²©²ÊÍøÕ¾

²©²ÊÍøÕ¾ Research

Kenaikan Suku Bunga Tak Ampuh Buat Rupiah Perkasa, Ini Buktinya!

Revo M, ²©²ÊÍøÕ¾
23 April 2024 19:00
FILE PHOTO - The logo of Indonesia's central bank, Bank Indonesia, is seen on a window in the bank's lobby in Jakarta, Indonesia September 22, 2016.  REUTERS/Iqro Rinaldi/File Photo
Foto: REUTERS/Iqro Rinaldi

Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - Sebagian pelaku pasar memperkirakan suku bunga Bank Indonesia (BI) naik sebesar 25 basis poin (bps) ke level 6,25%. Hal ini diharapkan untuk meredam tekanan terhadap rupiah belakangan ini.

Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI mulai diselenggarakan hari ini hingga esok hari, Rabu (24/4/2024). Keputusan BI ditunggu pelaku pasar khususnya perihal suku bunga mengingat hal ini akan mempengaruhi banyak hal, mulai dari pasar keuangan hingga ekonomi secara keseluruhan.

Poling yang dilakukan ²©²ÊÍøÕ¾ Research dari 14 institusi menunjukkan bahwa sembilan diantaranya cenderung menahan suku bunganya di level 6%. Sedangkan lima institusi cenderung mengharapkan BI menaikkan suku bunganya ke level 6,25%.

Ìý

Kepala Ekonom BCA, David Sumual mengatakan bahwa situasi saat ini belum dibutuhkan untuk kenaikan suku bunga mengingat ekspektasi inflasi ke depan masih dalam rentang yang sama.

"Ke depan bisa saja kenaikan suku bunga BI rate bisa jadi salah satu opsi, kalau dalam beberapa waktu ke depan rupiah masih dalam tekanan dan bank sentral AS (The Fed) semakinhawkish. Tapi sejauh ini ekspektasi inflasi ke depan masih dalam rentang yang sama," ujar Sumual.

Sebagai catatan, inflasi Indonesia periode Maret berada di angka 3,05% year on year/yoy. Hal ini masih dalam target inflasi BI sepanjang 2024 yakni di angka 1,5-3,5%.

Serupa dengan Sumual, Ekonom Senior Samuel Sekuritas, Fithra Faisal memperkirakan BI belum perlu dalam menaikkan suku bunga apalagi di tengah deeskalasi yang terjadi di Timur Tengah.

Ia juga menambahkan bahwa triple intervention tampak masih cukup memadai sehingga BI rate masih belum perlu dilakukan. Apalagi cadangan devisa (cadev) Indonesia masih cukup solid untuk menstabilkan nilai tukar rupiah.

Namun berbeda halnya dengan Ekonom Bank Danamon, Irman Faiz yang berekspektasi agar BI menaikkan suku bunganya.

Ia menilai dengan suku bunga yang lebih tinggi, maka investor asing dapat masuk ke pasar keuangan domestik sehingga pelemahan rupiah dapat ditahan.

Perdebatan soal suku bunga ini terjadi akibat rupiah yang terlampau melemah. Dilansir dari Refinitiv, rupiah mengalami depresiasi terhadap dolar Amerika Serikat (AS) beberapa waktu terakhir.

Sejak 14 Maret hingga 19 April 2024, rupiah terus mengalami depresiasi dari Rp15.575/US$ menjadi Rp16.250/US$. Bahkan dalam intra-day, rupiah sempat menyentuh titik terlemahnya di angka Rp16.285/US$ pada 19 April 2024.

Posisi rupiah di kala itu merupakan yang terlemah sejak April 2020 atau sekitar empat tahun terakhir.

Lantas apakah dengan keputusan menaikkan suku bunga merupakan langkah yang efektif agar rupiah dapat mengalami penguatan?

BI Rate Naik, Ampuh Buat PerkuatÌý Rupiah?

