
SWI Tutup 3.056 Pinjol Ilegal, Begini Modus Tipu-tipunya!

Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - Di awal tahun ini, Satgas Waspada Investasi (SWI) mencatat masih marak perusahaan fintech peer to peer (P2P) lending atau pinjam online (pinjol) ilegal atau tidak terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Ketua SWI Tongam L Tobing menjelaskan, maraknya kasus fintech ilegal ini disebabkan karena masih terbukanya akses masyarakat yang belum tersentuh lembaga jasa keuangan seperti perbankan maupun perusahaan pembiayaan. Sehingga, perusahaan pinjol menjadi alternatifnya.
"Data peminjam sudah 40,7 juta peminjam, outstanding penyaluran pinjaman Rp 11,1 triliun. Pinjol sangat membantu masyarakat membantu kegiatan usaha produktif. Tapi, ada pelaku yang ilegal, 3.056 finteh ilegal dihentikan SWI," kata Tongam, kepada ²©²ÊÍøÕ¾, Selasa (2/2/2021).
Namun, dari jumlah tersebut, tak semuanya berizin. Hanya ada 148 perusahaan pinjol yang sudah terdaftar atau memiliki izin usaha dari OJK. Sedangkan, sebanyak 3.056 fintech ilegal yang sudah dihentikan SWI.
Beberapa modus penyelenggara fintech ilegal ini mencuat seperti fintech yang berkedok koperasi simpan pinjam (KSP), padahal, kata Tongam, KSP hanya membolehkan melayani anggota yang terdaftar. Modus selanjutkan, mendupilakasi perusahaan fintech yang punya legalitas dengan cara mengelabui informasi bahwa mereka sudah terdaftar di otoritas tertentu.
Atas maraknya fintech ilegal ini, SWI bersama anggotanya akan telah melakukan tindakan antara lain dengan cara pemblokiran melalui situs melalui kerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), bila terbukti melakukan tindak pidana, maka fintech tersebut akan diproses secara hukum di Kepolisian.
Memang, kata Tongam, saat ini belum ada payung hukum yang menaungi fintech ilegal jika mereka melakukan tindakan yang merugikan masyarakat. Untuk membentengi hal tersebut, edukasi dan literasi produk keuangan menjadi kunci mengatasinya. Sebab, tidak sedikit, masyarakat yang cukup resah karena perusahaan fintech ilegal menawarkan tingkat suku bunga yang cukup tinggi, pun demikian halnya dengan denda per hari yang mencapai 2-3% sehingga sangat merugikan masyarakat.
"Di dalam fintech ilegal tidak terkendali, tidak ada yang mengatur, mengawasi, mereka melakukan kegiatan secara virtual. Mereka yang menjebak masyarakat dengan bunga tinggi dan tidak terkendali, bahkan cenderung penipuan," ujar dia.
Terlebih lagi, saat ini memang belum ada payung hukum yang mengatur dan bisa menindak fintech ilegal bisa dipidana. "Di fintech ada gap, butuh ada Undang-undang yang mengatur penawaran yang tidak teraftar adalah tindak pidana," imbuh Tongam.
