tersebut dikabarkan menembus US$ 15,3 triliun atau hampir Rp 230.000 triliun. Bahkan, menurut estimasi Goldman Sachs nilainya mencapai US$ 23 triliun.
Dengan kondisi itu, tentunya perlu melakukan penghematan, mengurangi belanja dengan konsekuensi menurunya produk domestik bruto daerah. Kota Hegang di provinsi Heilongjiang misalnya, pada 2021 harus melakukan restrukturisasi karena utang yang dua kali lipat besarnya ketimbang pendapatan fiskal.
Sektor Manufaktur Merosot, Impor Jeblok
Sektor manufaktur China mengalami kontraksi yang cukup dalam. Artinya pabrik-pabrik mengalami penurunan aktivitas, misalnya produksi menurun. Dampaknya ke tenaga kerja, bukannya merekrut malah bisa jadi terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) massal.
Hal ini terlihat dari purchasing managers' index (PMI) China Mei yang turun ke 48,8, terendah sepanjang tahun ini. PMI menggunakan angka 50 sebagai ambang batas, di bawahnya berarti kontraksi, sementara di atasnya ekspansi.
Sektor manufaktur yang berkontraksi juga terlihat dari impor China dilaporkan anjlok 4,5% pada Mei. Bahkan, anjloknya impor sudah terjadi dalam tiga bulan beruntun impor.
Sektor Properti Krisis
Sektor perumahan di China dalam dua tahun terakhir sudah mengalami krisis. Kasus gagal bayar utang Evergrande Group, developer properti terbesar kedua di China pun menyeruak 2021 lalu.
Banyak proyek menjadi terbengkalai akibat kehabisan dana, pembeli pun tak mau melanjutkan cicilan Kredit Pemilikan Rumah (KPR).
Situasi kini memang sudah membaik setelah otoritas China mengambil langkah-langkah penyelamatan, tetapi masih jauh dari kata usai. Dana Moneter Internasional atau IMF memperingatkan China untuk berbuat lebih banyak menyikapi situasi ini.
"Langkah-langkah kebijakan terbaru pihak berwenang disambut baik, tetapi dalam pandangan kami tindakan tambahan akan diperlukan untuk mengakhiri krisis real estate," kata Thomas Helbling, wakil direktur di Departemen Asia Pasifik IMF dikutip dari ²©²ÊÍøÕ¾, Jumat (3/2/2023).
Populasi Kian Menua
Penduduk produktif di China kian menua, sementara populasinya menurun pada tahun lalu. Pada 2035, sebanyak 400 juta penduduk akan berumur di atas 60 tahun. Jumlah tersebut mencapai 30% dari populasi China.
Pada 2022 lalu, populasi penduduk di China mengalami penurunan untuk pertama kalinya sejak 1961. Artinya lebih banyak orang meninggal ketimbang lahir, hal ini diakibatkan kebijakan satu anak yang diterapkan pemerintah China.
Niat Belanja Menurun
Rory Green, ekonom di TS Lombard pada bulan lalu menyebut rumah tangga di China mulai menujukkan tanda-tanda balance sheet recession, yakni keinginan untuk melakukan menabung atau membayar utang, tetapi enggan untuk meminjam dan berbelanja.
Istilah Balace Sheet Recession memang dikeluarkan oleh Richard Koo melihat kondisi ekonomi Jepang pada era 1990an. Resesi jenis ini terjadi saat utang swasta maupun rumah tangga sangat tinggi, atau ketika perusahaan maupun rumah tangga fokus untuk menabung guna membayar utang ketimbang melakukan belanja atau investasi. Hal ini membuat perekonomian perlahan-lahan mengalami penurunan.
"Banyak orang di China bertanya kepada saya apakah China akan seperti Jepang 30 tahun yang lalu. Menurut saya China akan mengalami apa yang saya sebut balance sheet recession," kata Koo dalam acara Street Signs Asia Rabu (7/6/2023).
Risiko Alami Lost Decade
Prediksi China bakal menghadapi dekade yang hilang (lost decade) juga sudah banyak diungkapkan karena banyaknya kemiripan dengan ekonomi Jepang 30 tahun lalu.
Peneliti dari Japan Institute of International Affairs, Toshiya Tsugami sebagaimana dilansir Think China memperlihatkan kesamaan dari aset riil yang mengalami bubble. China sebelumnya mengatakan kapitaslisasi pasar real estate akan mencapai US$ 65 triliun, lebih tinggi dari Amerika Serikat dan Eropa bahkan saat keduanya digabungkan.
Tsugami Jepang juga merasakan hal yang sama 30 tahun lalu. µþ³Ü²ú²ú±ô±ðÌýaset di Jepang menjadi yang pada akhirnya "meledak" pada awal 1990 menjadi tanda lost decade Jepang.
Tim analis dari Citigroup juga mengungkapkan hal yang sama persis dengan Tsugami. Financial Times pada akhir Februari lalu melaporkan tim dari Citigroup tersebut melihat China sekarang "sangat mirip" dengan Jepang pasca era properti bubble.
²©²ÊÍøÕ¾Â INDONESIA RESEARCH
(pap/pap)