Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - Emiten sektor barang konsumsi atau consumer goods, PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR) mencatatkan kinerja saham yang jeblok, baik selama sebulan terakhir maupun secara tahun berjalan alias year to date (YTD) sejak Januari tahun ini.
Merahnya harga saham produsen es krim Paddle Pop ini diiringi dengan aksi jual bersih yang ramai-ramai dilakukan investor asing selama sebulan dan sejak awal tahun serta penurunan kinerja keuangan perusahaan sepanjang tahun lalu di tengah pandemi Covid-19.
Adapun pada penutupan sesi I hari ini, Rabu (10/3), saham UNVR menguat 0,76% ke Rp 6.600/saham.
Apabila dilihat secara sebulan, saham emiten dengan 44 brand ini sudah ambles 7,04%, sementara secara YTD sudah jatuh 15,92%.
Lebih lanjut, saham emiten yang melantai di bursa sejak 1982 ini tercatat sudah dilego asing sebesar Rp 3,40 miliar selama sebulan terakhir. Asing juga ramai-ramai menjual UNVR Rp 26,12 miliar secara YTD.
Sebelumnya, UNVR melaporkan laba bersih 2020 tercatat turun 3,11% menjadi Rp 7,16 triliun, dari tahun sebelumnya Rp 7,39 triliun. Penurunan laba bersih ini seiring dengan kenaikan tipis pendapatan saat pandemi Covid-19.
Total penjualan bersih UNVR di 2020 mencapai Rp 42,97 triliun, naik 0,12% dari 2019 yakni Rp 42,92 triliun.
Beban pokok penjualan turun menjadi Rp 20,52 triliun, dari sebelumnya Rp 20,89 triliun.
Bila ditelisik lagi, penjualan dari dalam negeri mencapai Rp 41,16 triliun, naik dari 2019 Rp 40,87 triliun, sementara penjualan ekspor turun menjadi Rp 1,81 triliun dari sebelumnya Rp 2,05 triliun.
Kontribusi penjualan terbesar, yakni kepada pihak berelasi Unilever Asia Private Limited senilai Rp 552,63 miliar, kendati ambruk dari periode yang sama tahun sebelumnya Rp 1,37 triliun.
Berikutnya, penjualan kepada Unilever (Malaysia) Holdings Sdn Bhd sebesar Rp 320,06 miliar dari sebelumnya nihil, dan kepada Unilever Philippines Inc Rp 245,82 miliar dari sebelumnya Rp 240,22 miliar.
Sebelumnya, manajemen UVR menyatakan pada kuartal kedua, penjualan bersih memang turun, imbas dari kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Sebab itu, mencermati kondisi penuh tantangan dan perubahan, perseroan fokus kepada tiga hal yaitu melindungi kesehatan, keselamatan, dan kesejahteraan karyawan.
NEXT: Apa tekanan UNVR?
Satu sentimen negatif bagi saham-saham sektor konsumer ialah data penjualan ritel Indonesia yang masih 'berdarah-darah' dengan pertumbuhan negatif alias kontraksi yang belum kunjung berhenti. Bahkan kontraksinya masih berada di kisaran belasan persen.
Kontraksi ini turut mempengaruhi kinerja emiten-emiten ritel dan barang konsumsi, termasuk UNVR.
Bank Indonesia (BI) melaporkan, penjualan ritel yang dicerminkan oleh Indeks Penjualan Riil (IPR) pada Januari 2021 berada di 182. Turun 4,3% dibandingkan bulan sebelumnya (month-to-month/MtM).
Namun perubahan bulanan banyak dipengaruhi oleh faktor musiman. Misalnya, penjualan ritel Januari tentu tidak sebaik Desember yang diwarnai momentum Hari Natal dan Tahun Baru.
Oleh karena itu, yang lebih mencerminkan situasi sebenarnya tanpa intervensi faktor musiman adalah perubahan tahunan (year-on-year/YoY). Di sini penjualan ritel masih ambles belasan persen.
Pada Januari 2021, penjualan ritel tumbuh -16,4% YoY. Membaik dibandingkan bulan sebelumnya yang -19,2% YoY, tetapi masih lumayan dalam.
"Responden menyampaikan hal tersebut disebabkan oleh menurunnya permintaan masyarakat pasca HBKN (Hari Besar Keagamaan Nasional) dan libur akhir tahun di tengah penerapan Pembatasan Pemberlakuan Kegiatan Masyarakat (PPKM) di Jawa dan Bali, serta faktor musim/cuaca dan bencana alam yang terjadi di beberapa daerah," sebut keterangan tertulis BI yang dirilis Selasa (9/3/2021).
Situasi diperkirakan masih suram pada Februari 2021, di mana penjualan ritel diperkirakan tumbuh -0,7% MtM dan -16,5% YoY.
"Penjualan eceran sejumlah komoditas seperti Sandang, Barang Budaya dan Rekreasi, Suku Cadang dan Aksesori, serta Peralatan Informasi dan Komunikasi terindikasi membaik, meski masih kontraksi," lanjut keterangan BI.
Kinerja Induk Juga Merosot
Penurunan kinerja UNVR juga dialami oleh sang induk, Unilever PLC. Perusahaan konsumer global yang tercatat di Bursa London ini membukukan laba bersih secara tahunan di bisnis konsumer sebesar 5,6 miliar euro atau setara US$ 6,7 miliar di 2020.
Jika memakai kurs Rp 16,846/euro, laba tersebut setara dengan Rp 94,34 triliun.