Secara historis, kenaikan BI rate dilakukan setelah BI menahan suku bunga cukup lama.ÌýSepanjang 2014-2024,Ìý BI menaikkan suku bunga sebanyakÌý tiga kali setelah periode panjang suku bunga stagnan.Ìý

Kenaikan tersebut terjadi pada 30 Mei 2018, 23 Agustus 2022, dan 19 Oktober 2023, dengan masing-masing kenaikan sebesar 25 bps.

Pada 30 Mei 2018, BI menaikkan suku bunga menjadi 4,5% dan di kala itu, rupiah berada di angka Rp13.985/US$. Rupiah terpantau hanya mampu menguat hingga 6 Juni 2018 dan kemudian dilanjutkan pelemahan yang cukup signifikan.

Alhasil, BI memutuskan untuk kembali menaikkan suku bunga secara beruntun hingga 6% pada November 2018.

Seiring dengan kenaikan suku bunga, rupiah terus mengalami depresiasi dari Rp13.850/US$ pada 6 Juni 2018 menjadi Rp15.230/US$ pada 11 Oktober 2018 atau hanya dalam empat bulan, rupiah menurun sebesar 9,96%.

Sementara pada 23 Agustus 2022, BI kembali menaikkan suku bunganya ke angka 3,75% dan pada saat itu, rupiah berada di angka Rp14.835/US$.

Di tengah kenaikan BI rate yang terjadi secara beruntun secara terus menerus, rupiah terpantau terus melemah hingga menyentuh titik terlemah pada 29 November 2022 di angka Rp15.740/US$ atau dengan kata lain, dalam waktu tiga bulan, rupiah terdepresiasi 6,1%.

Begitu pula, saat RDG BI 19 Oktober 2023 memutuskan untuk menaikkan suku bunga sebesar 25 bps ke level 6% setelah delapan bulan menahan suku bunganya di level 5,75%.

Pada saat itu, rupiah ditutup di angka Rp15.810/US$ dan sempat menguat hingga periode akhir Desember 2023 atau sekitar 2,5 bulan.

Memasuki 2024, rupiah mengalami depresiasi bahkan anjlok menembus level psikologis Rp16.000/US$. Titik terlemah rupiah yakni berada di angka Rp16.250/US$ pada 19 April 2024.

BI pada Oktober 2023

BI menyampaikan kenaikan BI rate sebesar 25 bps pada Oktober 2023 terjadi untuk memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah dari dampak meningkat tingginya ketidakpastian global serta sebagai langkah pre-emptive dan forward looking untuk memitigasi dampaknya terhadap inflasi barang impor (imported inflation), sehingga inflasi tetap terkendali dalam sasaran 3,0±1% pada 2023 dan 2,5±1% pada 2024.

Situasi global menjadi salah satu hal utama yang menyebabkan rupiah tercatat mengalami depresiasi.

Pada saat itu, indeks dolar AS (DXY) menyentuh angka 106,21 pada 18 Oktober 2023 atau naik 2,6% year to date/ytd.

Sangat kuatnya dolar AS ini memberikan tekanan depresiasi mata uang hampir seluruh mata uang dunia, seperti yen Jepang, dolar Australia, Euro, termasuk rupiah.

Meningkatnya ketegangan geopolitik mendorong harga energi dan pangan meningkat sehingga mengakibatkan tetap tingginya inflasi global. Untuk mengendalikan inflasi, suku bunga kebijakan moneter di negara maju, termasukFederal Funds Rate(FFR), diprakirakan akan tetap bertahan tinggi dalam jangka waktu yang lebih lama (higher for longer).Hal ini dapat menekan mata uang Garuda.

Di samping intervensi di pasar valuta asing, BI mempercepat upaya pendalaman pasar uang rupiah dan pasar valuta asing, termasuk optimalisasi Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) dan penerbitan instrumen-instrumen lain untuk meningkatkan mekanisme pasar baik dalam meningkatkan manajemen likuiditas institusi keuangan domestik dan menarik masuknya aliran portofolio asing dari luar negeri.

Hal ini diharapkan mampu meredam depresiasi rupiah yang terus berlanjut.

