
Tarif Cukai 2025 Diperkirakan Naik: Saham Rokok Buy or Bye?

Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, Askolani, menyatakan telah mendapatkan persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) pada 2025. Penyesuaian ini berpotensi membuat harga rokok semakin mahal dan menekan kinerja emiten rokok.
"Kami sudah dapat persetujuan untuk menyesuaikan tarif cukainya pada 2025, intensifikasi," kata Askolani di DPR, Jakarta, Senin, (10/6/2024).
Besaran kenaikan tarif ini masih dalam tahap pembahasan dan akan dimasukkan dalam Rancangan Anggaran dan Pendapatan Negara (RAPBN) 2025 yang akan dikeluarkan pada 16 Agustus mendatang.
Tarif CHTÌýdinaikkan hampir tiap tahun, kecuali pada 2014 dan 2019.Ìý Tarif tidak naik pada 2014 karena ada penyesuaianÌýaturan Undang-UndangÌýNomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD).Ìý Sementara itu, cukai hasil tembakau tidak naik pada 2019 karena ditengarai ada kepentingan politik yakni pemilu 2019.
Tarif CHT untuk rokok mengalami kenaikan rata-rata sebesar 10% pada 2023 dan 2024, sementara untuk rokok elektronik rata-rata sebesar 15%, dan hasil pengolahan tembakau lainnya sebesar 6%. Ketentuan ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 191 Tahun 2022 dan PMK Nomor 192 Tahun 2022.
Dampak Kenaikan Cukai Terhadap Emiten Rokok
Kenaikan cukai tidak dapat sepenuhnya berpengaruh terhadap laba bersih perusahaan rokok raksasa, seperti Gudang Garam (GGRM) dan HM Sampoerna (HMSP). Hal ini terlihat dalam periode 2015-2018 saat cukai rokok naik di kisaran rata-rata 8% - 11,2%, laba bersih perusahaan rokok raksasa malah cenderung menunjukkan tren kenaikan.
Namun, hubungan cukai dan laba bersih perusahaan rokok mulai terlihat pada 2019 saat kenaikan cukai ditetapkan sebesar 0% laba bersih GGRM dan HMSP kompak menyentuh level tertinggi sepanjang masa.
Tidak hanya itu, kejatuhan laba bersih terus terlihat pada periode 2020, 2021, 2022 saat rata-rata cukai naik tajam mencapai 23%, 12,5%, dan 12%.
Laba bersih perusahaan rokok menunjukkan sedikit kenaikan pada 2023, seiring kenaikan cukai rata-rata ditetapkan sebesar 10%.
Berdasarkan hal tersebut, dapat diasumsikan kenaikan cukai rokok dapat berdampak signifikan pada laba bersih perusahaan rokok, apabila rata-rata kenaikan mencapai 12% lebih.
Meski demikian, kejatuhan laba bersih ini diperkirakan juga dipengaruhi oleh lonjakan tarif cukai yang signifikan pada 2020, sehingga dampak kejatuhan laba bersih terasa dalam periode 2020-2022. Selain itu, penurunan laba bersih juga diperkirakan akibat adanya pandemi COVID-19 yang menyebabkan penurunan daya beli masyarakat, sehingga konsumen cenderung memilih rokok murah di tengah lonjakan persentase cukai.
ÌýHal ini terlihat dari kinerja Wismilak Inti Makmur (WIIM) yang cukup anomali dengan industri rokok raksasa. Laba bersih WIIM konsisten menguat dalam periode 2020-2022, di saat produsen rokok raksasa sedang tertekan.
Source:Various
Laba Bersih Emiten Rokok kuartal-I 2024
Pada kuartal-I 2024, dengan rata-rata kenaikan tarif cukai sebesar 10%, laba bersih Gudang Garam (GGRM) menurun tajam 69,6% tersisa Rp 596 miliar secara tahunan (year on year/yoy) dibandingkan setahun sebelumnya yang mencapai Rp 1,9 triliun.
Sementara itu, laba bersih HM Sampoerna (HMSP) naik tipis 4% menjadi Rp 2,2 triliun (yoy). Wismilak Inti Makmur (WIIM) juga mengalami penurunan laba bersih 18% menjadi Rp 91 miliar dari Rp 111 miliar (yoy).
Untuk tahun 2025, meskipun besaran kenaikan cukai belum ditentukan, dengan asumsi rata-rata kenaikan cukai sebesar 10%, laba bersih emiten rokok berpotensi masih dapat bertumbuh meski masih di level yang cukup rendah. Pertumbuhan ini disebabkan oleh kejatuhan kinerja secara signifikan sudah terlihat pada 2023 dan 2024.
Di sisi lain, kinerja keuangan emiten rokok relatif masih akan terus menghadapi tekanan. Tren historis menunjukkan bahwa setiap kenaikan tarif cukai cenderung mengurangi margin keuntungan, terutama bagi emiten yang tidak dapat sepenuhnya mengalihkan beban kenaikan cukai kepada konsumen.
Dengan demikian, industri rokok perlu bersiap menghadapi tantangan lebih lanjut pada 2025, terutama dalam menjaga profitabilitas dan daya saing di tengah kenaikan tarif cukai yang berkelanjutan. Emiten rokok perlu mengevaluasi strategi bisnis, termasuk efisiensi operasional dan diversifikasi produk, untuk tetap bertahan dalam kondisi pasar yang sering dikaitkan dengan industri 'sunset'.
²©²ÊÍøÕ¾ INDONESIA RESEARCH
Ìý
(mza/mza)