Berdasarkan pengumuman resmi, dikutip AFP, Kamis (4/2/2021), manajemen Unilever menyatakan laba bersih tahunan bisnis konsumer tersebut turun seiring dengan tahun yang bergejolak bagi bisnis perusahaan di tengah pandemi Covid-19. Laba bersih bisnis konsumer Unilever tahun 2020 turun 0,8% dari 2019.
"Di tahun yang bergejolak dan tidak dapat diprediksi ini, kami telah menunjukkan ketahanan Unilever melalui pandemi Covid-19," kata CEO Unilever Alan Jope.
Perusahaan pemilik merek konsumer terkenal, termasuk es krim Magnum, cairan pembersih Cif dan sabun muka Dove, ini pada tahun lalu menikmati kenaikan permintaan dari produk-produk pembersih tangan dan produk pembersih rumah tangga di tengah pandemi, serta peningkatan pembelian produk makanan.
Namun penjualan produk kecantikan benar-benar terpukul oleh adanya implementasi lockdown atau penguncian wilayah akibat pandemi virus corona.
"Lingkungan operasi di pasar kami bergejolak sejak pandemi Covid-19 dimulai pada awal 2020," kata manajemen Unilever dalam pernyataan itu.
"Karena orang-orang tinggal di rumah dan memiliki lebih sedikit kesempatan untuk bersosialisasi, mereka menghabiskan lebih sedikit waktu untuk perawatan pribadi yang berdampak pada penjualan di sebagian besar bisnis kecantikan dan perawatan pribadi, kecuali untuk produk kebersihan yang permintaannya tinggi."
Manajemen Unilever menyatakan pertumbuhan penjualan didorong oleh produk kebersihan tangan dan rumah, binatu serta makanan dan minuman di rumah. Namun es krim turun.
Tahun 2020 juga menjadi periode luar biasa bagi Unilever menjadi perusahaan yang sepenuhnya berbasis di Inggris. Hal itu lantaran pada akhir November, Unilever menyelesaikan penggabungan bersejarah antara entitas korporasi di Belanda dan Inggris.
NEXT: Outlook Saham UNVR
Dalam riset pada 17 Februari lalu, Mirae Asset Sekuritas Indonesia memutuskan untuk mengurangi ekspektasi terhadap kinerja UNVR pada tahun ini seiring adanya pandemi Covid-19 di Indonesia sejak tahun lalu. Ada tiga kekhawatiran yang melatarbelakangi hal tersebut.
Pertama, pemulihan kegiatan ekonomi akibat pandemi Covid-19 di Tanah Air yang lebih lambat dari perkiraan sebelumnya. Kedua, adanya ketidakpastian terkait potensi pandemi Covid-19 yang berkepanjangan.
Ketiga, Mirae Asset khawatir soal beban biaya yang lebih tinggi seiring dengan pemulihan daya beli masyarakat yang lambat.
Terlepas dari kekhawatiran tersebut, pihak Mirae Asset tetap yakin bahwa UNVR mampu bertahan di tengah pandemi ini, mengingat perusahaan memiliki beragam produk atau brand.
UNVR ditopang oleh produk kesehatan dan kebersihan dan produk konsumsi di rumah, yang masih menunjukkan kinerja yang baik selama pandemi.
Sementara, produk yang terkait dengan bisnis Unilever Foods Solution (UFS), es krim, dan produk perawatan kulit "telah mengalami kondisi yang menantang" sejak pandemi muncul.
"Secara keseluruhan, terlepas dari pandangan kami yang lebih konservatif, kami tetap yakin bahwa kinerja UNVR tahun ini akan lebih baik daripada tahun lalu. Kami juga percaya bahwa prospek jangka panjang UNVR tetap utuh," tulis analis Mirae Asset, Mimi Halimin dalam risetnya, dikutip Rabu (10/3).
Dalam riset tersebut, Mirae juga memangkas perkiraan pendapatan dan laba bersih UNVR untuk tahun ini.
Menurut revisi terbaru Mirae, penjualan segmen produk perawatan pribadi alias home and personal care tumbuh 4,5% secara year on year (YoY) sepanjang 2021. Sebelumnya, Mirae Asset memperkirakan pertumbuhan produk ini sebesar 7,0% secara tahunan.
Sementara itu, penjualan segmen Foods and refreshments (F&R) akan tumbuh sekitar 4,7% YoY di FY21. Lebih kecil 2,0% dari perkiraan pertumbuhan sebelumnya di 6,7% YoY.
Kemudian, pendapatan UNVR akan memperoleh pendapatan pada 2021 dan 2021 masing-masing sebesar Rp 44,9 triliun atau 4.6% YoY dan Rp 47,8 triliun atau 6.3% YoY.
Seiring dengan itu, laba bersih emiten dengan 9 pabrik ini diperkirakan akan pulih 2,7% YoY menjadi Rp 7,4 triliun pada tahun ini dan kembali naik sebesar 13,4% YoY menjadi Rp 8,3 triliun pada tahun mendatang.
"Kami menurunkan rekomendasi 'Beli' kami di UNVR menjadi 'Trading Buy' dengan TP (target price) lebih rendah dari Rp 8.300 (versus sebelumnya Rp 9.300). Kami menurunkan target harga kami dengan menerapkan target P/E [price to earnings] 43,1 kali, mendekati -0,5 SD dari P/E rata-rata 5 tahun sebesar 45,1 kali, ke EPS [earnings per share] 2021F kami," tulis Mirae Asset.
TIM RISET ²©²ÊÍøÕ¾ INDONESIA