Koordinasi dengan Pemerintah, perbankan, dan dunia usaha pun terus ditingkatkan dan diperluas untuk implementasi instrumen penempatan valas Devisa Hasil Ekspor Sumber Daya Alam (DHE SDA) sejalan dengan PP Nomor 36 Tahun 2023.

Persamaan Situasi Oktober 2023 dan April 2024

Situasi yang terjadi saat ini cukup mirip dengan apa yang terjadi pada Oktober 2023.

Inflasi AS terpantau masih cukup tinggi dan jauh dari target bank sentral AS (The Fed) yakni 2%. Inflasi AS saat ini berada di angka 3,5% yoy untuk periode Maret 2024 atau lebih tinggi dibandingkan periode sebelumnya dan di atas ekspektasi pasar.

Kebijakan The Fed perihal suku bunga tampaknya masih sama dengan tahun lalu yakni higher for longer.

Tema besar 2024 yang awalnya yakni pemangkasan suku bunga tampak semakin kecil untuk dapat terjadi.

Hal ini terjadi akibat kuatnya data ekonomi AS, baik data fundamentalnya maupun data ketenagakerjaannya.

Selain itu, DXY yang berada di posisi tinggi yakni sekitar 106 juga terjadi pada Oktober 2023 dan April 2024. DXY yang melonjak tinggi ini memberikan tekanan bagi rupiah.

Kondisi perang pun sama-sama terjadi pada Oktober 2023 dan April 2024. Pada tahun lalu, kelompok Hamas menyerang Israel sementara pada April 2024, Israel diberitakan menyerang Iran.

Bukan Cuma Soal Suku Bunga, BI Perlu...

Rupiah yang masih dalam tren pelemahan menjadi perhatian para ekonom padahal tensi Iran-Isreal sudah mereda.

Kalangan ekonom menilai, pemerintah dan otoritas moneter masih perlu memperdalam pasar keuangan untuk menjaga ketahanan rupiah di tengah gejolak nilai tukar global.

Head of Treasury Bank Commonwealth Yuriadi Sulastomo mengatakan permasalahan lemahnya rupiah tidak dapat diselesaikan BI hanya dengan melalui menaikkan suku bunga acuan, karena berbagai indikator ekonomi Indonesia menunjukkan fakta sebaliknya, mulai dari inflasi yang rendah hingga pertumbuhan ekonomi yang masih belum tinggi.

Kepala Ekonom dan Riset UOB Enrico Tanuwodjaja mengatakan, yang perlu dilakukan BI saat ini adalah memperdalam pasar keuangan domestik. Menurutnya, instrumen pasar uang yang ada saat ini belum mendukung stabilitas rupiah, seperti terbatasnya tenor pada instrumen Sekuritas Valas Bank Indonesia (SUVBI).

Terbatasnya pasar keuangan Indonesia kata Enrico tercermin dari selisih imbal hasil surat berharga Indonesia tenor 10 tahun dengan Amerika Serikat yang makin menyempit.

Ia menambahkan agar instrument SUVBI dibuat variasi yang lebih menarik minat investor, seperti tenor yang dibuat lebih variatif.

Repo market menurutnya juga bisa diperdalam karena sekarang pemain asing melalui foreign direct investment atau FDI juga lebih banyak.

Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk (BCA) David Sumual juga telah mengatakan bahwa untuk menarik derasnya valas dalam bentuk investasi portofolio, pasar keuangan Indonesia sudah memiliki banyak instrumen, mulai dari saham, obligasi, hingga instrumen baru yang disediakan Bank Indonesia seperti Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) dan Sekuritas Valas Bank Indonesia (SVBI). Tapi, masalahnya tenor yang ditawarkan masih terlalu singkat.

Oleh sebab itu, David menekankan, selain pentingnya memperkuat pasokan valas atau dolar di dalam negeri melalui penguatan instrumen kepatuhan DHE, pengenalan instrumen investasi portofolio dengan tenor panjang juga perlu dilakukan BI, seperti tenor SBN yang telah mampu mencapai puluhan tahun.

²©²ÊÍøÕ¾ INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(rev/rev)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation