
Korban Malapetaka Iklim, Peradaban Lumba-Lumba Ikut Terancam!

Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - Perubahan iklim menimbulkan malapetaka yang mengancam keberlanjutan manusia dan juga berbagai makhluk hidup lainnya di ekosistem dunia ini. Kabar terbaru menunjukkan lumba-lumba Amazon Brazil juga menjadi korban.
Tidak hanya itu, permasalahan ini juga mengancam jalur utama ekonomi dunia, baik sungai, laut, dan selat.
Bencana ini meresahkan rute pengiriman global, dan fenomena El Niño menjadi dalang yang memperparah situasi. Ini menimbulkan kekacauan di berbagai wilayah, seperti Sungai Rhein di Jerman, Sungai Amazon di Brazil, Selat Malaka antara Indonesia dan Malaysia, Selat Hormuz antara Iran dan Oman, dan berbagai belahan dunia lainnya.
Padahal Sungai Rhine dan Selat Malaka serta terusan penting lainnya adalah urat nadi perdagangan dunia. Jika mereka mengalami masalah maka perdagangan global bisa terganggu dan harga bahan pangan melonjak.
El Niño, yang artinya "anak laki-laki" dalam bahasa Spanyol, terjadi ketika permukaan air di wilayah tropis tengah dan timur Samudera Pasifik menghangat secara tidak biasa. Pola iklim alami ini terjadi secara berkala, sekitar setiap dua hingga tujuh tahun.
Perkiraan cuaca memproyeksi di atas 95% bahwa El Niño akan berlanjut akibat laut Pasifik tropis timur-tengah cukup hangat. Secara khusus, metrik pemantauan El Niño utama, Indeks Niño3.4, suhu permukaan berada di 1.0° Celcius lebih hangat daripada periode panjang rata-rata jangka waktu di bulan Juli, menurut dataset NOAA.
Pada umumnya, dampak El Niño mencapai puncaknya pada bulan Desember, tetapi pengaruh penuhnya memerlukan waktu untuk menyebar ke seluruh dunia.
Para ilmuwan cuaca percaya bahwa pada tahun 2024, manusia mungkin pertama kali akan melampaui batas kritis iklim sebesar 1,5 derajat Celsius. Fakta bahwa suhu rata-rata global pada tahun 2022 naik lebih dari 1,1 derajat Celsius dari akhir abad ke-19, menunjukkan eskalasi perubahan iklim yang semakin cepat.
Dampak 'Malapetaka' di Berbagai Belahan Dunia
Kerusakan bumi akibat fenomena perubahan iklim terus terjadi. Kali ini, tanda-tanda tersebut muncul di dalam ekosistem lumba-lumba Amazon di Brasil.
Dalam laporan Reuters dan Channel News Asia (CNA), bangkai 120 lumba-lumba sungai ditemukan mengambang di anak sungai Amazon selama seminggu terakhir. Bangkai itu ditemukan dalam keadaan yang diduga para ahli disebabkan oleh kekeringan parah dan panas.
Setidaknya 70 bangkai muncul ke permukaan pada Kamis lalu. Ketika itu suhu air Danau Tefé mencapai 39 derajat Celcius, 10 derajat lebih tinggi dari rata-rata sepanjang tahun ini.
Tidak hanya itu, kekeringan di Panama akibat tingkat air yang rendah telah memaksa negara Amerika Tengah ini untuk membatasi jumlah kapal yang diperbolehkan melintasi Terusan Panama yang sangat penting. Dampak dari kebijakan ini adalah penumpukan kapal yang menunggu dan mengganggu efisiensi waktu tempuh antara Samudera Atlantik dan Pasifik.
Pihak berwenang Terusan Panama telah mengambil langkah-langkah khusus untuk mengatasi situasi yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Permulaan El Niño yang baru-baru ini diumumkan oleh badan cuaca PBB menjadi perhatian serius, dikhawatirkan akan memicu kenaikan suhu global dan cuaca ekstrem yang lebih buruk. Para pakar mengingatkan bahwa apa yang kita saksikan saat ini mungkin hanya awal dari masalah yang lebih besar di tahun-tahun mendatang.
Peter Sands, kepala analis di platform perbandingan tarif angkutan laut Xeneta, menyoroti kerentanan sistem pengiriman global terhadap gangguan cuaca. Dia mengingatkan bahwa perubahan iklim semakin mengungkap kerapuhan sistem pengiriman yang berjalan efektif "saat ini". Sands juga menekankan bahwa meskipun kita jarang memperhatikan, layanan dan barang yang kita terima melalui laut sangat penting dalam kehidupan sehari-hari.
Kejadian seperti kapal kontainer terbesar di dunia, Ever Given, yang terjebak selama hampir seminggu pada tahun 2021 akibat cuaca buruk, telah memberi peringatan akan potensi risiko lebih lanjut.
Cuaca ekstrem yang semakin sering akibat perubahan iklim dapat menyebabkan peristiwa serupa yang merusak rantai pasokan, ketahanan pangan, dan perekonomian regional.
Bahkan, data European Environment Agency (EEA) menunjukkan kerugian perekonomian Eropa memuncak pada 2021 akibat dari perubahan iklim yang terjadi.
Nilai kerugian mencapai 126,45 euro atau Rp 2,1 juta per penduduk (Kurs: Rp 16.725/EUR). Bahkan, nilai tersebut setara dengan kerugian secara keseluruhan sebesar 56,51 euro juta atau Rp 945 triliun pada tahun 2021.
Tantangan tidak hanya terjadi di Terusan Panama. Di Eropa, rendahnya permukaan air di Sungai Rhine telah menciptakan masalah dalam pengiriman barang.
Kehilangan ketinggian air ini telah menyulitkan kapal dalam transit sesuai kapasitas, sehingga biaya pengiriman meningkat. Meski demikian, keputusan taktis lebih mudah diterapkan dalam kasus ini dibandingkan dengan Terusan Panama, di mana perencanaan yang cermat diperlukan sejak awal perjalanan.
Riset yang diterbitkan oleh pialang asuransi global Marsh menunjukkan perlunya perhatian lebih besar terhadap kerentanan titik-titik krusial dalam sistem pengiriman. Dalam konteks Terusan Suez, risiko fisik seperti genangan air laut yang naik cukup tinggi dan panas ekstrem menjadi lebih besar dalam situasi darurat iklim. Jika salah satu dari lima jalur air utama terganggu oleh kecelakaan atau peristiwa politik, dampaknya dapat meluas hingga ke rantai pasokan global.
Dengan Terusan Suez dan Panama serta jalur lain seperti Selat Malaka, Selat Hormuz, dan Bab-el-Mandeb yang rentan terhadap gangguan, para pakar cuaca memperingatkan bahwa perlunya kolaborasi global dalam menghadapi risiko cuaca ekstrem semakin mendesak.
²©²ÊÍøÕ¾ INDONESIA RESEARCH
(mza)